Junta Myanmar Janjikan Gencatan Senjata Usai Gempa, Tapi Ingkar Lagi

18 hours ago 7

Naypyitaw -

Beberapa hari setelah gempa bumi berkekuatan 7,7 mengguncang Myanmar dan menewaskan sedikitnya 3.700 orang pada akhir Maret, pemerintah junta militer setuju menghentikan operasi militer mereka yang brutal.

Tapi, mereka melanggar gencatan senjata itu, lagi dan lagi.

Selama 10 hari, sejak pertengahan April, saya masuk ke wilayah yang dikuasai pemberontak di Negara Bagian Karenni.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setiap hari saya menyaksikan kaki tangan junta militer melakukan pelanggaran gencatan senjata, termasuk serangan roket dan mortir yang menewaskan dan melukai warga sipil serta milisi gerakan perlawanan.

Khala adalah salah satu korban. Pria berusia 45 tahun itu tewas dalam serangan pesawat tempur di tempat yang kata istrinya, Mala, seharusnya aman.

Saat gencatan senjata diumumkan pada 2 April, Mala dan Khala merasa ada kesempatan untuk kembali ke rumah mereka untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.

Pedesaan di Kareni

Daerah pedesaan di Negara Bagian Karenni (BBC/Lee Durant)

Bersama anak mereka yang berusia empat tahun, mereka pergi dari kamp tempat mereka berlindung di Desa Pekin Coco.

Kampung itu telah ditinggalkan dan bangunan-bangunannya hancur karena pertempuran yang tak kunjung selesai.

Hampir semua orang di sana telah pindah ke lahan pertanian yang lebih jauh dari tembakan tentara.

Namun saat keluarga muda itu sudah mengemas harta benda di dalam mobil dan bersiap meninggalkan Pekin Coco, gempuran dimulai.

"Kami semua ada di depan rumah. Lalu, peluru mulai berdesing dekat kami. Kami bersembunyi di belakang rumah. Tapi dia [Khala] tetap di tempatnya," kata Mala.

"Peluru artileri meledak di dekatnya. Dia meninggal di tempat yang dia kira akan aman. Dia laki-laki yang baik," kata Mala sambil menangis.

Pada sore harinya, pesawat tempur junta menyerang sebuah rumah di jalan yang sama, menewaskan empat orang lagi.

korban amputasi

Salah satu korban cedera dalam perang sipil yang brutal di Myanmar (BBC/Lee Durant)

"Saya benci mereka," kata Mala. "Mereka selalu menyerang orang tanpa alasan. Saya tidak merasa aman di sini. Jet tempur sering terbang di langit dan tidak ada tempat untuk bersembunyi."

Mala berusia 31 tahun dan hamil tujuh bulan. Ketika kami menemuinya, dia berada di kamp pengungsi, berduka. Putranya, Zoe, yang kangen ayahnya, 'menempel' terus di sisinya.

Gempa Myanmar

BBC

Sebelum gempa bumi melanda, perang saudara sedang berkecamuk di Myanmar.

Setelah beberapa dekade dikuasai pemerintahan militer dan mengalami penindasan brutal, kelompok-kelompok etnik bersama dengan pasukan pemberontak melakukan perlawanan yang membuat kekuasaan junta militer melemah. Dua pertiga negara bagian telah jatuh ke tangan gerakan perlawanan.

Perang saudara tersebut tentu memakan korban jiwa. Sejak kudeta militer pada 2021, konflik telah menewaskan puluhan ribu orang, termasuk anak-anak.

PBB mengatakan gempa bumi telah membuat dua juta orang terlunta-lunta dan memerlukan bantuan, belum termasuk 2,5 juta orang lainnya yang sudah jadi pengungsi bahkan sebelum gempa.

Kerusakan yang ditimbulkan akibat gempa di Myanmar.

Kerusakan yang ditimbulkan akibat gempa di Myanmar (BBC/Lee Durant)

Negara Bagian Karenni, atau Kayah, berada jauh dari pusat gempa.

Keterpencilan ini jadi berkah sekaligus kutukan. Hutannya yang lebat memberikan perlindungan bagi milisi sipil dan sulit ditembus junta militer.

Namun, jalan-jalannya yang buruk dan jalan raya utama tetap dapat ditarget senjata tentara. Sebagian besar negara bagian itu sekarang dikendalikan oleh kelompok etnik pemberontak.

Pada 28 Maret saat terjadi gempa, tidak ada korban jiwa yang dilaporkan di Karenni. Namun, rumah sakit setempat segera dipenuhi orang-orang cedera atau mengalami patah tulang.

Sebuah lubang menganga sepanjang 30 meter muncul di hutan sekitar Kota Demoso. Penduduk setempat mendengar suara tanah yang runtuh.

Mereka mengira itu adalah serangan udara. Selama berpekan-pekan, lubang itu terus meluas bersama dengan gempa susulan.

Komandan KNDF Stefano

Stefano, 23, bertempur melawan junta militer. Dia menyebut gencatan senjata sebagai "lelucon" (BBC/Lee Durant)

PBB mencatat bahwa militer Myanmar terus melancarkan serangan setelah gempa bumi, bahkan melanggar gencatan senjata. PBB menyerukan agar militer Myanmar mengakhiri serangan.

Dewan Administrasi Negara, badan yang memegang kekuasaan, belum mengomentari dugaan pelanggaran itu.

Namun, mereka mengklaim telah diserang kelompok-kelompok perlawanan. Selama gencatan senjata, semua pihak yang berkonflik berhak untuk membalas jika diserang lebih dulu.

Selama 10 hari di Mobeye, Karenni, saya menyaksikan junta militer melakukan serangan hampir setiap hari.

Saya bertemu Stefano di sana. Pria 23 tahun itu berjuang melawan kediktatoran militer bersama Pasukan Pertahanan Bangsa Karenni (KNDF).

Dia memimpin peleton beranggotakan anak-anak muda yang telah mendirikan parit di sekitar markasnya.

Dari lubang perlindungannya, dia menjelaskan tentara pemerintah menggunakan segala cara dalam melancarkan serangan saat gencatan senjata, mulai dari penggunaan serdadu di darat hingga drone dan jet di udara.

"Mereka biasanya menyerang dengan drone dan artileri berat di sisi ini. Mereka juga memanfaatkan hujan untuk merangsek," ujarnya.

Dia menyebut gencatan senjata itu sebagai "lelucon".

"Kami tidak memercayai dewan militer sejak awal. Kami tidak mempercayainya sekarang, dan kami tidak akan mempercayainya kelak."

Seorang penduduk desa memegang sisa-sisa logam dari serangan udara militer Myanmar.

Seorang penduduk desa memegang sisa-sisa logam dari serangan udara militer Myanmar (BBC/Lee Durant)

Sehari setelah kami berbincang, militer melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah pemberontak dengan senjata berat dan mengerahkan pasukan infanteri.

Saat berjalan ke garis depan, kami bisa mendengar suara tembakan serta serangan mortir. Tanah yang gosong bekas serangan drone masih terlihat 'segar.'

Di dekatnya tergeletak mayat seorang anggota junta yang mencoba menerobos posisi pemberontak. Pasukan perlawanan mengatakan mereka telah menangguhkan semua serangan selama gencatan senjata. Tetapi jika diserang, mereka akan balas menyerang.

Yi Shui, komandan kelompok perlawanan bernama Tentara Nasional Karenni, menunjukkan kepada saya foto-foto di ponselnya.

"Ketika kami melihat mereka, kami menembak mereka. Salah satunya kena" dan yang lain melarikan diri," katanya.

Lagi-lagi, militer tidak cuma menyasar milisi perlawanan sipil. Roket mereka juga menghantam lahan pertanian, menewaskan seorang perempuan berusia 60 tahun.

Kami tiba di ladang tempat empat roket jatuh. Di sana anak-anak bermain dengan lempengan logam dan sisa-sisa peluru dari serangan.

Mereka yang terluka dibawa ke rumah sakit setempat, yang lokasinya tersembunyi jauh di dalam hutan untuk menghindari serangan udara dari pesawat tempur junta.

Di rumah sakit ini, seorang pejuang muda dirawat di bangsal kayu dengan lantai tanah. Bahunya kena peluru dan kehilangan banyak darah karenanya.

Thi Ha Tun, 32 tahun, merupakan dokter yang bertanggung jawab. Dia mengaku sudah merawat sekitar 12 pasien akibat luka terkait perang sejak gencatan senjata diumumkan. Dua pasien anggota milisi perlawanan, meninggal.

pasien rumah sakit

Seorang pasien terbaring di ranjang rumah sakit (BBC/Lee Durant)

Dia menolak kebohongan junta. "Mereka cuma peduli dengan kepentingan mereka sendiri," katanya.

"Mereka cuma bakal peduli dengan pihak mereka sendiri. Mereka tidak akan peduli dengan negara ini, generasi mudanya, anak-anaknya, orang tuanya, atau apa pun."

Satu-satunya solusi adalah terus berjuang, katanya.

Berada di puncak sebuah dataran tinggi, terletak Gereja Hati Kudus Yesus yang dikuasai pemberontak.

Gempa bumi meruntuhkan menara gereja dan sebagian atap. Lonceng dari Roma sekarang tersangga di tempat sementara. Perbaikan di sana sini sudah dilakukan, tetapi gereja mungkin perlu direkonstruksi.

Mereka masih merasakan gempa susulan di sini berminggu-minggu setelah kejadian.

Tetapi bagi Pastor Philip, romo setempat, ancaman terbesar bagi jemaatnya berasal dari 'atas', bukan dari bawah.

"Tidak ada tempat yang aman. Ketika jet tempur terbang di langit... Anda tidak pernah tahu apa yang akan jatuh dari langit."

Kembali ke garis depan Mobeye, Stefano dan anak buahnya menghabiskan waktu di sela-sela serangan dengan membersihkan senjata dan menyanyikan lagu.

"Saya bisa mendengar doa, tangisan, dan orang-orang yang terus-menerus menangis. Kami akan mengalahkan kediktatoran," demikian lirik nyanyian mereka.

Kata mereka, satu-satunya gencatan senjata yang mereka percayai adalah kekalahan junta.

Gencatan senjata akan berakhir pada akhir bulan ini. Namun, bagi sebagian besar orang di sini, gencatan senjata rasanya tak pernah terjadi sama sekali.

(nvc/nvc)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial