Damaskus -
Gencatan senjata di Suweida bertahan, tetapi konflik antara para aktor jauh dari terselesaikan. Kantor Berita Suriah SANA melaporkan, sebagai tindakan pencegahan, otoritas Suriah sejak hari Minggu (20/07) mulai mengevakuasi banyak keluarga kelompok sosial-budaya Badawi (Badui atau Badouine).
Dengan demikian, ada 1.500 orang yang dievakuasi dengan bus dan kendaraan lain dari kota-kota di selatan Suriah.
Sejak konflik berdarah antara kelompok etnoreligius Druze (Drusian) dan Badui di Suweida pecah hampir sepuluh hari yang lalu, sudah sekitar 1250 orang tewas terbunuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demikian informasi menurut Pusat Pengamatan Suriah untuk Hak Asasi Manusia (Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, SOHR). Informasi tersebut tidak dapat diverifikasi, tetapi angka dari SOHR -lembaga yang didirikan pada awal Perang Sipil Suriah di London itu, umumnya dapat diandalkan.
SOHR merinci, ada lebih dari 600 penduduk Provinsi al-Suwaida di terenggut nyawanya. 194 orang dieksekusi oleh pasukan dari Kementerian Pertahanan dan Interior dalam Prosedur Cepat Suriah.
Selain itu, lebih dari 400 anggota pasukan pemerintah dan 23 orang Badui terbunuh. Tiga warga sipil Badui dikatakan telah dieksekusi oleh pejuang Drusian, lanjut SOHR.
Kekerasan fatal menghimpit pemimpin politik sementara negara itu, Ahmed al-Sharaa. Tugasnya yang paling mendesak: Mengakhiri kekerasan secara permanen di Suweida - dan juga negara secara keseluruhan.
Alawi dan Assad
Rekonsiliasi kelompok populasi yang berbeda juga menjadi pekerjaan rumah penguasa di Damaskus. Hal ini menjadi semakin penting karena pada bulan Maret lalu telah terjadi bentrokan kekerasan antara kelompok Alawi dan jihadis, di mana diduga juga melibatkan anggota pasukan pemerintah. Dalam kejadian tersebut, lebih dari 1.300 orang tewas.
Keluarga bekas pemimpin Suriah Bashar al-Assadjuga berasal dari jajaran komunitas Alawi. Banyak warga Alawi yang dianggap sebagai pendukung rezim yang tumbang tersebut. Laporan investigasi yang diumumkan oleh pemerintah tentang insiden Maret lalu, masih dapat ditemukan hari ini.
Al-Sharaa menghadapi tantangan besar, kata pakar Timur Tengah dan penasihat politik Carsten Wieland dalam wawancara dengan DW. Peristiwa-peristiwa beberapa minggu dan bulan terakhir telah melemahkan klaimnya sebagai presiden untuk semua warga Suriah tanpa terkecuali, serta usahanya untuk menciptakan Suriah yang bersatu dan mencakup semua kelompok masyarakat.
Tidak di bawah kendali pasukan keamanan?
"Pada banyaknya warga Suriah tumbuh skeptisisme terhadap negara yang tampaknya tidak bisa mengendalikan pasukan keamanannya sendiri. Semakin penting bahwa laporan investigasi kekerasan terhadap komunitas Alawi segera diumumkan," ujarnya lebih lanjut.
Ditambahkannya: "Sangat penting bahwa secara publik dijelaskan siapa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan juga dimintai pertanggungjawaban."
Semua ini harus dilakukan dengan cepat, ujar Ronja Herrschner, seorang ilmuwan politik di Universitas Tbingen. Suriah masih memiliki jalan panjang, papar Herrschner ke DW.
"Namun, saya dengar bahwa meskipun banyak kekurangan, Al-Sharaa masih tetap dihormati di kalangan Sunni. Karena dia masih dipandang sebagai pembebas Suriah dari rezim Assad. Oleh sebab itu, dia masih memiliki kepercayaan lebih di antara kaum Sunni. Namun, hal ini tidak selalu berlaku bagi kelompok minoritas," imbuhnya.
Tekanan dari dua arah
Pada saat yang bersamaan, kedua belah pihak juga memberi tekanan terhadap pemerintah. Demikian menurut komentar dari surat kabar berbahasa Arab Sharq al-Awsat. Kelompok pertama terdiri dari mantan pendukung rezim Assad yang jatuh, kekuatan yang terhubung dengan Iran serta kelompok kriminal, terutama dari bidang perdagangan narkoba.
Kelompok kedua berasal dari lingkaran dalam rezim dan secara aktif memanaskan krisis. Kelompok ini terutama merupakan kekuatan yang termotivasi secara jihadis bahwa pemerintah dapat berkonfrontasi dengan kelompok-kelompok lokal, tambah laporan surat kabar itu. Sehingga pada gilirannya dapat mengundang aktor asing untuk memicu perang saudara baru di Suriah.
Carsten Wieland mengatakan bahwa basis kekuasaan al-Sharaa sebenarnya tipis. Hanya ada sedikit tenaga profesional yang berada di bawah kendalinya. Sebaliknya, ada proporsi besar milisi muda yang sudah terradikalisasi, yang berpikiran sektarian atau salafi, dan menjadi ekstremis akibat perang saudara.
"Kelompok ini merupakan bagian berbahaya dari generasi muda tersebut. Mereka membentuk realitas politik saat ini. Pertanyaannya adalah bagaimana al-Sharaa bisa menyingkirkan kelompok ini tanpa dirinya sendiri menjadi korban," tegasnya.
Belum lagi ada pula jihadis asing dalam konflik itu, lanjut Wieland. Mereka juga tidak berada di bawah kontrol al-Sharaa. "Terakhir, ada pula sebagian dari Badui Sunni, yaitu pejuang yang ingin membalas dendam terhadap kelompok minoritas. Al-Sharaa juga harus segera mengendalikan mereka."
Dukungan dari mancanegara
Meski begitu, Amerika Serikat dan beberapa negara Teluk — terutama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab — masih terus mendukung al-Sharaa, jelas Ronja Herrschner.
"AS ingin menarik pasukannya dari Suriah dalam jangka menengah. Syarat utamanya tentu agar negara itu tetap stabil secara politik."
Saat ini, Amerika Serikat yang paling percaya bahwa al-Sharaa mampu menjamin hal itu. Oleh karena itu, mereka tetap mendukungnya.
"Hal yang sama juga berlaku pula bagi negara-negara Teluk," lanjut Herrschner. "Mereka tentu juga menginginkan stabilitas di Suriah, dan karena itu mereka juga mendukung al-Sharaa."
Pandangan serupa diungkapkan Carsten Wieland. Bagi negara-negara Teluk, sama seperti AS, tujuan mereka adalah menjaga Suriah sebagai negara yang stabil dan bersatu, serta mencegah perang proksi sebisa mungkin.
"Namun, Israel tampaknya memiliki tujuan sebaliknya, yaitu memecah-belah sebagian penduduk untuk melemahkan negara," ujar Carsten Wieland.
"Hal ini harus menjadi alarm bagi kawasan yang sering mengalami keruntuhan negara dan perang saudara," tambahnya.
Karena itu, AS juga menentang tindakan Israel di Suriah.
Baru-baru ini, Israel ikut campur dengan berposisi di pihak komunitas Druze dalam kekerasan di sekitar Suwaida. Namun kemudian mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan pemerintah Suriah.
Keruntuhan negara bukanlah kepentingan AS — begitu pula Eropa, pungkas Wieland. "Karena saat ini tidak ada negara yang melihat alternatif lain selain al-Sharaa."
Latar belakang konflik
Perang di Suriah bermula pada tahun 2011 dengan protes damai menuntut agar Presiden Bashar al-Assad turun dari kekuasaan. Namun, pemerintahannya menolak dan membalas dengan keras, sehingga protes berubah menjadi perang saudara yang berkepanjangan.
Setelah bertahun-tahun konflik, rezim Bashar akhirnya tumbang, tetapi Suriah tidak langsung damai. Berbagai kelompok bersenjata seperti pemberontak Sunni, milisi Kurdi, kelompok Alawi, dan ekstremis seperti Islamic State- ISIS mulai berperang satu sama lain untuk menguasai wilayah dan memperebutkan kekuasaan.
Konflik ini semakin rumit karena dukungan berbagai negara asing yang mendukung pihak berbeda-beda, membuat perang di Suriah sulit diselesaikan dan menyebabkan penderitaan besar bagi rakyatnya.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Rizki Nugraha
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini