Jakarta -
Sejak mengambil alih Gedung Putih dengan kemenangan luar biasa pada pemilu beberapa bulan lalu, Trump muncul dengan kebijakan politik yang bukan hanya mengubah dinamika politik domestik, tapi juga global. Di samping mengimpementasikan reformasi di banyak aspek nasional seperti memecat para pegawai USAID, Trump juga mendeportasi para imigran ilegal kembali ke tanah asalnya.
Selain itu, dirinya mengubah nomenklatur Teluk Meksiko menjadi Teluk Amerika dan menarik AS dari berbagai lembaga serta rezim multilateral seperti WHO dan Paris Agreement. Langkah tersebut memicu kesangsian negara lain akan loyalitas Trump pada tatanan liberal. Banyak yang mempertanyakan apakah Trump sedang melakukan permainan strategi politik tersembunyi dan menyimpan niat sebenarnya. Ataukah memang visinya betul-betul bertentangan dari Biden, presiden sebelumnya.
Apapun itu, yang jelas, Trump tidak berbagi jalan kebijakan yang sama dengan pemerintahan Biden dalam mengelola tatanan liberal. Trump melihat kebijakan liberal Biden sebagai kebijakan sia-sia. Terlalu banyak uang dikeluarkan untuk kepentingan negara lain dibanding fokus persoalan domestik. Alhasil, pemerintahan AS di bawah Trump memiliki perspektif tersendiri tentang bagaimana mengoperasikan tatanan liberal.
Karenanya, dirinya menghentikan bantuan keuangan untuk Ukraina; memulangkan imigran ilegal ke negara masing-masing; dan menghentikan program pembangunan USAID ke berbagai negara mitra. Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan keengganan Trump untuk terlibat dalam urusan luar jika tidak sejalan dengan visinya untuk memperbaiki kondisi ekonomi domestik. "American First" menjadi diktum politik, panduan setiap kebijakan yang diambilnya.
Ancaman Persaingan AS-China
Terlepas dari segala kontroversinya, dua hal urgen perlu dicermati atas sikap Trump. Pertama, terkait komitmennya terhadap dunia multipolar yang damai. Multipolaritas adalah dunia yang disi banyak negara besar tapi mereka saling hidup berdampingan. Jelas, Trump tidak memiliki komitmen ini. Perang tarif yang ia lancarkan dengan China, Kanada, dan negara lainnya, tampaknya bertolak belakang dengan logika tata kelola multipolaritas yang harmoni.
Trump masih menggantungkan fantasinya untuk mengembalikan kejayaan AS demi tatanan unipolar, di mana AS menjadi satu-satunya kekuatan hegemonik. Hampir seluruh kebijakan yang diambilnya mencerminkan angan-angan itu, seolah-olah AS sudah sepatutnya menjadi negara adidaya yang selalu berada di puncak ekosistem politik internasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari kebijakan ekonominya yang proteksionis dan politiknya yang populis, faktanya Trump memang jauh dari pemikiran bijaksana tentang pentingnya mengelola multipolaritas. Alih-alih, Trump benar-benar merasa terancam dengan kebangkitan ekonomi banyak negara berkembang, khususnya China.
Selain itu, keputusannya untuk keluar dari organisasi multilateral justru menghalangi kerja sama ideal yang selama ini sudah terjalin. Trump berkeyakinan, keanggotaan AS dalam organisasi internasional hanya merugikan diri sendiri. Dengan kontribusi besar, AS dianggap terlampau banyak berkorban. Keanggotaan di dalamnya hanya akan mengurangi kekuatan absolut AS sebab tidak sedikit biaya yang dialokasikan untuk lembaga-lembaga itu. Padahal menurutnya, AS sendiri masih menghadapi persoalan ekonomi serius di dalan negeri. Berdasarkan cara berpikir Trump, dunia multipolar dan organisasi multilateral karenanya bertentangan dengan kepentingan nasional AS.
Dengan pemikiran semacam itu, tentu akan menjadikan dunia penuh dengan perpecahan. Bahkan absennya kerjasama di antara negara-negara besar berpeluang menimbulkan kesalahpahaman. Kini, negara-negara berkembang di selatan harus menghadapi fakta sengitnya persaingan antar dua kekuatan adidaya, AS dan China. Mereka kini dihadapkan pada pilihan sulit untuk memilih salah satu di antara keduanya: berkoalisi bersama AS atau China?
Retorika Gegabah Trump
Kedua, bahaya Trump bagi negara-negara selatan terletak pada maniaknya atas 'bullying' terhadap negara lain. Pernyataan sembrononya seperti "hendak merelokasi penduduk Gaza" dan ancaman jahat yang dilontarkan seperti "mengakuisisi Greenland", terlepas dari validitas retorika yang disampaikan, benar-benar berisiko memunculkan kesalahpahaman, ketidakpastian, dan kebencian.
Dunia saat ini skeptis terhadap kepemimpinan Trump sehingga banyak negara kebingungan dan meragukan kebijakan politik luar negeri AS di bawah kepemimpinannya. Trump sulit ditebak; retorikanya ambigu. Sehingga setiap negara saat ini bergegas untuk terus waspada. Mereka mulai mempersiapkan kekuatan militer secara internal atau mengkonsolidasikan persekutuan dengan negara lain sebagai langkah antisipasi jika itu benar-benar dibutuhkan.
Uni Eropa, sekutu dekat AS, mulai memunculkan wacana revitalisasi kekuatan militer mereka secara mandiri. Sementara Iran berupaya mewujudkan aliansi yang lebih erat dengan Rusia dan China di tengah isu penyerangan terhadap fasilitas nuklirnya. Begitupun negara-negara selatan lainnya. Kini mereka mulai mencari patron yang bisa dipercaya. Maraknya keanggotaan negara-negara selatan di BRICS adalah salah satu fenomena di antaranya.
Perubahan Gaya Diplomasi Penting
Sebagai negarawan sejati, Trump seharusnya mengerti prinsip dasar diplomasi yang bijak, kecuali dirinya memang benar-benar ingin melihat tatanan dunia multipolar yang harmoni menjadi kacau. Kondisi kacau artinya setiap aktor saling tidak percaya satu sama lain, dan organisasi internasional mulai kehilangan kredibilitasnya sebab negara-negara tidak lagi melihatnya sebagai pilar untuk memperkuat dialog dan menyatukan perbedaan. Alih-alih, malah melihatnya hanya sebagai alat untuk memajukan kepentingan belaka. Saat tidak lagi bisa mewujudkan kepentingan yang dimaksud, eksistensinya diabaikan.
Salah satu cara untuk mengurangi ketidakpastian dan saling curiga di antara masyarakat internasional adalah melalui upaya perubahan gaya diplomasi Trump itu sendiri. Tentu ini tugas berat baginya. Karena sebelum ia sadar betapa berbahaya aksinya untuk kerhamonisan dunia, dia harus terlebih dulu tercerahkan oleh prinsip dasar perdamaian. Bahwa tidak ada jalan menuju perdamaian tanpa kemauan untuk hidup bersama secara setara dan kesiapan untuk hidup dalam dunia multipolar tanpa mengangap kecil negara lain. Ini sulit.
Ahmad Nurcholis dosen Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya; lulusan master Hubungan Internasional Shandong University, China
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini