Phnom Penh -
Sejak pandemi Covid-19, jumlah orang Indonesia yang mengadu nasib ke Kamboja terus meningkat. BBC News Indonesia menelisik mengapa fenomena ini menyimpan bahaya yang mengintai.
Pada tahun 2023, Adi (bukan nama sebenarnya) bertandang ke Kamboja untuk bekerja di perusahaan online.
"Di Kamboja itu, gajiku bisa mencapai Rp 12-13 juta," ujar Adi ketika dihubungi pada Senin (28/04) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adi adalah satu dari sekian banyak WNI yang pergi ke Kamboja untuk mendapat pemasukan dalam beberapa tahun terakhir.
Sejak pandemi Covid-19, angka WNI di Kamboja terus meningkat. Pada tahun 2020, Kementerian Luar Negeri mencatat ada 2.330 warga Indonesia di negara itu. Angka ini naik menjadi 19.365 pada tahun 2024.
KBRI Phnom Penh mencatat jumlah WNI yang tiba di Kamboja melonjak dalam 5 tahun terakhir. Pada 2024, tercatat 166.795 kedatangan, meningkat 11 kali lipat dibandingkan 14.564 kedatangan pada 2020.
Angka ini bisa saja lebih besar.
KBRI Phnom Penh menyebut sebagian besar WNI yang datang ke Kamboja tidak melapor ke kedutaan.
Menurut data Imigrasi Kamboja, pada tahun 2024 terdapat 131.184 orang WNI yang menetap di sana secara legal dengan masa tinggal antara 3 sampai 24 bulan.
Adi mengaku betah selama bekerja di Kamboja. Apalagi di kota tempat dia tinggal, ada banyak orang Indonesia serta restoran Indonesia.
Di sisi lain, menurut data KBRI Phnom Penh, meningkatnya jumlah WNI di Kamboja juga dibarengi dengan makin tingginya kasus WNI bermasalah yang ditangani kedutaan.
Pada tiga bulan pertama 2025, KBRI Phnom Penh rata-rata menangani sekitar 20-25 kasus baru setiap hari kerja.
BBC News Indonesia berupaya mengulas masalah di balik fenomena eksodus WNI ke Kamboja ini.
Kemudahan visa disalahgunakan untuk mendapat pekerjaan
Beranda Migran, LSM berbasis di Yogyakarta, menyebut banyak WNI yang pergi ke Kamboja memandang bekerja di luar negeri menjadi solusi perekonomian mereka.
"Daripada enggak bisa bekerja apa pun di Indonesia, mereka merasa lebih baik bertaruh di Kamboja," ujar Direktur Beranda Migran, Hanindha Kristy, ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Selasa (29/04).
Adi adalah salah satu dari WNI yang dimaksud Hanindha.
Pria berusia 20-an tahun itu sebelumnya tidak mampu menghidupi orang tua dan adiknya dengan standar gaji kota kecil di Jawa. Sebagai gambaran, UMR di Jakarta berada di kisaran Rp 5 juta.
Sebagai tumpuan keluarga, Adi mengaku pemasukannya di Kamboja sangat mencukupi. Dia mengaku gaji pokoknya sudah mencapai Rp 8 juta dan belum termasuk uang makan dan lain sebagainya.
Secara total, Adi memperoleh sekitar Rp 12-13 juta setiap bulannya, sebagian dia kirimkan ke keluarga.
Baca juga:
- Nasib jadi kelas menengah di Indonesia Banting tulang, makan tabungan, dan penuh kekhawatiran
- Viral 'No Buy Challenge' di tengah ketidakpastian ekonomi 2025 'Semakin banyak punya barang enggak membuat kita makin bahagia'
- Empat hal yang perlu diketahui soal seruan tarik uang dari bank BUMN Mengapa dikaitkan dengan Danantara?
KBRI Phnom Penh menyebut kemudahan perizinan menetap di Kamboja disalahgunakan banyak WNI untuk mencari pekerjaan secara non-prosedural.
Sebagai sesama negara ASEAN, WNI dapat masuk ke Kamboja dengan fasilitas bebas visa 30 hari. WNI kemudian mengonversikan secara legal izin tinggalnya menjadi visa jangka panjang.
Ketika Adi pertama datang ke Kamboja pada tahun 2023, dia juga menggunakan visa turis sebelum mendapatkan visa kerja.
Adi mengaku awalnya didekati sebuah perusahaan online yang menawarkan kerja sama sebagai streamer game.
Perusahaan itu menawarkannya pindah ke Kamboja tepatnya ke Sihanoukville.
Sejak awal, Adi tahu dirinya akan bekerja di perusahaan judi online.
Bisnis judi di Kamboja berkembang pesat setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Perjudian pada November 2020.
Pemerintah kemudian membentuk Komisi Manajemen Judi Komersial Kamboja yang juga mengurus izin judi online. Pengusaha judi online wajib memiliki dua izin: kasino dan "game of chance".
Meski legal, Kamboja melarang warganya berjudi.
'Rasa bersalah dan tidak nyaman'
Pekerja Kamboja membawa barang-barang saat mereka mengosongkan sebuah bangunan di distrik Pecinan di Sihanoukville (Getty Images)
Adi mengetahui ada banyak kasus WNI yang terjerat penipuan online di Kamboja.
Dia bahkan sempat ditawari untuk bekerja sebagai scammer oleh seorang warga Vietnam.
Menurut Adi, orang Vietnam itu mengklaim perusahaan mereka adalah perusahaan game.
"Tapi saya tahu itu bukan perusahaan game, karena ada daftar gaji yang sesuai target. Bagi orang awam, mungkin terlihat menggiurkan," tuturnya.
Menurut Adi, banyak orang Indonesia yang tidak mengecek terlebih dahulu berapa UMR sebenarnya di Kamboja.
Menurut situs Wage Indicator, UMR Kamboja adalah 839.809 (Cambodian Riel) atau sekitar Rp 3,5 juta.
Adi mengaku selama bekerja di bidang judi online, dia tidak mengalami penyekapan atau penyiksaan seperti yang dialami sejumlah WNI yang terjerat.
Meskipun begitu, dia tetap merasa "bersalah dan tidak nyaman", apalagi sehari-hari dia berurusan dengan orang Indonesia.
"Menurutku, judi itu bukan untuk orang miskin, tapi buat yang punya uang lebih. Tapi di Indonesia, banyak yang menggunakan ini sebagai mata pencaharian, sering kasihan kalau menghadapi orang Indonesia yang terbelit utang," ujar Adi.
Tahun lalu, Adi memutuskan pindah ke Thailand. Dia juga enggan apabila adiknya mengikuti jejaknya ke Kamboja.
"Mungkin kalau dilihat orang enak: kerja di luar negeri. Tapi, kan [orang-orang] enggak tahu di dalamnya bagaimana," ujar Adi.
"Bagaimanapun, ini adalah pekerjaan 'hitam'."
Di Thailand, Adi masih bekerja di bidang judi online, tapi rasa bersalahnya berkurang karena dia bekerja di belakang layar dan pelanggannya kali ini orang Thailand.
'Ternyata pulang namanya doang'
Tidak semua orang 'seberuntung' Adi.
Di satu kota di Jawa Barat, Lisa (bukan nama sebenarnya) tengah mempersiapkan peringatan 40 hari kematian putra sulungnya, Dody (juga bukan nama sebenernya) yang akan dilaksanakan pada Rabu (30/4).
Dody yang meninggal pada usia 24 tahun, meninggal akibat sakit saat hendak kembali ke Indonesia setelah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kamboja.
Menurut Lisa, pemerintah setempat kesulitan menemukan alamat keluarga mendiang, sementara pemerintah Indonesia menyatakan ketidakmampuan untuk memulangkan jenazah karena kendala biaya.
Menurut Lisa, pemerintah menyarankan agar keluarga meminta pertanggungjawaban perusahaan atau menanggung biaya pemulangan sendiri, yang diperkirakan mencapai Rp 50 juta atau lebih.
Dengan berat hati, Lisa dan keluarga akhirnya merelakan Dody dimakamkan di Kamboja.
"Dengan berat hati, meskipun saya antara ikhlas gak ikhlas, tapi gimana lagi. Daripada anak saya di sana gak dikuburkan, lalu terkatung-katung," tutur Linda yang bahkan tidak mengetahui lokasi pasti pemakaman putranya.
Lisa bercerita bagaimana Dody kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap di Indonesia setelah lulus SMK dan bekerja serabutan.
Keinginan Dody untuk memiliki penghasilan tetap semakin besar setelah menikah pada tahun 2023. Tahun lalu, tanpa sepengetahuan Lisa, Dody tiba-tiba pergi bekerja ke luar negeri.
Belakangan, Lisa mengetahui Dody tergiur tawaran pekerjaan di Thailand dengan gaji Rp 10 juta per bulan yang ditemukan Dody secara daring.
Namun, Dody justru menjadi korban perbudakan dan dipaksa bekerja sebagai scammer di Kamboja.
Linda menceritakan bagaimana komunikasi dengan Dody berubah setelah dua minggu bekerja. Awalnya baik, kemudian Dody mulai mengeluhkan jam kerja 24 jam dan makanan yang tidak layak.
Selama tiga bulan di Kamboja, Dody berpindah tiga perusahaan, menyulitkan upaya mencari pertanggungjawaban.
Penyakit bawaan yang diderita Dody makin parah akibat kondisi kerja yang buruk. Keluarga telah menjual harta benda untuk menebus kepulangan Dody sebesar Rp 80 juta, namun hanya Rp 40 juta yang berhasil dikirim.
Setelah itu, Lisa mendapat kabar bahwa Dody meninggal di rumah sakit dekat bandara.
Jumlah WNI yang bermasalah meningkat, sebagian besar terkait penipuan online
Selama tiga bulan pertama tahun 2025, KBRI Phnom Penh telah menangani 1.301 kasus WNI bermasalah di Kamboja.
Angka ini naik 174% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Secara keseluruhan, kasus penipuan online mencakup 85% dari berbagai kasus yang ditangani KBRI Phnom Penh.
Kasus WNI terlibat penipuan daring di Kamboja mencapai 1.112 pada tiga bulan pertama 2025, menurut data KBRI Phnom Penh.
Jumlah ini naik 263% dibandingkan 306 kasus pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Menurut keterangan tertulis yang disampaikan KBRI Phnom Penh kepada BBC News Indonesia, akhir-akhir ini Pemerintah Kamboja banyak melakukan operasi penegakan hukum terhadap tempat-tempat yang dicurigai atau dilaporkan menjadi pusat pusat penipuan online.
Menurut KBRI Phnom Penh, ini sejalan dengan pembentukan resmi Komisi Pemberantasan Scam Online Kamboja, yang diketuai langsung oleh PM Kamboja.
"Para WNI yang terjaring dalam operasi penegakan hukum ini juga ada yang difasilitasi proses kepulangannya oleh KBRI karena tidak memiliki paspor," tulis KBRI Phnom Penh.
Kepada BBC News Indonesia, KBRI Phnom Penh menyebut peningkatan jumlah kasus WNI bermasalah sebagai konsekuensi logis dari peningkatan jumlah WNI yang menetap di Kamboja.
KBRI Phnom Penh mencatat kasus WNI bermasalah sebanyak 3.310 pada tiga bulan pertama 2025 mencakup sekitar 2,5% jumlah keseluruhan WNI yang tinggal dan bekerja di Kamboja.
Di sisi lain, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, secara terpisah mengatakan Kamboja memang menjadi negara dengan jumlah kasus WNI terlibat penipuan online dalam beberapa tahun terakhir.
"Kalau dilihat dari tren, ini konsisten sebetulnya. Bahwa sejak awal kasus penipuan daring itu muncul, kita catatkan di tahun 2020, memang Kamboja yang paling banyak jumlahnya," ujar Judha.
Namun, lanjut Judha, yang menjadi perhatian serius Kementerian Luar Negeri adalah lonjakan kasus yang semakin tinggi.
"Sejak tahun 2021 hingga Februari 2025, Kemenlu mencatat total 7.027 kasus WNI bermasalah terkait penipuan daring di 10 negara. Dari jumlah tersebut, Kamboja menyumbangkan angka tertinggi, yaitu 4.300 kasus," ujar Judha.
Mengapa kasus WNI bermasalah terkait penipuan online terus bertambah?
Judha menjelaskan bahwa pola keberangkatan WNI ke Kamboja untuk terlibat dalam aktivitas penipuan daring ini bervariasi.
Sebagian memang langsung menuju Kamboja, biasanya transit melalui negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand.
Ada juga WNI yang sebelumnya telah bekerja di sektor serupa di negara lain, seperti Filipina, dan kemudian berpindah ke Kamboja setelah adanya penertiban Philippine Overseas Gambling Operator (POGO) pada Juli 2024.
Meskipun demikian, Judha menegaskan bahwa tidak semua kasus penipuan daring yang melibatkan WNI di Kamboja dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Dari 7.027 kasus yang tercatat, hanya 1.508 yang teridentifikasi sebagai korban TPPO melalui mekanisme identifikasi yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
"Kalau korban TPPO itu jelas memang mereka mayoritas tertipu. Jadi ditawarkan bekerja sebagai marketing, ditawarkan bekerja sebagai customer service, misalnya, namun kemudian dipaksa menjadi scammer," ujar Judha.
Baca juga:
- Setelah kasus di Kamboja dan Myanmar, ratusan WNI tersangkut penipuan online di Filipina - 'ASEAN darurat TPPO'
- 'Iming-iming gaji besar' hingga 'bekingan oknum aparat', lima masalah utama di balik kasus perdagangan orang
- Sebanyak 62 WNI dibebaskan dari sekapan kartel judi di Kamboja, 'Sindikat ini terorganisir dan calonya ada di Indonesia'
Namun lebih lanjut, Judha mengungkapkan ada pula kasus WNI yang awalnya bekerja di judi online lalu berpindah ke perusahaan online scam karena tawaran remunerasi yang lebih tinggi.
Kedua, Judha mengatakan UNODC PBB melaporkan adanya indikasi "normalisasi" dimana sebagian WNI secara sadar dan sukarela memilih bekerja sebagai pelaku penipuan daring karena iming-iming gaji besar, meskipun aktivitas tersebut merupakan tindakan kriminal.
"Kita pernah mendapat pengakuan dari yang kemarin yang 569 kita pulangkan contohnya dari Myawaddy, Myanmar. Mereka menyampaikan bahwa masih ada WNI kita yang ada di Myawaddy, yang beberapa di antaranya memang mereka tidak mau pulang karena memang mereka mencapai target dan dapat penghasilan, ada sampai Rp 190 juta bonusnya," ungkap Judha.
Di sisi lain, Direktur Beranda Migran, Hanindha Kristy, mengatakan pihaknya menemukan kasus-kasus dimana WNI yang sudah bersedia hengkang dari Kamboja terpaksa menetap karena tidak punya biaya untuk pulang.
Menyasar anak muda dan kelas menengah
Menurut Judha, Kementerian Luar Negeri telah memetakan wilayah asal mayoritas korban sindikat penipuan online, yakni Sumatera Utara, khususnya Medan, diikuti oleh Sulawesi Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Bangka Belitung.
Judha menyoroti korban penipuan daring ini berbeda dengan korban TPPO tradisional.
Mayoritas korban online scam adalah generasi Z berusia 18-35 tahun, berpendidikan ("Bahkan ada yang memiliki gelar S2," ujar Judha), dan berasal dari kelompok menengah.
"Mereka justru melek digital," ujar Judha.
Faktor iming-iming gaji tinggi dan keinginan untuk pamer di media sosial diduga menjadi salah satu pendorong mereka untuk mengambil risiko bekerja di sektor ilegal ini.
Judha mengimbau kepada seluruh WNI untuk berhati-hati dalam menerima tawaran pekerjaan di luar negeri, terutama yang disebarkan melalui media sosial.
"Verifikasi informasi lowongan kerja melalui Disnaker atau BP2MI, memastikan keberangkatan sesuai prosedur dengan visa kerja yang sah, dan menandatangani kontrak kerja di Indonesia sebelum keberangkatan," ungkap Judha.
'Fenomena lapar kerja'
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo menyebut peningkatan signifikan dalam kasus perdagangan orang di Indonesia, terutama sejak masa pandemi Covid-19 melanda.
"Kami menyebut fenomena ini sebagai fenomena lapar kerja", di mana keinginan masyarakat untuk bekerja sangat tinggi sehingga mereka cenderung mengambil risiko besar demi mendapatkan pekerjaan di luar negeri," ujarnya.
Wahyu Susilo menyoroti adanya kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Kedua UU ini, menurut Wahyu, belum memiliki dimensi pencegahan atau kriminalisasi terhadap pemaksaan melakukan kejahatan dengan penyalahgunaan teknologi (forced criminality misused technology).
Terpisah, praktisi hubungan Internasional dan pendamping jaringan perlindungan migran dan anti-TPPO, Dinna Prapto Raharja, menyebut banyak perekrut tenaga kerja tersebut adalah WNI juga.
"Para perekrut itu, yang rata-rata juga orang Indonesia, mencari cara bagaimanapun juga supaya mereka bisa mendapatkan pekerja Indonesia. Jadi, 'orang Indonesia makan orang Indonesia' istilahnya," ujar Dinna yang juga pendiri lembaga penelitian dan pelatihan independen Synergy Policies
Baca juga:
- 'Operasi senyap' di balik pemulangan lebih dari 500 WNI terduga korban penipuan online di Myanmar
- Cerita WNI korban sindikat perdagangan orang di Myanmar diduga 'disekap, disiksa dan dimintai tebusan ratusan juta Rupiah' Mengapa berulang dan bagaimana upaya membebaskannya?
- 'Hidup bagai neraka di kamp kerja paksa siber Myanmar'
Dinna menekankan bahwa para pekerja yang menjadi korban perdagangan orang umumnya tidak menyadari bahwa mereka sedang ditipu.
Modus penipuan saat ini semakin canggih dan mampu meyakinkan korban, terutama anak-anak muda dari kalangan menengah ke atas.
"Anak-anak zaman sekarang itu justru kelas menengah ke atas. Mereka berpikir bahwa model-model rekrutmen online yang makin lama tuh makin believable. Sekarang kan makin kelihatan serius, kayaknya bener-bener legal," jelasnya.
Terpisah, pengamat hubungan internasional Universitas Parahyangan Bandung, Vrameswari Omega Wati, yang fokus akan isu-isu transnasional, menyebut alasan terbesar banyak WNI menjadi korban migrasi ilegal adalah karena diiming-imingi kemudahan dalam bekerja, seperti fasilitas dan gaji yang besar.
"Literasi masyarakat tentang migrasi aman masih sangat minim," ujar Vrameswari.
"Salah satu yang dapat dilakukan adalah memetakan asal daerah mayoritas korban untuk kemudian mengadakan kampanye masif di daerah kantong-kantong migrasi mengenai modus daring dan risikonya."
*Semua nama disamarkan untuk melindungi keselamatan narasumber
Reportase oleh Amahl Azwar. Famega Syavira dan Yuli Saputra turut berkontribusi untuk artikel ini.
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini