Keheningan menyelimuti rumah jabatan (Rujab) Bupati Bone di Jalan Petta Ponggawae No. 1, Kelurahan Watampone, Kecamatan Tanete Riattang, Bone, Sulawesi Selatan, pada Senin, 22 Februari 1982 pukul 04.00 WITA. Ketika hari masih gelap, menjelang adzan subuh berkumandang, tiba-tiba berkelebat bayangan melompati pagar di halaman rumah dinas bupati tersebut.
Sesosok manusia mengenakan penutup kepala dari kain sarung bak ninja bergerak cepat menuju rumah dinas bupati yang merupakan bekas Istana Raja Bone tersebut. Sosok itu seperti menghindar dari cahaya penerangan yang ada di sejumlah tempat. Dia mengendap-endap di antara bayangan pepohonan dan bangunan rumah.
Kepalanya sesekali menoleh ke kiri, kanan dan belakang. Seolah tengah memastikan situasi aman dan tak ingin terlihat orang. Dia terus merangsek mendekati salah satu jendela besar yang ada di rumah dinas tersebut. Dengan sepotong besi bekas per mobil di tangannya, dia mencongkel daun dan besi teralis jendela kaca nako.
Setelah berhasil membengkokkan besi teralis, dia melocat jendela dan sudah berada di dalam rumah. Dengan terus mengendap-endap, dia menuju kamar tidur yang ditempati Bupati Bone, Panangian Basri Harahap, 57 tahun, dan istrinya, Sitti Haniah, 44 tahun. Lalu dia membuka pintu dengan paksa kamar tersebut.
Karena suara pintu yang terbuka dengan keras, Panangian Basri Harahap terusik dari tidurnya. Sang Bupati terperanjat ketika melihat sosok orang tak dikenal masuk. Belum pulih kesadarannya, tiba-tiba tubuh Bupati Bone itu dihantam besi per mobil. Panangian sempat melakukan perlawanan sekuat tenaga.
Namun, tubuhnya malah semakin lemah ketika sosok misterius itu terus menghantami tubuh dan kepalanya. Panangian Basri Harahap pun ambruk di lantai dengan tubuh dipenuhi darah. Tak puas, sosok itu langsung memburu Sitti Haniah dan langsung menghantamkan besi per mobil hingga tak berkutik di tempat tidurnya.
Suara sedikit gaduh itu membuat salah seorang ajudan Bupati Bone, Nasir, terusik. Dia mengelilingi halaman rumah jabatan tersebut hingga menemukan jendela yang terbuka. Merasa aneh dia mencoba mendekatinya. Namun tiba-tiba dia bersemuka dengan sosok itu yang meloncat keluar dari jendela kamar.
Nasir lalu menghadang orang itu dan terlibat berkelahian. Ajudan Bupati ini sempat teriak dan memancing Pamong Praja berama Abdul Hafid datang mendekat. Melihat perkelahian, Hafid membantu Nasir menghadapi sosok misterius tersebut. Sementara Nasir merasa kuatir dengan keselamatan atasannya memburu kamar tidur Bupati Bone.
Dia melihat pintu terbuka. Sejurus kemudian, tatapannya menjadi nanar ketika melihat tubuh Panangian Basri Harahap tergeletak bersimbah darah di lantai. Dia juga kaget melihat kondisi Sitti Haniah yang tak kalah mengenaskannya. Dia kembali lari keluar kamar, tapi yang dilihatnya tubuh Abdul Hafid juga sudah tergeletak berlumuran darah di lantai.
Seraya berteriak, Nasir berlari mendekati pos jaga. Dia bangunkan petugas jaga dan segera menghubungi polisi tentang penyerangan di rumah jabatan Bupati Bone tersebut. Tidak terlalu lama, sejumlah petugas Kepolisian datang ke lokasi kejadian tersebut. Polisi langsung mengevakuasi tubuh Bupati Bone, istrinya dan Abdul Hafid ke rumah sakit Watampone.
Namun, ada yang membingungkan Nasir, polisi yang datang di pagi buta itu pun menanyakan soal keberadaan Saiyah, istri penjaga kebun cengkeh milik Bupati Bone yang tengah menginap di rumah jabatan tersebut. Polisi tengah mencari keberadaan La Kaseng, 55 tahun, penjaga kebun cengkeh itu.
Mendengar nama La Kaseng, Nasir baru sadar bahwa pelaku penyerangan di rumah jabatan Bupati Bone memang orang yang sama. Nasir mengenal betul wajah La Kaseng, karena kain sarung yang menutup kepalanya terbuka.
Kesaksian Nasir bahwa pelaku penyerangan kepada Bupati Bone adalah Kaseng diperkuat oleh kesaksian lainnya. Seperti dikutip dari majalah Tempo, edisi 6 Maret 1982, saksi bernama Anto, 12 tahun, putra seorang tentara, melihat seorang pria melompat tembok di belakan rumah jabatan.
Bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu tengah memotong rumput untuk pakan ternak ayahnya di depan rumah. Sekonyong-konyong, dia melihat seorang pria melompati tembok pembatas rumah dinas Bupati Bone tersebut. Hal itu diamini Nasir bahwa pelaku saat dikejar memang lari ke halaman belakan rumah dinas.
Nasir dan beberapa petugas jaga baru mengetahui bahwa di malam itu polisi memang tengah memburu La Kaseng. Penjaga kebun cengkeh ini dilaporkan telah melakukan penyerangan terhadap empat orang karyawan perusahaan angkutan Cahaya Ujung milik Abdul Wahid di Jalan Wajo, Bone.
Abdul Wahid malam itu mendengar suara jeritan dan rintihan dari arah tempat beberapa karyawannya menginap. Berbekal lampu senter, Abdul Wahid keluar rumah mendatangi mess karyawannya yang berjarak hanya beberapa meter dari rumahnya. Begitu sampai dia terkejut mendapati empat orang karyawannya bergelimpangan di lantai dengan berlumuran darah.
Wahid segera melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Saksi menerangkan bahwa malam itu salah seorang sopir memberikan tumpangan kepada pria dari Palopo, yaitu La Kaseng. Pria itu disebutkan memiliki istri yang tengah menginap di rumah jabatan Bupati Bone.
Entah kebetulan atau tidak, polisi yang tengah mencari La Kaseng mendapat laporan penyerangan kepada Bupati Bone. Penyerangan itu meningkat menjadi kasus pembunuhan, karena nyawa Bupati Bone Panangian Basri Harapan tak tertolong ketika sampai di rumah sakit Watampone.
Istri Panangian, Sitti Haniah, meninggal dunia setelah 12 jam tiba di rumah sakit Ujung Pandang. Tiga karyawan Cahaya Ujung juga meninggal dunia, yaitu Alimin, Ambo Ala dan Nusu (kernet). Sementara satu karyawan Cahaya Ujung, yaitu Sarudji dan Pamong Praja Abdul Hafid mengalami luka-luka cukup parah.
Kasus pembunuhan itu menggegerkan masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya di Bone. Sayangnya, pemberitaan atas pembunuhan itu dilarang oleh pemerintahan Orde Baru melalui Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda). Apalagi Panangian Basri Harahap yang terpilih sebagai Bupati Bone sejak 13 Juli 1977, itu tercatat masih sebagai anggota militer aktif.
Setelah beberapa pekan buron, akhirnya La Kaseng ditangkap oleh tim gabungan TNI-Polri (Laksusda). Banyak yang bertanya-tanya apa sebenarnya motif sang penjaga kebun itu nekat membunuh Bupati Bone dan lainnya. Banyak juga yang menghubungkan dengan intrik politik daerah, terutama soal perebutan kekuasaan atau pemilihan Bupati Bone sebelumnya.
Namun, sesuai berita yang dikutip dari majalah Tempo, edisi 20 November 1982, alasan La Kaseng melakukan perbuatan itu karena dendam pribadi. Dalam dakwaannya Jaksa M. Arsyad Massi, pada 16 September 1982, menyebutkan, Kaseng melakukan kekejian itu karena didorong rasa dendam terhadap Panangian Basri Harahap.
Kaseng sudah lama mengetahui salah seorang anak perempuannya dilecehkan berkali-kali oleh korban. Puncaknya ketika dia mendengar dituduh telah menyelewengkan hasil kebun cengkeh oleh Panangian Basri Harahap. Dia semakin panik ketika mendengar bahwa kebun miliknya akan diambil oleh sang bupati.
Jaksa meyakini berbuatan Kaseng untuk mengabisi nyawa Panangian Basri Harahap telah direncanakan. Sementara korban-korban lainnya disebutkan sebagai usaha terdakwa untuk menghilangkan jejak. Penjaga kebun cengkeh itu bersama istrinya, Saiyah, meninggalkan kebunnya di Palopo menuju Watampone yang berjarak sekitar 211 kilometer atau waktu tempuh 5 jam.
Begitu sampai di rumah Bupati Bone, Kaseng menyuruh istrinya turun dari bis yang mereka tumpangi. “Kalau Pak Bupati menanyakan saya, bilang saya ada di Palopo sedang sakit,” kata Kaseng seperti diutarakan dalam dakwaan Jaksa dalam persidangan.
Sementara Kaseng langsung menuju rumah kenalannya, Haji Abdul Wahid, pengusaha angkutan Cahaya Ujung di Jalan Wajo. Saat itu, dia menginap bersama tempat karyawan temannya tersebut. Tengah malam, bapak lima anak itu gelisah.
Dari pengakuannya, dia tiba-tiba mendengar suara istrinya berteriak-teriak meminta tolong karena mau dibunuh Bupati. Padahal, jarak dirinya dan istrinya yang menginap di rumah Bupati cukup jauh, beberapa kilometer.
Di tengah kegelisahan itu, Kaseng meraih sepotong besi per mobil. Lantas dia menghantamkan secara bertubi-tubi besi per itu ke tubuh dan kepala empat karyawan Cahaya Ujung yang tengah terlelap tidur. Menjelang subuh, dia menuju rumah dinas Bupati Bone untuk menghabisi nyawa Panangian Basri Harahap.
Atas perbuatan kejinya itu, Kaseng oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Watampone yang diketuai Sopanuddin menjatuhi vonis hukuman mati, pada 15 November 1982. Mendengar vonis tersebut, kepala Kaseng hanya pasrah dengan kepala tertunduk.
“Saya ini tak tahu apa-apa, semuanya saya serahkan kepada pembela,” kata Kaseng mengomentari vonis tersebut.
Selama persidangan, Kaseng selalu didampingi kuasa hukumnya, yaitu dari Asosiasi Bantuan Hukum Ujungpandang yang terdiri dari Osman Bosra, Morra Mange, Darius Patunduh dan Saldini Thahir. Ketika menunggu waktu eksekusi, beberapa tahun setelah menerima vonis, Kaseng dikabarkan meninggal dunia lebih dahulu di dalam penjara.