Kala Gen Z Dikepung Teror Pinjol dan Pay Later

3 days ago 10

Jumat, 28 Maret 2025

Amarah Sila mendidih. Akhir bulan lalu adiknya diteror debt collector (DC) melalui sambungan telepon. Sila memang terjerat utang di aplikasi penyedia pembelian barang secara kredit, tetapi ia tak pernah memberikan nomor ponsel adiknya.

“Aplikasi legal tapi malah keluar kondar (kontak darurat, digunakan untuk mengingatkan peminjam agar segera melunasi utangnya) dan nelponin salah satu anggota keluarga saya, padahal dia nggak tahu apa-apa,” kata Sila kepada detikX.

Peretasan identitas secara ilegal tak hanya dilakukan sekali oleh kreditur berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan itu. Sila juga pernah menjadi korban doxing. Penagih utang mencuri dan menyebarkan informasi pribadi Sila dengan menargetkan tempatnya berkuliah.

“Menyerang media sosial kampus saya, menagih utang saya lewat rektor saya, membuat grup untuk melunasi utang-utang saya yang di dalam grupnya itu berisikan teman-teman saya,” ujarnya.

Sila merupakan nama samaran dari seorang perempuan berusia 20 tahun. Ia tergolong Generasi Z (Gen Z) yang tumbuh di era digital, zaman kemudahan dan kecepatan akses mendapatkan informasi. Ia kini terbelenggu sebagai debitur 10 aplikasi pay later atau buy now pay later (BNPL) dan pinjaman online. Sembilan di antaranya gagal bayar alias menunggak pembayaran.

Banyaknya aplikasi yang digunakan Sila karena tingginya bunga, tetapi tak ada pemasukan dana yang ia punya. Istilahnya, ia terjebak snowball debt atau efek bola salju utang. Jadi dia terpaksa menutup utang di aplikasi tersebut dengan cara mengutang lagi. Ini yang membuatnya terjebak dalam lingkaran setan utang pay later dan pinjol yang tak kunjung usai.

Menyerang media sosial kampus saya, menagih utang saya lewat rektor saya, membuat grup untuk melunasi utang-utang saya yang di dalam grupnya itu berisikan teman-teman saya."

“Belum ada yang lunas satu pun. Soalnya, saya juga lagi nyicil dari aplikasi yang nominalnya paling besar dan aplikasi yang paling cepat visit,” tuturnya.

Permasalahannya, perlahan semua bunga di berbagai jasa peminjaman jangka pendek itu terus mengembang beserta dendanya. Berbagai ancaman penagihan pun ia alami. Mulai mendapatkan serangan makian hingga ancaman mengirimkan orderan fiktif cash on delivery atau COD. Ini semua mengubah hidupnya. 

“Nafsu makan saya berkurang dan jam tidur saya juga nggak teratur. Saya selalu waswas setiap ada motor atau mobil yang berhenti di depan rumah saya. Saya juga mengalami cemas mau ngapain-ngapain tuh takut. Mau keluar rumah juga saya takut, takut ada yang visit ke rumah saya, karena orang rumah memang tidak ada yang tahu hal ini. Fokus saya dalam berkuliah juga cukup terganggu karena teror-teror tersebut,” ujarnya.

Kecemasan Sila menjadi nyata saat penagih utang mendatangi rumahnya pada sekitar dua pekan yang lalu. Dia telah gagal bayar selama 34 hari. Debt collector dari perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan pembiayaan BNPL menemui orang tua Sila.

“Kalau bisa, pemerintah membantu sedikit bagi korban-korban yang terkena pinjol dan cepat membasmi pinjol-pinjol ini karena ini sangat meresahkan. Banyak korban yang meninggal dunia karena ancaman-ancaman dari DC-DC-nya karena saya tahu banyak DC yang menagih dengan kata-kata kasar, bahkan datang ke rumah sambil berkata kasar juga,” jelasnya.

Nasib senada nyaris dialami Tyas—bukan nama sebenarnya, mahasiswi berusia 20 tahun. Dia debitur yang memiliki utang di enam penyedia jasa pay later dan pinjol senilai lebih dari Rp 45 juta. Bahkan salah satu pay later-nya tiba-tiba mematok bunga hampir mencapai 45 persen.

“Saya mulai dikasih teror oleh DC pada akhir bulan Januari kemarin. Awalnya memang shock dan mental menjadi down, tapi lama-kelamaan juga sudah terbiasa. Setiap ada tagihan dari DC/FC (field collector) saya abaikan dan tidak pernah balas. Saya balas kalau saya minta keringanan saat sudah ada uang untuk bayarnya,” kata Tyas kepada detikX.

Nafsu makan saya berkurang dan jam tidur saya juga nggak teratur. Saya selalu waswas setiap ada motor atau mobil yang berhenti di depan rumah saya."

Tyas tergolong mahasiswa berprestasi yang mendapatkan beasiswa perkuliahan. Namun, sebagai perantau, ia membutuhkan dana dari hasil utang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dampaknya, untuk melunasi utang itu, Tyas berkuliah sambil bekerja paruh waktu.

“Tahun ini saya setop untuk gali-tutup lubang karena saya merasa capek mental karena pusing mau mengajukan di aplikasi mana lagi. Alhamdulillah saat ini saya sudah punya pendapatan tetap per bulan walaupun di bawah UMR. Jadi saya bisa prioritaskan pinjol mana yang harus dibayar dulu,” ujarnya.

Dari Tiket Konser, Gadget, sampai Skincare

Hari-hari Tira—bukan nama sebenarnya—berubah bersamaan setelah kebahagiaan menonton konser salah boy band asal Korea Selatan di Jakarta usai. Sejak pertengahan tahun lalu, ia harus berpikir dan bekerja keras melunasi utang pay later dan pinjol. Sebab, ia membeli tiket konser termahal dengan dana hasil utang tersebut.

“Biar bisa berdiri di deket panggung,” kata Tira, yang tergolong Gen Z tersebut. 

Sedangkan Sari—bukan nama sebenarnya—harus melunasi utang pay later dan pinjol mencapai Rp 40 juta. Dua tahun yang lalu ia membeli barang tersier.

“Awalnya pay later tahun 2023 untuk pembelian gadget,” kata Sari.

Nyaris dua tahun ini hidupnya bergelimang teror debt collector. Dia sering mendapatkan spam panggilan telepon.

“Saran saya sih jangan sampai tergiur promo apa pun yang mengharuskan menggunakan pay later,” tuturnya.

Sedangkan Sila membeli kebutuhan pribadi yang sifatnya tersier. Ini untuk memenuhi gaya hidupnya.

“Sepatu, baju, serta skincare. Kalau tiket konser, saya nggak sanggup,” kata Sila.

Literasi dan kualitas pengambilan keputusan keuangan para Gen Z ini tergolong rendah. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 yang digelar Otoritas Jasa Keuangan, tingkat literasi keuangan rentang usia 15-25 dan 51-79 tahun paling rendah. Begitu juga dengan nilai keterampilan, sikap, dan perilaku pengelolaan keuangan pada rentang usia 15-25 dan 51-79 tahun ternyata adalah yang terendah.

Saran saya sih jangan sampai tergiur promo apa pun yang mengharuskan menggunakan pay later."

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengungkapkan literasi keuangan bagi Gen Z menjadi hal yang sangat penting. 

Sebab, kelompok umur ini mendominasi populasi Indonesia, yaitu 27,94 persen dari total penduduk. Selain itu, kata Friderica, Gen Z juga dihadapkan pada berbagai fenomena sosial, seperti you only live once (YOLO), fear of missing out (FOMO), dan fear of other people opinion (FOPO). Ini cenderung mengarahkan generasi muda ke pola hidup konsumtif dan bisa berdampak ke pengelolaan keuangan yang tidak bijaksana.

Ada pula fenomena doom spending—menghabiskan uang secara impulsif dan berlebihan sebagai respons terhadap stres, kecemasan, atau ketidakpastian pada masa depan—yang terjadi di kalangan Generasi Milenial dan Gen Z. Mereka berbelanja cenderung impulsif tanpa mempertimbangkan penting atau tidaknya suatu barang.

Fenomena serupa yang marak adalah instant gratification. Ini perilaku untuk mendapatkan keinginan tanpa mencoba melakukan penundaan. Perilaku tersebut perlu diimbangi dengan perilaku delayed gratification, yaitu menunda pemenuhan kesenangan saat ini untuk masa depan yang lebih baik.

“Generasi muda diimbau lebih bijak menggunakan produk dan layanan jasa keuangan. Kemampuan membedakan antara need and want juga harus dimiliki agar terhindar dari pola hidup konsumtif,” kata Friderica.

Pay Later dan Pinjol Itu Riskan

Chief Digital Officer Maybank Indonesia, Charles Budiman, mengungkapkan perkembangan teknologi, seperti media sosial dan gaya hidup konsumtif, menjadi salah satu faktor utama penggunaan pinjaman online dan pay later yang meningkat. Dari temuan detikX, para debitur, terutama kalangan Gen Z, mudah terjebak predatory lending atau pinjaman predator.

Beberapa dampak buruk penggunaan pay later dan pinjol, kata Charles Budiman, mudah menjangkiti Gen Z. 

“Banyak layanan pay later dan pinjaman online mengenakan bunga tinggi yang dapat memperburuk beban finansial jika pembayaran tidak dilakukan tepat waktu. Utang yang menumpuk. Keterlambatan pembayaran dapat menyebabkan denda dan bunga tambahan,” terang Charles Budiman.

Bahkan terjebak dalam utang pay later dan pinjol mudah terjadi penyalahgunaan dan kebocoran data pribadi. Ini paralel dengan tindak pidana lain yang bisa menjadikan debitur sebagai korban. 

“Rentan terhadap penipuan, maraknya layanan pinjaman online yang ilegal atau tidak terdaftar,” ujarnya.

Dampak kesinambungan lainnya, anjloknya skor kredit atau angka yang mencerminkan kelayakan seseorang dalam mengelola utang dan kemampuan membayar pinjaman berdasarkan riwayat keuangannya. Skor kredit resmi diatur dan dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan).

Banyak layanan pay later dan pinjaman online mengenakan bunga tinggi yang dapat memperburuk beban finansial jika pembayaran tidak dilakukan tepat waktu."

Berbeda dengan pay later atau pinjol, peminjaman melalui kartu kredit sering dianggap lebih baik dibandingkan pinjaman lain karena berbagai alasan, terutama dalam hal kemudahan, fleksibilitas, dan keamanan. Di Maybank Indonesia, terdapat berbagai produk yang dapat dimanfaatkan oleh nasabah yang berjenis pinjaman tanpa agunan (tanpa jaminan aset) dan juga pinjaman dengan agunan (jaminan aset properti dari nasabah).

“Kredit tanpa agunan: tersedia limit pinjaman hingga Rp 250 juta untuk nasabah payroll dengan tenor hingga 5 tahun dan Rp 150 juta untuk nasabah non-payroll dengan tenor hingga 3 tahun dengan suku bunga mulai dari 0,89 persen, cicilan tetap setiap bulannya,” ungkapnya.

Selain itu, terdapat pinjaman multiguna. Ini tersedia limit pinjaman mulai dari Rp 250 juta dengan tenor pinjaman hingga 20 tahun. Semua ini bisa diakses informasi awalnya melalui aplikasi digital M2U ID milik Maybank Indonesia, yang memiliki ragam fitur terbaru untuk mempermudah transaksi finansial.

Untuk terlepas dari snowball debt atau efek bola salju utang pay later atau pinjol para Gen Z, Charles Budiman memiliki beberapa saran. Menurutnya, butuh strategi yang tepat untuk pola pelunasannya.

“Catat semua utang dan urutkan berdasarkan prioritas pembayaran. Fokus melunasi utang berbunga tinggi dulu untuk menghindari bunga berlipat. Hindari berutang lagi, cari sumber dana alternatif (jual barang, cari tambahan penghasilan),” ungkapnya.

Selain itu, perlu tawarkan atau melakukan negosiasi dengan penyedia pinjaman untuk mendapatkan keringanan. Hal penting lainnya, buat anggaran yang lebih ketat agar tak terjerat utang lagi dan membangun kebiasaan keuangan yang sehat untuk masa depan.

“Gunakan strategi debt snowball atau debt avalanche untuk melunasi secara sistematis,” ujarnya.

Di sisi lain, OJK tengah melakukan penguatan pengaturan PP BNPLOJK. Pembiayaan BNPL hanya diberikan kepada nasabah atau debitur dengan usia minimal 18 tahun atau telah menikah dan memiliki pendapatan minimal sebesar Rp 3 juta per bulan. Ini bisa memitigasi Gen Z untuk terjebak utang. Kebijakan ini akan efektif berlaku paling lambat pada 1 Januari 2027 mendatang.

Catat semua utang dan urutkan berdasarkan prioritas pembayaran. Fokus melunasi utang berbunga tinggi dulu untuk menghindari bunga berlipat."

"Ini kita juga nggak mau nanti generasi-generasi muda itu terjerat di utang, sementara dia nggak ada kemampuan untuk membayar sebenarnya," kata Kepala Departemen Pengawas Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Keuangan Khusus OJK Ahmad Nasrullah dalam media briefing secara virtual pada Selasa, 21 Januari 2025.

Sari, yang kini terjebak harus melunasi utang lebih dari Rp 40 juta, memberikan saran. Dia meminta siapa pun agar berhati-hati dan tak tergiur untuk menjadi debitur atau nasabah pay later maupun pinjol. Sebab, akan mudah tergelincir dan terjebak gali lubang-tutup lubang.

“Juga jangan sampai pakai jasa joki ataupun konsultan karena jasa-jasa seperti itu hanya sesaat saja dan berujung menambah tagihan lebih banyak lagi. Sebutuh apa pun, mending jangan sampai pakai jasa pinjol karena bisa berujung fatal,” pungkasnya.

Reporter & Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Irwan Nugroho
Ilustrasi: M. Afwan Fathul Barry

[Widget:Baca Juga]

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial