Junta militer yang berkuasa di Myanmar kembali mengingkari janjinya. Pasukan junta militer tetap melakukan serangan meski berjanji melakukan gencatan senjata usai gempa dahsyat terjadi akhir Maret lalu.
Dilansir BBC, Rabu (30/4/2025), janji untuk gencatan senjata itu disampaikan junta militer beberapa hari setelah gempa bumi berkekuatan magnitudo (M) 7,7 mengguncang Myanmar dan menewaskan sedikitnya 3.700 orang pada akhir Maret. Junta militer saat itu setuju menghentikan operasi militer mereka yang brutal setelah kelompok pemberontak lebih dulu mengumumkan gencatan senjata.
Tapi, junta militer malah melanggar gencatan senjata itu, lagi dan lagi. Selama 10 hari sejak pertengahan April, personel militer Myanmar berulang kali melakukan serangan di wilayah pemberontak di Negara Bagian Karenni.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kaki tangan junta militer terus melakukan pelanggaran gencatan senjata, termasuk dengan serangan roket dan mortir yang menewaskan serta melukai warga sipil dan milisi gerakan perlawanan. Salah satu korban, Khala (45) tewas dalam serangan pesawat tempur di tempat yang kata istrinya, Mala, seharusnya aman.
Saat gencatan senjata diumumkan pada 2 April, Mala dan Khala merasa ada kesempatan untuk kembali ke rumah mereka untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Mereka pulang bersama anak mereka yang berusia 4 tahun.
Kampung itu telah ditinggalkan dan bangunan-bangunannya hancur karena pertempuran yang tak kunjung selesai. Hampir semua orang di sana telah pindah ke lahan pertanian yang lebih jauh dari tembakan tentara. Namun, gempuran terjadi saat keluarga muda itu sudah mengemas harta benda di dalam mobil dan bersiap meninggalkan Desa Pekin Coco.
"Kami semua ada di depan rumah. Lalu, peluru mulai berdesing dekat kami. Kami bersembunyi di belakang rumah. Tapi dia (Khala) tetap di tempatnya. Peluru artileri meledak di dekatnya. Dia meninggal di tempat yang dia kira akan aman. Dia laki-laki yang baik," kata Mala sambil menangis.
Pada sore harinya, pesawat tempur junta menyerang rumah di jalan yang sama. Serangan itu menewaskan empat orang lainnya.
"Saya benci mereka. Mereka selalu menyerang orang tanpa alasan. Saya tidak merasa aman di sini. Jet tempur sering terbang di langit dan tidak ada tempat untuk bersembunyi," kata Mala.
Mala (31) saat ini sedang hamil 7 bulan. Putranya, Zoe, yang merindukan ayahnya tampak terus 'menempel' di sisi Mala.
Dampak Ngeri Perang Saudara dan Gempa
Kerusakan di Myanmar akibat gempa (Foto: AFP/ZAW HTUN)
Perang saudara tersebut memakan korban jiwa. Sejak kudeta militer pada 2021, konflik telah menewaskan puluhan ribu orang termasuk anak-anak.
PBB mengatakan gempa bumi di Myanmar menambah penderitaan rakyat. Setidaknya, ada 2 juta orang yang terlunta-lunta dan memerlukan bantuan.
Jumlah itu belum termasuk 2,5 juta orang lainnya yang sudah jadi pengungsi bahkan sebelum gempa. Negara Bagian Karenni atau Kayah berada jauh dari pusat gempa.
Keterpencilan ini menjadi berkah sekaligus kutukan. Hutannya yang lebat memberikan perlindungan bagi milisi sipil dan sulit ditembus junta militer.
Namun jalan-jalannya yang buruk dan jalan raya utama tetap dapat ditarget senjata tentara. Sebagian besar negara bagian itu sekarang dikendalikan oleh kelompok etnik pemberontak.
Pada 28 Maret saat terjadi gempa, tidak ada korban jiwa yang dilaporkan di Karenni. Namun, rumah sakit setempat segera dipenuhi orang-orang cedera atau mengalami patah tulang.
Sebuah lubang menganga sepanjang 30 meter muncul di hutan sekitar Kota Demoso. Penduduk setempat mendengar suara tanah yang runtuh.
Mereka mengira itu adalah serangan udara. Selama berpekan-pekan, lubang itu terus meluas bersama dengan gempa susulan.
PBB juga mencatat militer Myanmar terus melancarkan serangan setelah gempa bumi dan melanggar gencatan senjata. PBB menyerukan agar militer Myanmar mengakhiri serangan.
Dewan Administrasi Negara, badan yang memegang kekuasaan, belum mengomentari dugaan pelanggaran itu. Namun, mereka mengklaim telah diserang kelompok-kelompok perlawanan.
Selama gencatan senjata, semua pihak yang berkonflik berhak untuk membalas jika diserang lebih dulu. Selama 10 hari di Mobeye, Karenni, junta militer terus melakukan serangan hampir setiap hari.
Janji Gencatan Senjata Bak Lelucon
Kerusakan di Myanmar akibat gempa (Foto: BBC World)
"Mereka biasanya menyerang dengan drone dan artileri berat di sisi ini. Mereka juga memanfaatkan hujan untuk merangsek," ujarnya.
Dia menyebut gencatan senjata itu sebagai lelucon. Dia menegaskan pihaknya tak mempercayai janji gencatan senjata dari junta militer Myanmar.
"Kami tidak memercayai dewan militer sejak awal. Kami tidak mempercayainya sekarang, dan kami tidak akan mempercayainya kelak," ujarnya.
Militer Myanmar juga meluncurkan serangan besar-besaran ke wilayah pemberontak dengan senjata berat dan mengerahkan pasukan infanteri. Suara tembakan serta serangan mortir terdengar jelas. Tanah yang gosong bekas serangan drone juga terlihat 'segar.'
Mayat seorang anggota junta yang mencoba menerobos posisi pemberontak tampak tergeletak di lokasi. Pasukan perlawanan mengatakan mereka telah menangguhkan semua serangan selama gencatan senjata. Tetapi jika diserang, mereka akan balas menyerang.
"Ketika kami melihat mereka, kami menembak mereka. Salah satunya kena dan yang lain melarikan diri," kata komandan kelompok perlawanan bernama Tentara Nasional Karenni, Yi Shui, sambil menunjukkan foto-foto di ponselnya.
Militer tidak cuma menyasar milisi perlawanan sipil. Roket mereka juga menghantam lahan pertanian dan menewaskan seorang perempuan berusia 60 tahun.
Kami tiba di ladang tempat empat roket jatuh. Di sana anak-anak bermain dengan lempengan logam dan sisa-sisa peluru dari serangan.
Mereka yang terluka dibawa ke rumah sakit setempat, yang lokasinya tersembunyi jauh di dalam hutan untuk menghindari serangan udara dari pesawat tempur junta. Di rumah sakit ini, seorang pejuang muda dirawat di bangsal kayu dengan lantai tanah karena bahunya terkena peluru dan kehilangan banyak darah.
Dokter di rumah sakit itu, Thi Ha Tun (32), mengatakan dirinya sudah merawat sekitar 12 pasien akibat luka terkait perang sejak gencatan senjata diumumkan. Dua pasien anggota milisi perlawanan, meninggal.
"Mereka cuma peduli dengan kepentingan mereka sendiri. Mereka cuma bakal peduli dengan pihak mereka sendiri. Mereka tidak akan peduli dengan negara ini, generasi mudanya, anak-anaknya, orang tuanya, atau apa pun," katanya.
Dia mengatakan satu-satunya solusi bagi rakyat Myanmar adalah terus berjuang melawan junta militer.
Gencatan senjata akan berakhir pada akhir bulan ini. Namun, bagi sebagian besar orang di sini, gencatan senjata rasanya tak pernah terjadi sama sekali.
Pastor di salah satu gereja setempat, Philip, mengatakan ancaman terbesar jemaatnya berasal dari 'atas' alias serangan udara junta militer. Dia menganggap gempa, yang telah merusak menara gereja dan sebagian atap, bukan ancaman.
"Tidak ada tempat yang aman. Ketika jet tempur terbang di langit. Anda tidak pernah tahu apa yang akan jatuh dari langit," ujarnya.
(haf/fas)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini