Singapura -
Laporan terbaru dari Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) menyatakan bahwa jaringan kejahatan di Asia terus mengembangkan industri penipuan siber yang bernilai miliaran dolar.
Menurut Benedikt Hofmann, Wakil Perwakilan Regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, sindikat kejahatan ini terus berkembang.
"Ini adalah kejahatan terorganisir dengan tingkat kecanggihan yang sangat tinggi dan adopsi teknologi baru yang terus berlanjut," kata Hofmann kepada DW. "Industri ini kian berkembang hingga menjadi lebih kompleks tiap harinya."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awal tahun ini, Myanmar, Kamboja, dan Laos semuanya bergerak melawan pusat-pusat penipuan berskala besar, yang sebagian besar berlokasi di wilayah perbatasan. Pihak berwenang menutup beberapa situs dan membebaskan ribuan korban perdagangan manusia yang telah ditipu untuk melakukan perjalanan ke daerah-daerah ini, yang kemudian dipaksa untuk bekerja sebagai penipu.
Terlepas dari penindaklanjutan tersebut, Hofmann mengatakan banyak operasi yang hanya dipindahkan ke daerah lain yang lebih terpencil di wilayah Mekong.
Jaringan kejahatan mencuri miliaran dolar tiap tahun
Industri penipuan siber di Asia Tenggara nyatanya tumbuh dari sindikat perjudian yang amat besar di kawasan laut lepas China. Ini berarti, para pelaku kejahatan mengandalkan infrastruktur kriminal yang sudah ada sebelumnya, seperti pola suap untuk para pejabat pemerintah serta rutinitas pencucian uang.
Menurut Jason Tower, yang menjabat sebagai direktur negara untuk program Burma di United States Institute of Peace (USIP)* saat diwawancarai, jaringan kriminal tersebut baru-baru ini telah bertransformasi menjadi penipuan yang lebih kompleks.
Contohnya, dalam sebuah proses yang dikenal dengan istilah "jagal babi", para penipu sering kali membangun kepercayaan melalui hubungan romantis, lalu memikat korbannya ke dalam investasi mata uang kripto palsu dan skema investasi lainnya.
"Kejahatan semacam itu sangat rumit dan bersifat transnasional sehingga penegak hukum harus dapat bekerja lintas batas jika mereka ingin menindaknya," kata Tower. "Sayangnya, banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan di Eropa, masih berusaha memahami masalah ini."
Sebuah laporan USIP memperkirakan bahwa operasi penipuan dunia maya di negara-negara Mekong kemungkinan menghasilkan sebanyak $44 miliar (sekitar Rp 704 triliun) per tahun, atau hampir 40% dari PDB resmi gabungan Laos, Kamboja, dan Myanmar.
Tower memperingatkan bahwa "miliaran dan miliaran dolar" masuk ke kantong para penjahat "yang merongrong pemerintah dan memicu konflik di tempat-tempat seperti Myanmar," negara yang dilanda perang saudara.
Singapura mengambil sikap terhadap para penipu
Salah satu negara yang terlihat tegas dalam melawan penipuan siber adalah Singapura. Selama beberapa tahun terakhir, Singapura telah kehilangan miliaran dolar karena penipu.
Sejak saat itu, negara ini mengesahkan undang-undang untuk melindungi warga negaranya, serta membuat peraturan agar dapat melacak dan membatalkan transaksi bank yang dicurigai. Hal ini membuat mereka lebih mudah mengejar para pelaku.
Singapura adalah salah satu negara terkaya dan paling terhubung secara digital di Asia, menjadikannya target yang sangat menggiurkan bagi jaringan kriminal. Selain itu, sebagian besar orang Singapura berbicara bahasa Mandarin dan Inggris, yang juga merupakan dua bahasa utama yang digunakan oleh para penipu.
"Di Singapura, semuanya serba digital," kata Allison Pytlak, peneliti senior dan direktur program siber di Stimson Center, sebuah lembaga nirlaba dan non-partisan yang berfokus pada keamanan dan perdamaian internasional.
"Hal ini membuat mereka lebih berisiko terkena penipuan, tetapi juga berarti mereka memiliki lebih banyak pilihan yang tersedia untuk mencoba dan melindungi warganya dari penipuan."
Negara kepulauan ini sekarang telah menerapkan langkah-langkah perlindungan seperti kampanye dan edukasi, hotline polisi, hingga aplikasi yang melindungi pengguna dari panggilan scam.
"Pemerintah akan terus merespons tantangan ini secara agresif," janji Sun Xueling, Menteri Dalam Negeri serta Pembangunan Sosial dan Keluarga Singapura pada Maret.
Dia juga memperingatkan anggota parlemen bahwa para pelaku memiliki "sumber daya yang baik, mahir dalam menggunakan teknologi, dan terus mengembangkan taktik mereka untuk menghindari pertahanan kita."
PBB mendorong kerja sama lintas batas
UNODC telah bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga penegak hukum di kawasan ini dalam sebuah inisiatif multilateral. Kerja sama ini mencakup operasi bersama, berbagi intelijen, serta program pengembangan kapasitas.
"Di masa lalu, negara-negara di kawasan ini tidak melihat [pusat-pusat penipuan] sebagai prioritas bersama," kata pejabat PBB Hofmann. "Hal ini mulai berubah."
Pada pertemuan menteri luar negeri ASEAN di Januari, para pemimpin berjanji untuk menindaklanjuti hal ini serta memasukkan kejahatan siber dan online scam sebagai ancaman utama di samping perdagangan manusia, narkoba, dan pencucian uang.
Namun Pytlak dari Stimson Center memperingatkan bahwa ASEAN hanyalah "blok kerja sama dengan negara-negara yang memiliki otonomi di bawahnya."
"Ini berarti bahwa blok ini hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap isu-isu yang berkaitan dengan pusat penipuan, terutama yurisdiksi atau penegakan hukum," katanya.
Meski begitu, di sisi lain Pytlak menambahkan bahwa AS dan Kanada mulai berminat untuk bekerja sama dengan Asia Tenggara untuk melawan sindikat penipuan, dikarenakan banyaknya korban penipuan online yang tinggal di negara-negara Barat.
*Pada Maret 2025, Institut Perdamaian AS (USIP) yang didirikan oleh kongres telah ditutup oleh pemerintahan Trump dan situs webnya dihapus. Laporan dan penelitian USIP yang disebutkan dalam artikel ini diakses melalui platform pengarsipan web.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani
Editor: Rahka Susanto
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini