Jakarta -
Kelompok Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak rencana penulisan ulang sejarah Indonesia versi terbaru. Mereka meminta agar proyek tersebut segera dihentikan.
Hal itu disampaikan Ketua AKSI Marzuki Darusman dalam RDPU bersama Komisi X DPR RI, di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025). Dalam rapat itu, Marzuki membacakan pernyataan sikap AKSI.
"Dengan ini menyatakan menolak proyek penulisan 'sejarah resmi' Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia," kata Marzuki.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan penulisan ulang sejarah Indonesia sebagai bentuk monopoli dari pemerintah. Marzuki menilai upaya penulisan ulang sejarah sebagai langkah untuk merekayasa masa lalu bangsa Indonesia.
"Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa," jelasnya.
Marzuki mengatan narasi sejarah yang hendak dibangun oleh negara merupakan bentuk fiksi politik yang dijadikan dasar legitimasi kekuasaan. Menurutnya, proyek sejarah itu, membuka ruang bagi munculnya praktik otoriter bahkan totaliter.
"Spektrum politik seluruh kekuasaan pemerintah digelar dan dilaksanakan, dalam suatu jangkauan politik yang batas-batas terluarnya dibingkai paham otoriterianisme di satu sisi, dan totaliterianisme di sisi lain," ujarnya.
"Totaliterianisme bukanlah akumulasi otoriterisme, sebaliknya otoriterianisme bukanlah totaliterianisme moderat yang bisa ditangkal dan dicegah melalui pengingkaran, dan serangkaian narasi verbal oleh pemerintah," sambungnya.
Marzuki mengatakan proyek penulisan ulang sejarah merupakan tindakan suatu pengkhianatan terhadap paham dasar kerakyatan yang menjadi fondasi bangsa. Selain itu, menurutnya, juga menghancurkan memori kolektif tentang kekuatan bangsa.
"Sesungguhnya kerakyatanlah yang telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari kungkungan kolonialisme, pertarungan ideologisme, dan dominasi otoriterianisme," jelasnya.
"Pemerintah bukanlah satu-satunya penafsir tunggal atas sejarah bangsa. Suara rakyat, sebagai korban dari tindakan dan kebijakan pemerintah tidak boleh dihilangkan haknya untuk menjelaskan pengalaman sejarahnya," lanjut dia.
Marzuki meminta agar penulisan sejarah Indonesia tak dijadikan proyek negara semata. Namun, kata dia, tetap menjadi ruang terbuka yang demokratis.
"Penjamahan sejarah sekecil apa pun oleh kekuasaan apalagi penulisan sejarah tunggal Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan perlu dihentikan dan ditolak," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian mengatakan pihaknya belum pernah membahas proyek penulisan ulang sejarah Indonesia dengan Kementerian Kebudayaan. Hetifah belum mengetahui proses dari proyek tersebut, yang ditargetkan selesai sebelum 17 Agustus 2025.
"Terus terang kami pun belum pernah bertemu secara langsung dan membahas apa persisnya hal-hal yang akan direvisi atau bagaimana prosesnya dan sebagainya," kata Hetifah.
Selain itu, Anggota Komisi X Fraksi PDIP Mercy Barends mengatakan Kementerian Kebudayaan pun sampai saat ini belum pernah mengirim laporan terkait proyek tersebut. Mercy mengaku baru mengetahui rencana proyek itu dari media sosial.
Sebab itu, dia mengaku tak dapat berbicara banyak mengenai penolakan yang disampaikan AKSI. Namun, dia mengatakan penolakan itu akan menjadi catatan Komisi X.
"Kita belum mendapat satu dokumen resmi pun maka hari ini perkenankanlah kami untuk mungkin memberikan sejumlah insight aja ya berkaitan dengan sejumlah sejarah ini," ujar Mercy.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, mengungkapkan kekhawatirannya terkait proyek tersebut. Dia mengaku khawatir dengan proyek penulisan ulang sejarah dapat memunculkan narasi desoekarnoisasi.
"Yang terakhir, saya agak khawatir tentang narasi yang bersifat desoekarnoisasi," ujar Bonnie di Gedung DPR RI.
Menurutnya, Presiden ke-1 RI Soekarno selama ini kerap menjadi sasaran upaya sistematis. Terutama, kata dia, untuk meruntuhkan karakter dan perannya dalam sejarah bangsa.
"Jujur, selama puluhan tahun, Soekarno, dia bukan hanya milik PDI Perjuangan, tapi milik bangsa Indonesia, didegradasi, diruntuhkan, dibunuh karakternya," jelas Bonnie.
"Dan ini saya pikir juga penting untuk kita perhatikan bersama. Narasi-narasi seperti ini hendaknya tidak lagi ada di dalam proyek penulisan sejarah. Syukur-syukur kalau tidak ada," sambungnya.
Bonnie menekankan proyek itu harus bisa menempatkan setiap tokoh secara proporsional. Khususnya, dia mengatakan harus dengan catatan kritis yang bisa menjadi pembelajaran bagi generasi muda.
"Kita ingin menempatkan orang yang layak pada posisinya, dengan segala macam catatan-catatan untuk dipelajari oleh generasi muda," ungkapnya.
(amw/eva)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini