Ilustrasi : Edi Wahyono
Selasa, 15 Juli 2025
Sejumlah pejabat pemerintah dituding sering menyalahgunakan fasilitas dan wewenangnya untuk memenuhi hasrat pribadi saat di luar negeri. Seorang pekerja Indonesia yang mengetahui langsung proses culas tersebut memberanikan diri berbagi cerita kepada detikX.
Erin (bukan nama sebenarnya) mengatakan, secara formal memang ada protokol yang mengatur pelayanan terhadap kunjungan pejabat negara. Namun, kenyataannya, yang difasilitasi seringkali bukan hanya urusan negara atau yang berkaitan dengan tugas sebagai pejabat pemerintah.
“Itu mereka minta diambil (diantar, dijemput, dan ditemani selama di luar negeri), difasilitasi kalau bisa,” ucapnya kepada detikX pekan lalu.
Menurut Erin, sebagian pejabat atau pekerja di otoritas Indonesia di luar negeri tak kuasa menolak permintaan-permintaan tersebut. Sebagian dari mereka takut kehilangan posisi, sebagian lagi justru merasa perlu memberi fasilitas lebih untuk tujuan tertentu.
“Nah, kemudian pihak KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) itu ya takut (kalau misal tidak memberi fasilitas yang pejabat minta). Ada petugas KBRI itu yang mereka takut posisinya hilang (jika tidak menuruti permintaan pejabat). Tapi ada yang memang minta posisi (sengaja melakukan servis dan fasilitas untuk mendapatkan posisi tertentu), atau untuk minta rekomendasi agar ditempatkan di mana gitu," terang Erin.
Praktik ini, menurut dia, semakin menjadi-jadi setelah pandemi COVID-19. Bahkan ia menyebut pelakunya hampir merata berasal dari berbagai instansi negara. Mulai dari legislatif, eksekutif, dan lembaga penegak hukum, termasuk jajaran pimpinannya.
Permintaan fasilitas juga datang dari keluarga pejabat. Bahkan dilakukan saat liburan, bukan dalam perjalanan dinas. “Iya lah, minta lah. Itu biasanya didampingi. Nggak mungkin enggak,” ungkapnya.
Tak jarang, pebisnis yang punya relasi dengan pejabat negara pun ikut menikmati berbagai fasilitas tersebut. Berbekal kenalan 'orang dalam' para pebisnis asal Indonesia bisa meminjam dan memakai fasilitas negara di luar negeri dengan leluasa.
“Ada pebisnis Indonesia itu pakai fasilitas negara. Padahal orang-orang Indonesia yang di sini banyak yang butuh tempat. Kenapa kalau orang Indonesia yang cuma istilahnya karena (punya) kenalan dengan orang dalam dari atase pendidikan atau atase kebudayaan yang nggak ada hubungannya dengan tugas negara atau pemerintah kok bisa pakai fasilitas negara di luar negeri," ucapnya.
Ia membandingkan dengan kondisi saat ini dengan masa Retno Marsudi masih menjabat di Kementerian Luar Negeri. Saat itu menurut Erin jarang petugas di otoritas Indonesia di luar negeri yang bersedia memberikan layanan fasilitas untuk hal-hal di luar tugas.
“Beda kalau zamannya Bu Retno. Bagus lah Bu Retno dulu. Kalau sekarang yang bukan haknya dia (kok malah memakai fasilitas negara)," ungkapnya.
Adapun Erin juga mendapat cerita dari petugas-petugas Indonesia di luar negeri mengaku kewalahan saat diperintah mendampingi rombongan pejabat.
Ilustrasi keberangkatan pejabat ke luar negeri di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Foto: Syanti Mustika/detikcom
"Kalau sama staf dari kedutaan yang dampingi, waduh semena-mena mereka, nangis semua mereka (menghadapi permintaan pejabat dan keluarganya)," terang Erin.
Tak berhenti di sana. Sejumlah pejabat, menurut Erin, kedapatan melakukan markup anggaran acara-acara di luar negeri. Mereka disebut sengaja minta didaftarkan ikut acara tertentu untuk dimanipulasi anggarannya.
“Ada juga yang kayak minta jatah stand itu. Kayak misal ada eksibisi produk-produk dunia. Dia minta juga markup harga seandainya harga asli 5000 euro. Di markup sampai 25.000 ada juga banyak," ungkap Erin.
Lebih lanjut, ia menyebut ada kasus keluarga atau kolega pejabat yang tinggal di luar negeri dengan fasilitas negara dalam waktu relatif lama. Namun itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang punya relasi kuat dengan pejabat-pejabat kunci di pemerintahan.
“Itu pernah dua kali. Untuk melawan dia itu repot. Sebab itu ada hubungannya petinggi lembaga penegak hukum. Orang sakti itu. Jadi seandainya fasilitas apartemen itu bisa sampai 16 ribu euro setiap bulan. Ya dikasih di situ. Dibayar. Walaupun nggak ada fungsinya,” jelas Erin.
Saat ditanya siapa nama-nama keluarga atau kolega pejabat yang belum lama ini mendapatkan servis di luar kepentingan tugas, Erin menyebut salah satu keluarga pejabat yang belakangan ini viral.
“Kalau yang sekarang ini yang saya dengar kemarin yang ramai di Jakarta. Yang di Roma itu sama yang baru dateng itu. Kalau nggak salah yang lagi viral sekarang ini tuh," ucapnya.
Menurutnya keluarga atau kolega pejabat tersebut minta dilayani dan didampingi ke sebuah acara publik biasa. Bukan acara kenegaraan atau tugas mewakili pemerintah Indonesia.
“Ya minta didampingi protokol di acara publik. Gini loh. Kalau itu acara yang ditampilkan oleh Kedutaan Indonesia mewakili itu boleh, lha kalau acara untuk umum aja. Bukan untuk (kepentingan negara atau pemerintah) ya nggak bisa kayak gitu,” ungkap Erin.
Baru-baru ini terjadi di Jakarta
Belum lama ini, surat Kementerian UMKM yang meminta pendampingan enam Kedubes selama kunjungan Agustina Hastarini istri Menteri UMKM Maman Abdurrahman ke Eropa, menarik perhatian publik. Surat bernomor B-466/SM.UMKM/PR.01/2025 dengan keterangan Kunjungan Istri Menteri UMKM Republik Indonesia tertanggal 30 Juni 2025 ini ditujukan kepada enam KBRI dan satu konsul jenderal RI.
Dalam surat itu, istri Menteri UMKM disebutkan akan melakukan kegiatan misi budaya di Istanbul, Turki; Pomorie, Bulgaria; Sofia, Bulgaria; Brussels, Belgia; Paris, Prancis; Lucerne, Swiss; dan Milan, Italia. Inti surat itu adalah permohonan dukungan dari KBRI di negara-negara yang dimaksud agar melakukan pendampingan selama misi budaya istri Menteri UMKM.
Atas bocornya surat itu, menteri Maman dikabarkan tergopoh-gopoh ke KPK dan menyerahkan sejumlah dokumen serta memberi keterangan pers. Maman mulanya menjelaskan tujuan istrinya berangkat ke Eropa.
"Keberangkatan istri saya ke luar negeri adalah mendampingi anak saya yang masih kelas I SMP mengikuti pertandingan misi budaya, acara rutin yang dilakukan oleh sekolah," kata Maman, dikutip dari detik.com, di gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (4/7/2025)
Menteri UMKM Maman Abdurrahman (baju kemeja putih).
Foto: Agung Pambudhy/detikcom
Maman mengaku istrinya pergi mendampingi anak tidak menggunakan fasilitas dari negara. Politikus Golkar itu menyebutkan seluruh biaya selama proses perjalanan ke luar negeri dibayarkan melakukan rekening pribadi istri.
"Dan saya sampaikan, satu rupiah pun tidak ada uang dari uang negara, satu rupiah pun tidak ada uang dari pihak lainnya. Saya tunjukkan dan saya sampaikan dokumen-dokumen pembayaran tiket langsung dari rekening pribadi istri saya," terang Maman.
Dikutip dari detik.com, terkait surat berkop Kementerian UMKM itu, Maman juga tak tahu-menahu. Ia mengatakan sama sekali tidak memberikan perintah terkait surat tersebut.
"Terkait beredarnya dokumen, sampai hari ini saya pun tak mengerti itu dokumen dari mana. Jadi, saya tidak pernah ada perintah dari saya. Tidak ada pernah disposisi dari saya. Tidak ada pernah apa pun arahan dari saya. Jadi, saya merasa tidak tahu-menahu mengenai dokumen tersebut," terang Maman.
Adapun Dubes RI untuk Italia, Junimart Girsang, mengatakan belum mendapatkan petunjuk dari Kemlu sebagai pemerintah pusat. Junimart juga mengatakan surat Kementerian UMKM tersebut tidak ditujukan langsung ke KBRI.
"KBRI Rome belum mendapatkan petunjuk dari Kemlu RI dan secara prosedur resmi, surat dari kementerian tersebut ditujukan kepada Kemlu bukan langsung kepada KBRI," kata Junimart kepada wartawan, Jumat (4/7/2025).
Sementara itu, KPK masih mempelajari dokumen-dokumen yang diserahkan Menteri UMKM Maman Abdurrahman terkait surat kunjungan istrinya ke luar negeri berkop kementerian. KPK mengatakan akan memanggil kembali Maman jika memerlukan informasi tambahan.
"KPK masih mempelajari dokumen-dokumen yang kemarin telah disampaikan oleh Pak Menteri UMKM. Itu nanti jika memang dibutuhkan informasi ataupun klarifikasi tambahan, KPK akan meminta keterangan-keterangan tersebut," kata Jubir KPK Budi Prasetyo kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (7/7/2025).
Budi menjelaskan terkait surat berkop Kementerian UMKM mengangkut kunjungan istri Maman, Agustina Hastarini, menjadi atensi KPK. Sebab, kata dia, KPK terus melakukan imbauan agar pejabat bisa menghindari potensi gratifikasi maupun konflik kepentingan.
"Ya itu tentu juga menjadi atensi KPK, karena memang KPK terus mengimbau kepada para pejabat publik, kepada para penyelenggara negara untuk menghindari potensi-potensi gratifikasi, potensi konflik kepentingan," jelas Budi, dikutip dari detik.com.
"Baik yang modusnya tidak hanya bisa diberikan kepada yang bersangkutan, tapi juga modus-modus seperti itu bisa juga melalui keluarga, kerabat, ataupun pihak-pihak lainnya. Termasuk gratifikasi ataupun konflik kepentingan, bentuknya tidak hanya dalam bentuk barang, jasa, tapi juga dimungkinkan dalam bentuk-bentuk fasilitas," sambungnya.
Sementara itu, Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai surat tersebut mengandung pelanggaran.
"Ya, surat itu mengandung pelanggaran ya. Bisa merupakan pelanggaran etik, disiplin, atau pidana," ujar peneliti dari Pukat UGM, Zaenur Rohman, kepada wartawan, Senin (7/7/2025), dikutip dari detikcom.
Boyamin Saiman.
Foto: Ari Saputra/detikcom
Menurut Zaenur, surat tersebut adalah satu bentuk kegagalan untuk membedakan urusan pribadi dengan urusan kedinasan. Ini yang disebutnya pelanggaran etik. Kemudian, bisa menjadi pelanggaran disiplin bila surat tersebut dikirimkan melalui kesekjenan Kementerian UMKM.
"Dia bisa menjadi pelanggaran pidana kalau ada anggaran pemerintah, anggaran instansi yang digunakan untuk melakukan pemenuhan permintaan-permintaan. Itu bisa merupakan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tipikor, yaitu merugikan keuangan negara," sambungnya.
Zaenur mengatakan surat permintaan ini sangat tidak etis dan tidak patut. Hal ini menunjukkan betapa perilaku pejabat di Indonesia masih sangat feodal.
"Saya pikir juga presiden perlu melakukan penertiban terhadap pembantunya. Melalui Seskab misalnya untuk memperjelas perkara ini dan jika memang terbukti harus memberikan peringatan dan memberikan sanksi," ujar Zaenur.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, praktik semacam itu, menurutnya, bukan hanya terjadi di satu atau dua kementerian. “Ada itu banyak. Lazim di banyak kementerian sebetulnya ya," ucapnya kepada detikX.
Menurutnya, jika pejabat bepergian ke luar negeri, yang paling direpotkan biasanya adalah pihak perwakilan RI di negara tujuan. Boyamin mengingat pengalamannya saat mengurus para pekerja migran di Hongkong. Waktu itu, ia mendapat pengakuan dari pejabat Konjen di sana terkait perilaku pejabat Indonesia yang memeras dan meminta berbagai fasilitas saat kunjungan.
“Pejabat yang lain biasanya minta-minta fasilitas tuh. Ya hotel segala macam, dijemput, ditemani. Dan ujung-ujungnya kalau mereka, paling nggak minimal minta oleh-oleh,” terang Boyamin.
Kondisi itu menurut Boyamin menimbulkan dampak berantai, karena biasanya tidak ada anggaran yang tersedia khusus untuk meladeni segala kemauan para pejabat. Alhasil otoritas Indonesia di luar negeri terpaksa mencari 'uang sabetan'. Akibatnya, muncul praktik pungli di layanan lain untuk menutup biaya fasilitas pejabat dan keluarganya itu.
“Akhirnya biasanya kan yang itu mengoprek anggaran, kalau nggak mengoprek kan ya jadi pungli kepada biaya lain. Misalnya ngurus perpanjangan paspor atau izin kerja atau apa segala macem kan. Jadi kena pungli itu," jelas Boyamin.
Menurut Boyamin, penegak hukum seharusnya aktif memastikan pejabat yang bepergian ke luar negeri memang menjalankan tugas negara, bukan urusan pribadi.
“Maka memastikan gitu ya, melakukan apa, sidak anggaran-anggaran, itu yang dilakukan segala macam itu dipastikan. Misalnya ada menteri yang berangkat ke luar negeri, acara dinas sehari atau dua hari, berapa hari kemudian di sana, dia ngajak anak istri enggak, dia dibayari siapa, kan gitu kan," tegasnya.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Melisa Mailoa
Desainer: Fuad Hasim