Mudik, Desa, dan, Memori Kolektif

2 days ago 7

Jakarta - Mudik bukan sekadar ritual tahunan. Bukan pula soal perjalanan kembali ke kampung halaman. Mudik identik dengan ziarah batin: perjalanan menuju ke akar yang menumbuhkan asa. Di titik ini, desa adalah lanskap ingatan, tempat masa lalu dan masa kini saling berkelindan. Pierre Nora (1989) menyebutnya sebagai lieux de mémoire—ruang pertautan sejarah dan kebersamaan menemukan identitasnya.

Konteks ini menggarisbawahi mudik sebagai ritus perjumpaan kembali dengan masa lalu, sekaligus upaya menghidupkan kembali hubungan sosial yang mulai renggang akibat laju urbanisasi.

Paradoks tak terelakkan bahwa desa mulai bertransformasi. Desa berubah mengikuti irama modernisasi, perlahan terkikis, bahkan terpinggirkan. Jalanan desa yang dulu lengang, kini dipenuhi kendaraan. Rumah-rumah panggung khas desa berganti menjadi bangunan beton bertingkat. Pasar tradisional yang dulunya ramai oleh suara tawar-menawar perlahan digantikan oleh ritel waralaba. Desa yang begitu akrab dengan aroma tanah basah selepas hujan kini berhadapan dengan debu konstruksi yang tak kunjung reda.

Modernisasi memang tak selalu membawa kebaikan. Di balik derasnya arus perubahan, sering kita abai bahwa desa bukan sekadar pembangunan fisik dan pertumbuhan ekonomi, melainkan juga ruang ingatan kolektif—warisan cara hidup yang terus mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya

Ketika anak-anak muda memilih mengadu nasib di kota, mereka tak sekadar meninggalkan sanak saudara, tetapi juga merenggangkan ikatan dengan narasi kolektif yang seharusnya diwariskan. Yang tersisa di desa hanyalah fragmen sejarah, diceritakan secara sporadis oleh mereka yang masih bertahan.

Dalam dua dekade terakhir, lebih dari 1.500 desa di Indonesia bertransformasi menjadi kota kecil atau wilayah peri-urban akibat ekspansi industri dan pembangunan infrastruktur (BPS, 2022). Setiap tahun, sekitar 3,7 juta penduduk desa bermigrasi ke kota, meninggalkan sawah dan ladang yang perlahan beralih fungsi menjadi kawasan industri dan permukiman. Kementerian Pertanian mencatat bahwa sejak tahun 2000, jumlah petani di Indonesia menyusut drastis dari 42 juta menjadi hanya 33 juta pada 2022. Sementara itu, luas lahan sawah berkurang lebih dari 650.000 hektare dalam dua dekade terakhir akibat alih fungsi lahan.

Sebagian besar tenaga kerja muda beralih ke sektor industri dan jasa, meninggalkan praktik pertanian tradisional yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya desa. Akibatnya, desa kehilangan lebih dari sekadar sawah dan ladangnya—ritual keagamaan lokal mulai memudar, dan bahasa daerah kian jarang terdengar dalam percakapan sehari-hari. UNESCO mencatat bahwa dalam tiga dekade terakhir, setidaknya 11 bahasa daerah di Indonesia telah punah akibat berkurangnya komunitas penuturnya.

Fenomena ini sejalan dengan temuan Rigg et al. (2019) bahwa ekspansi perkotaan di Asia Tenggara mengikis karakter pedesaan: lahan pertanian terus menyusut, ketahanan pangan melemah, dan identitas visual desa perlahan sirna. Desa yang dulu kaya akan keunikan sejarah dan budaya kini menjelma menjadi lanskap yang seragam, nyaris tak dapat dibedakan dari kota kecil di sekitarnya.

Jauh sebelum era modern, sosiolog Jerman Ferdinand Tönnies (1887) telah meramalkan perubahan ini. Desa yang dulu berlandaskan komunitas erat (gemeinschaft), perlahan bertransformasi menjadi masyarakat rasional dan kontraktual (gesellschaft). Kapitalisme dan modernisasi tidak hanya mengubah lanskap fisik desa, tetapi juga merombak struktur sosialnya. Ikatan kekerabatan yang dulu begitu kuat perlahan merenggang, digantikan oleh hubungan transaksional yang semakin individualistis.

Pada akhirnya, tantangan terbesar bagi desa bukan sekadar soal pembangunan, tetapi bagaimana mempertahankan jiwa dan identitasnya di tengah arus perubahan zaman. Modernisasi semestinya bukan gelombang yang menghapus jejak masa lalu, melainkan jembatan yang menghubungkan tradisi dengan masa depan. Sebab, desa yang kehilangan ingatannya tak ubahnya ruang kosong yang tak lagi punya riwayat.

Menjaga Identitas Pedesaan

Memori kolektif adalah fondasi yang menjaga identitas desa tetap kokoh di tengah arus modernisasi yang kian deras. Maurice Halbwachs (1950) menegaskan bahwa memori kolektif bukan sekadar catatan sejarah, melainkan pedoman yang membentuk cara komunitas menghadapi perubahan zaman. Dalam konteks desa, identitas ini terwujud dalam arsitektur rumah adat, sistem pertanian berbasis kearifan lokal, ritual keagamaan, hingga pola interaksi sosial yang diwariskan turun-temurun. Namun, ketika modernisasi bergerak tanpa kendali, nilai-nilai tersebut sering kali terpinggirkan, digantikan oleh budaya yang lebih pragmatis dan individualistis.

Meski begitu, sejumlah desa di Indonesia membuktikan bahwa memori kolektif dapat dipertahankan tanpa harus menolak modernisasi. Di Bali, misalnya, desa-desa adat tetap menjaga tata ruang dan tradisi leluhur sambil berkembang sebagai destinasi wisata. Pola serupa mulai diterapkan di berbagai wilayah Nusantara, menjadikan rumah adat dan pertanian tradisional sebagai daya tarik yang bernilai ekonomis. Keberhasilan ini menegaskan bahwa desa tidak harus memilih antara modernisasi atau pelestarian budaya—keduanya dapat berjalan beriringan jika ada kesadaran kolektif dan kebijakan yang berpihak pada warisan lokal.

Namun, menjaga ingatan kolektif di tengah derasnya arus zaman bukan perkara mudah. Diperlukan strategi pembangunan desa yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengutamakan keberlanjutan sosial dan budaya. Revitalisasi tradisi, regulasi pembangunan berbasis kearifan lokal, serta pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya harus menjadi pilar utama dalam kebijakan desa. Tanpa upaya ini, desa-desa di Indonesia berisiko kehilangan akar sejarahnya, menjelma sekadar bayangan kota dalam skala yang lebih kecil—tanpa jati diri, tanpa ingatan.

Mudik sebagai Ritual Sosial

Mudik mempertemukan kembali individu dengan akar budaya dan lingkungan yang membentuknya. Meskipun banyak orang telah beradaptasi dengan kehidupan modern di kota, keterikatan emosional terhadap kampung halaman tetap kuat. Saat kembali, para pemudik membawa serta kenangan masa kecil, cita rasa makanan khas, serta nilai-nilai yang masih terjaga dalam keseharian masyarakat desa.

Mudik pun menjadi ajang pewarisan budaya antar generasi. Interaksi dengan sanak saudara dan komunitas lokal membuka ruang bagi anak muda yang tumbuh di kota untuk memahami tradisi leluhur. Di sinilah makna mendalam dari mudik terwujud—bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga cara merawat identitas yang diwariskan.

Dari sisi ekonomi, kehadiran pemudik menggerakkan berbagai sektor di desa. Warung makan, pasar tradisional, dan industri rumahan mengalami peningkatan aktivitas. Selain itu, banyak perantau membawa gagasan baru yang dapat memicu inovasi di kampung halaman. Beberapa bahkan kembali dengan niat berinvestasi di bidang pariwisata, pertanian, atau usaha berbasis kearifan lokal, menciptakan peluang yang memperkuat daya saing desa.

Fenomena ini seharusnya dimanfaatkan sebagai momentum strategis untuk memperkuat identitas lokal. Pemerintah desa dan masyarakat perlu mengembangkan program berbasis tradisi—seperti festival budaya, pelestarian arsitektur khas, serta penguatan bahasa daerah—agar mudik tidak hanya menghadirkan nostalgia, tetapi juga menanamkan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga warisan leluhur.

Dengan demikian, mudik menjadi bagian dari strategi menjaga keberlanjutan desa agar tetap memiliki akar yang kuat di tengah arus perubahan zaman.

Perlu Strategi Berkelanjutan

Desa sebagai entitas sosial yang terus tumbuh dalam pusaran zaman memerlukan intervensi kebijakan yang tepat. Sebab rentan kehilangan identitas, terseret arus homogenisasi akibat modernisasi. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana membangun desa tanpa sekadar replika kota kecil yang tercerabut dari akar budayanya.

Sinergitas antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta diperlukan agar tercipta pembangunan desa yang berkelanjutan dan berakar pada kearifan lokal. Digitalisasi, jika diterapkan dengan bijak, dapat menjadi alat strategis untuk memperkuat ekonomi berbasis komunitas, memperluas akses pasar bagi produk lokal, serta melestarikan nilai budaya bagi generasi mendatang. Inisiatif seperti desa digital dan smart village yang mulai diterapkan di berbagai daerah menjadi bukti bahwa desa bisa tetap relevan di era industri 4.0 tanpa kehilangan jati diri.

Lebih jauh, relasi desa dan kota perlu diubah dari pola subordinatif menjadi kemitraan yang setara. Desa tak boleh hanya dipandang sebagai pemasok tenaga kerja murah, tetapi harus diakui sebagai simpul penting dalam rantai ekonomi yang lebih luas. Memperkuat konektivitas, baik melalui infrastruktur fisik maupun digital, menjadi langkah strategis agar desa berkembang tanpa kehilangan populasi produktifnya yang terus bermigrasi ke kota. Sebaliknya, kota juga harus melihat desa sebagai bagian dari solusi atas krisis pangan, ketimpangan ekonomi, dan ketergantungan pada produk impor yang justru bisa ditekan dengan pemberdayaan pedesaan.

Pada akhirnya, desa yang mampu menjaga keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian budaya bukan hanya bertahan secara fisik, tetapi tetap hidup sebagai ruang sosial yang menghidupi nilai-nilai dan memori kolektif. Jika pembangunan dilakukan dengan pendekatan berkelanjutan, desa tidak akan menjadi sekadar catatan kaki dalam sejarah, melainkan bagian dari masa depan yang terus berkembang tanpa kehilangan akar.

Marselinus Nirwan Luru staf pengajar Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial