Jakarta -
Ketua Komisi VII DPR Saleh Partaonan Daulay meminta agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kepariwisataan mengatur soal pajak warga negara asing (WNA). Hal ini bertujuan untuk memfilter WNA yang berlibur ke Indonesia.
Wacana penerapan pajak khusus bagi wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia layak mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Sebagai praktisi usaha perjalanan wisata dan pengamat pariwisata saya melihat ide ini sebagai peluang strategis yang perlu dikelola dengan bijaksana.
Bukan Konsep Baru
Pajak wisatawan bukanlah konsep baru dalam lanskap pariwisata global. Banyak negara telah menerapkan skema serupa dengan berbagai bentuk dan tujuan. Mari kita telaah beberapa studi kasus yang relevan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di kawasan Asia, Thailand menerapkan biaya masuk sebesar 300 baht (sekitar Rp 130.000) per orang sejak awal 2024. Pendapatan dari pajak ini dialokasikan untuk pengembangan destinasi wisata dan asuransi kecelakaan bagi wisatawan. Singapura telah lama mengenakan pajak hotel yang disebut service charge sebesar 10% ditambah GST 7% kepada wisatawan. Jepang juga memberlakukan International Tourist Tax sebesar 1.000 yen (sekitar Rp 100.000) bagi setiap wisatawan yang meninggalkan negara tersebut.
Beralih ke Eropa, Venesia di Italia baru-baru ini menerapkan biaya masuk sebesar 5 euro bagi pengunjung harian untuk mengatasi masalah overtourism. Barcelona mengenakan pajak turis sebesar 4 euro per malam dengan tambahan untuk hotel berbintang. Prancis memiliki taxe de séjour atau pajak menginap yang bervariasi antara 0,20 hingga 4 euro per malam tergantung kelas akomodasi.
Menariknya, model-model pajak ini telah memberikan dampak beragam. Di Bhutan misalnya, Sustainable Development Fee yang cukup tinggi yakni 200 USD per malam telah berhasil mengendalikan jumlah wisatawan dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Namun, biaya tinggi ini juga menjadikan Bhutan sebagai destinasi eksklusif yang hanya terjangkau oleh kalangan tertentu.
Dari berbagai kasus tersebut, kita dapat memetik beberapa pelajaran penting. Penerapan pajak wisatawan bukan sekadar alat pengumpul dana, melainkan instrumen kebijakan yang dapat mengarahkan perkembangan pariwisata sesuai visi strategis negara.
Beberapa Pendekatan
Untuk konteks Indonesia, saya menyarankan beberapa pendekatan. Pertama, pajak WNA sebaiknya didesain dengan skema bertingkat. Wisatawan dari negara-negara prioritas seperti China, Australia, atau Singapura dapat dikenakan tarif berbeda dengan wisatawan dari negara lain. Hal ini memastikan kompetitivitas kita tetap terjaga di pasar utama.
Kedua, transparansi penggunaan dana pajak mutlak diperlukan. Wisatawan berhak tahu kontribusi mereka digunakan untuk apa. Apakah untuk konservasi alam, pelestarian budaya, atau pengembangan infrastruktur pariwisata.
Ketiga, implementasi sebaiknya dilakukan secara bertahap. Mulai dari destinasi premium seperti Bali atau Labuan Bajo sebelum diterapkan secara nasional. Ini memberikan ruang untuk evaluasi dan penyesuaian kebijakan.
Keempat, perlu dipertimbangkan pembebasan pajak bagi beberapa kelompok wisatawan, seperti pelajar internasional, peneliti, atau wisatawan dengan tujuan medis. Ini menunjukkan bahwa kebijakan pajak kita tidak kaku dan mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
Kelima, pajak WNA sebaiknya terintegrasi dengan inisiatif pariwisata berkelanjutan. Dana yang terkumpul dapat dialokasikan untuk program-program ramah lingkungan, pelestarian budaya lokal, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di destinasi wisata.
Bukan Mengurangi Kuantitas
Saya percaya, jika dikelola dengan baik, pajak WNA dalam RUU Kepariwisataan dapat menjadi instrumen efektif untuk memfilter wisatawan yang masuk ke Indonesia. Namun, filtering ini bukan soal mengurangi kuantitas, melainkan meningkatkan kualitas pengalaman wisata yang ditawarkan.
Dengan pendekatan yang tepat, pajak wisatawan dapat memberikan manfaat bagi semua pemangku kepentingan. Bagi wisatawan, mereka mendapatkan pengalaman berkunjung yang lebih baik. Bagi industri pariwisata, tercipta lingkungan bisnis yang lebih berkelanjutan. Bagi masyarakat lokal, terbuka peluang ekonomi yang lebih merata. Dan bagi pemerintah, tersedia sumber pendapatan tambahan untuk pengembangan sektor pariwisata.
Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan pajak WNA tidak diukur dari besaran dana yang terkumpul, tetapi dari dampaknya terhadap ekosistem pariwisata Indonesia secara keseluruhan. Mari jadikan pajak WNA sebagai katalisator transformasi pariwisata Indonesia menuju industri yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan berdaya saing global.
Muhammad Rahmad praktisi usaha perjalanan wisata, dosen peneliti/pengamat pariwisata dari Institut Pariwisata Trisakti Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu