Peta Jalan Kolektif Menuju Puncak Bonus Demografi

16 hours ago 6

Jakarta -

"Bonus demografi adalah kesempatan emas yang tidak boleh kita sia-siakan," ujar Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam pandangannya, Indonesia tengah berada di ambang lonjakan keemasan, ketika mayoritas penduduk berada pada usia produktif —208 juta jiwa diproyeksikan akan mencapai puncaknya pada 2030 hingga 2045. Ini bukan sekadar angka, melainkan kekuatan manusia yang dapat menjadi motor transformasi bangsa.

Namun di sisi lain, Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, mengingatkan bahwa bonus ini juga mengandung ancaman keterlambatan. Ia menegaskan bahwa generasi muda saat ini menghadapi tekanan berlapis —dari akses pendidikan yang timpang, keterbatasan lapangan kerja bermutu, hingga risiko disrupsi teknologi. "Bonus demografi bukan hadiah, tapi ujian. Kita tidak sedang menunggu waktu panen, kita sedang diuji apakah mampu mempersiapkan ladang dan benihnya secara merata," ungkapnya dalam sebuah diskusi publik.

Menapaki jalan kritis

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indonesia memang sedang menapaki jalan kritis: jalan yang bisa membawa pada lonjakan keemasan, atau justru menyisakan generasi yang tertinggal oleh waktu. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada Juni 2022, 69% penduduk Indonesia—sekitar 190 juta jiwa—termasuk dalam kategori usia produktif. Namun, usia produktif bukan jaminan produktivitas nasional jika tidak dibarengi dengan kualitas, akses, dan kesempatan.

Di satu sisi, muncul optimisme. Generasi muda Indonesia semakin akrab dengan dunia digital dan terbuka terhadap inovasi. Survei Nasional 2023 menunjukkan bahwa 31% pemuda Indonesia berminat bekerja di sektor teknologi dan industri kreatif. Dunia sedang berubah, dan anak muda kita sebenarnya sudah mengetuk pintunya. Di sisi lain, tantangan mendasarnya belum berubah: konektivitas digital yang timpang, kualitas pendidikan yang belum merata, dan sistem ekonomi yang belum sepenuhnya siap menyerap tenaga kerja berdaya saing tinggi.

Realitasnya, per Februari 2024, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Indonesia tercatat 69,48%. Namun sebagian besar dari angkatan kerja tersebut masih terjebak di sektor informal. Di sinilah letak ancaman keterlambatan itu: ketika pertumbuhan demografis lebih cepat dari pertumbuhan kapasitas struktural negara untuk menyerap dan memaksimalkan potensi manusianya.

Merumuskan peta jalan kolektif

Waktu terus berjalan menuju puncak bonus demografi, sementara banyak fondasi struktural kita masih tambal sulam. Tanpa pedoman arah yang konkret dan lintas sektor, Indonesia berisiko kehilangan momentumnya.

Peta jalan nasional diperlukan, tidak hanya bersifat konseptual, tetapi operasional dan terukur. Tanpa peta jalan yang jelas dan disepakati bersama, kekuatan demografi yang besar dapat berubah menjadi beban struktural yang membebani masa depan bangsa. Peta jalan ini harus mampu mengintegrasikan kebijakan secara menyeluruh, bukan berdiri sendiri-sendiri seperti selama ini.

Menjawab peluang dan ancaman ini, antara 2025 hingga 2030, penting bagi seluruh komponen bangsa untuk bersepakat pada satu fondasi: sistem pendidikan dan pelatihan kerja yang adaptif terhadap revolusi industri dan sosial. Pendidikan tidak bisa lagi hanya bersifat klasikal, tetapi perlu bersentuhan dengan kecerdasan buatan, kolaborasi global, dan kewirausahaan sosial.

Kemudian pada 2030–2035, akselerasi perlu difokuskan pada sektor-sektor strategis: teknologi, ekonomi kreatif, pertanian berbasis inovasi, dan industri hijau. Pada fase ini, insentif fiskal yang progresif, regulasi yang berpihak pada generasi muda, serta penguatan sistem sosial menjadi prasyarat agar lonjakan keemasan tak hanya terjadi di pusat kota, tetapi juga menjangkau pinggiran dan desa-desa.

Memasuki 2035–2040, konsolidasi menjadi kata kunci. Pemerintah dan masyarakat sipil perlu mengevaluasi arah kebijakan, memperbaiki yang lemah, dan memperluas yang sudah baik. Pada tahap ini pula, program inklusi terhadap kelompok lansia harus mulai diperkuat, mengingat perubahan struktur demografi yang mulai bergeser.

Keseimbangan antara produktivitas dan perlindungan sosial menjadi krusial. Tahun 2040–2045 adalah masa panen atau masa kehilangan. Bila peta jalan berjalan seiring dengan tekad politik dan dukungan kolektif dari seluruh lapisan masyarakat, Indonesia tidak hanya akan menjadi bangsa besar dalam jumlah, tetapi juga unggul dalam kualitas. Namun jika keterlambatan tidak dikelola, kita bisa tergelincir ke dalam generasi pengangguran, frustrasi sosial, dan stagnasi ekonomi.

Menyatukan irama, meraih tujuan

Karena itu, langkah-langkah besar tidak cukup jika hanya lahir dari negara. Bonus demografi adalah persoalan kolektif yang menuntut duduk bersamanya seluruh komponen bangsa: pemerintah pusat dan daerah, akademisi, pelaku usaha, komunitas pendidikan, media, organisasi keagamaan, dan tentu saja, generasi muda itu sendiri. Dibutuhkan kesepakatan nasional, bukan hanya dalam tujuan, tapi juga dalam cara.

Kita perlu menyelaraskan irama, menyatukan energi, dan menanggalkan ego sektoral agar cita-cita bersama dapat dijalankan secara harmonis. Mengelola bonus demografi membutuhkan kebijakan yang visioner dan tindakan yang konsisten. Tapi lebih dari itu, ia memerlukan niat kolektif untuk menjadikan keunggulan demografis sebagai momentum lahirnya Indonesia unggul: bangsa yang tidak sekadar besar dalam jumlah, tetapi tangguh dalam kualitas, adil dalam akses, dan bermartabat dalam kontribusi global.

Keberhasilan mengelola bonus demografi adalah tentang waktu, niat, dan keberanian. Waktu yang tidak akan kembali. Niat yang tidak bisa setengah hati. Dan, keberanian untuk memilih jalan bersama, bukan jalan masing-masing. Jika hari ini kita menabur keselarasan visi dan aksi, kelak kita bisa menuai lonjakan keemasan yang benar-benar milik bersama.

Steph Subanidja Guru Besar Ilmu Manajemen dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Perbanas

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial