Parpol Didorong Jaga Independensi Pendanaan

3 weeks ago 19

Jakarta -

Anggota Komisi III DPR, Benny K Harman mengungkap dampak politik uang pada Pemilu. Ia mendorong agar pendanaan partai politik terjaga independensinya.

Hal itu disampaikan Benny dalam diskusi yang bertajuk Demokrasi Cukong: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris yang disiarkan di YouTube Unas TV. Benny awalnya mengungkap sejumlah perbedaan pengaruh oligarki terhadap kinerja parlemen setelah reformasi.

Saat ini calon anggota DPR dipilih oleh partai politik. Menurut Benny, oligarki memandang DPR yang terdiri dari berbagai fraksi dianggap lebih mudah dikuasai oligarki. Apalagi, DPR memiliki peran dan fungsi legislatif yang lebih baik sejak era reformasi, yaitu pembentukan kebijakan, persetujuan anggaran dan fungsi pengawasan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dan anggaran-anggaran triliunan itu nggak mungkin jalan tanpa persetujuan dewan. Ini dikonfirmasikan berbagai kasus yang ditangani KPK. Banyak anggota dewan yang terlibat kasus korupsi karena banyak anggota dewan yang menjadi perpanjangan tangan oligarki di lembaga DPR dalam kaitan dengan fungsi anggaran," kata Benny, Kamis (20/2/2025).

Dengan begitu menurutnya oligarki dinilai dapat mengendalikan DPR dengan membiayai partai politik dari mulai operasional partai hingga biaya kampanye pemilu. Namun, dampak dari oligarki tersebut terjadi krisis independensi DPR terhadap pelaksanaan wewenang dan fungsi pengawasan DPR. Oleh karenanya, ia mendorong agar independensi partai politik harus dijaga dengan mengatur tata kelola pendanaannya.

"Gimana solusinya? Tidak ada lain harus dijaga independensi partai politik dengan mengatur tata kelola pendanaan partai politik," katanya.

Kedua, Benny juga meminta agar independensi peranan lembaga yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dijaga. Ia juga mendorong DPR untuk patuh pada tata kelola good governance dan memperkuat KPK.

"Kemudian ya harus ada tekanan supaya DPR itu patuh pada tata kelola good governance, kalau enggak ya susah. Kemudian terakhir kita perlu memperkuat kembali KPK. hanya itu caranya, kalau enggak ya DPR kita disfungsi ya demokrasi kita pasti mati, nggak ada demokrasi tanpa DPR. Saya nggak yakin banyak orang bilang bubarkan DPR, kalau bubarkan DPR ya mati lah demokrasi itu, menurut saya belum ada model lain yang bisa kita andalkan," katanya.

Senada dengan Benny, praktisi kepemiluan, Titi Anggraini juga menyoroti partai politik yang memiliki kewenangan yang besar untuk mengisi lembaga independen, tetapi dana partai politiknya tidak terbuka. Ia mencontohkan untuk menentukan seseorang maju di pemilu, perlu ditentukan oleh ketua umum partai.

"Saya merasa partai politik adalah institusi yang paling tidak kita sentuh selama proses reformasi ini. Dan terlihat bahwa partai politik secara alamiah membangun benteng untuk tidak disentuh di dalam reformasi itu," kata Titi.

"Tahun 2004 di era Pak SBY keuangan partai politik dilaporkan ke KPU, akhirnya ditemukan beberapa kontroversi dan skandal, akhirnya mereka ubah UU partai politik sehingga keuangan partai politik hanya diaudit oleh auditor yang diumumkan di tempat yang dijangkau publik, berbeda dengan dana kampanye. Jadi ada resiliensi yang berusaha dibangun oleh partai politik sehingga demokrasi yang kompetitif tidak masuk dalam insitusi partai politik," katanya.

Politik Uang Disebut Bisa Pengaruhi Pilihan Pemilih

Sementara itu Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, menyebut berdasarkan survey yang dilakukannya, toleransi politik uang masyarakat semakin meningkat setelah adanya pemilu serentak. Bahkan, efek politik uang saat ini bisa mempengaruhi pemilih untuk menentukan pilihannya setelah adanya pemilu serentak.

Burhanuddin mengumpulkan data survey sejak pertama kali Pilkada hingga saat ini, menurutnya, setelah Pemilu 2019 rata-rata tingkat toleransi politik uang sudah diatas 50%. Selanjutnya pada Juli 2024 setelah Pemilu serentak Pileg dan Pilpres kemarin rata-rata tingkat toleransi politik uang menyentuh angka 56%, sehingga pemilih semakin toleran dengan praktik politik uang tersebut.

"Jadi cut offnya April 2019, pada saat Pemilu serentak dilakukan. Jadi toleransi politik uang sebelum April 2019 baik ditingkat DPR, Pileg, Pilkada Gubernur, Pilkada Kabupaten Kota, itu rata-rata tingkat toleransi politik uang flat, tapi setelah April 2019 itu naiknya sangat eksponensial toleransi politik uang," kata Burhanuddin.

Selain itu menurutnya bukan hanya toleransi masyarakat terhadap politik uang yang meningkat, tetapi juga dapat mempengaruhi pilihan. Sebab menurutnya saat ini makin banyak yang mengatakan masyarakat akan memilih calon yang memberikan uang.

"Bukan hanya toleransi, efek politik uang juga makin kuat, makin mempengaruhi pilihan, jadi ada pertanyaan kalau mereka menganggap politik uang itu wajar, mereka mau nggak mengubah pilihan? Sekarang terlihat ada peningkatan yang mereka mengatakan 'ambil duitnya dan akan memilih yang ngasih duit'," kata Burhanuddin.

Selain itu berdasarkan survei, Burhanuddin menilai politisi yang memiliki latarbelakang pengusaha saat ini makin banyak yang sukses. Hal itu karena adanya sumberdaya dan jaringan.

Oleh karena itu, ada beberapa dugaan mengapa hal tersebut terjadi, pertama pemilu serentak membuat persaingan antar kandidat semakin ketat. Akibatnya terjadi semacam normalisasi politik uang.

"Pertanyaan yang muncul kemudian kenapa Pemilu serentak memfasilitasi kenaikan politik uang? Ada tiga hipotesis, yang pertama pemilu serentak diikuti oleh ratusan ribu calon, mereka bertarung dalam waktu yang sama, jadi more candidate more offers, dan akibatnya karena semua ngasih akhirnya terjadi semacam normalisasi politik uang," ujarnya.

"Kedua, itu menambah high electoral uncertanty, karena makin banyak yang bertarung dalam waktu yang bersamaan akhirnya kecemasan politik yang dihadapi para politisi meningkat," katanya.

Selain itu karena banyaknya calon, tetapi petugas pengawas pemilu atau Bawaslu jumlahnya tetap, maka terjadi kurangnya pengawasan terhadap pelanggaran pemilu. Terutama kurangnya pengawasan Bawaslu atau Gakkumdu terhadap Pileg karena petugas pengawas dianggap fokus terhadap Pilpres.

Merespons kajian Burhanuddin, Titi Anggraini menyebut perlunya ada kajian ulang antara relasi politik uang dengan keserentakan pemilu pada Pilpres mendatang. Hal itu karena saat ini sudah ada putusan MK terbaru yang menghapus ambang batas pencalonan presiden.

"Jadi kalau saya menyatakan relasi antara vote buying dan keserentakan kita harus uji lagi teori Mas Burhan ketika ambang batas pencalonan dihapuskan 2029. Ada putusan MK tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden. 2029 jangan-jangan kita bisa melihat kompetisi yang lebih kompetitif lagi karena tidak dipaksa dengan pencalonan kawin paksa ambang batas pencalonan presiden," katanya.

Sementara itu Amiruddin Al Rahab mengatakan perlu kehatia-hatian dalam menyikapi kepentingan antara birokrasi, partai politik, dan pelaku bisnis. Oleh karenanya, ia meminta agar akademisi dan universitas untuk kembali membuka forum untuk saling bertukar pendapat.

"Kita perlu kembali melihat secara lebih hati-hati kaitan atau berkelindannya kepentingan 3 bagian ini birokrasi, politik dan bisis dalam rangka menguasai kekayaan atau sumber daya negara ini. Kenapa, kalau itu kita biarkan seperti ini sekarang, apa yang diperintahkan oleh konstitusi wujudkan kesejahteraan tidak pernah tercapai," kata Amiruddin.

"Upaya-upaya untuk menghadapi kemungkinan situasi yang tidak baik-baik saja ke depan universitas menjadi sangat relevan untuk kembali membuka forum bersama seperti ini sehingga kita bisa bertemu dalam cara berpikir sehingga bisa menghitung cara bertindak seperti apa dalam hal seperti itu," ujarnya.

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial