Jakarta -
Wakil Ketua MPR RI dari Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menyoroti dua tantangan besar masa depan dunia, yaitu kecerdasan buatan (AI) dan perubahan iklim. Meskipun tampak berbeda, Ibas menilai keduanya sama-sama membutuhkan kesiapan dan kolaborasi.
Ia menekankan pentingnya adaptasi terhadap transformasi teknologi tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan Asia Tenggara, serta menyerukan kerja sama internasional untuk pemanfaatan AI yang etis.
Di sisi lain, Ibas menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan tidak boleh dipisahkan dengan mendorong ekonomi hijau sebagai solusi masa depan yang menciptakan lapangan kerja, menjaga ekosistem, dan memperkuat solidaritas kawasan ASEAN dalam menghadapi krisis iklim lintas batas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada tantangan besar yang akan membentuk hidup kita, yaitu kecerdasan buatan (AI) dan perubahan iklim. Mungkin tampak sangat berbeda, yang satu tentang teknologi, yang lain tentang lingkungan, tapi keduanya sangat besar dan mengharuskan kita untuk bersiap," ungkap Ibas dalam keterangannya, Jumat (2/5/2025).
"Mari kita mulai dengan kecerdasan buatan. AI dapat melakukan hal menakjubkan, mereka bisa lebih pintar dari manusia, mereka bisa lebih cepat daripada apapun, tapi itu juga membawa kekhawatiran bagi kita. Banyak orang bertanya, apakah robot akan mengambil alih pekerjaan kita?" lanjutnya.
Hal tersebut disampaikan Edhie Baskoro Ketua FPD DPR RI ketika menjadi Guest Lecture di Universiti Malaya, dengan Topik 'Navigating a Changing World: ASEAN's Path to Stability and Prosperity', di Auditorium Faculty of Business & Economics, Rabu (30/4).
Selanjutnya, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ini menyampaikan bahwa realitanya sejumlah pekerjaan akan berubah bentuk, beberapa bahkan menghilang. Oleh karena itu, masyarakat harus siap menghadapi transformasi ini dengan keterampilan baru dan kesiapan beradaptasi.
"Itu berarti kita harus siap, kita harus siap beradaptasi. Selain itu, kita juga harus memanfaatkan kekuatan budaya kita," ujar ibas.
"Kita memiliki apa yang disebut nilai, identitas, nilai komunitas, dan tentu empati khas Asia Tenggara yang tidak dapat dimiliki oleh robot dan AI. Jadi, kita dapat merancang dan menggunakan kebutuhan AI dengan cara yang mengutamakan manusia," imbuhnya.
Ibas kemudian menekankan perlunya kerja sama internasional untuk menangani risiko AI. Tidak ada satu negara pun yang dapat mengelola dampak AI sendirian karena teknologi melintasi batas negara.
"ASEAN dapat bekerja sama menetapkan pedoman, etika teknologi untuk penggunaan AI yang etis. Dengan bersikap kooperatif dan kreatif, kita dapat mengubah AI menjadi peluang, bukan ancaman," tegasnya.
Di hadapan mahasiswa Universiti Malaya, Wakil Rakyat Dari Partai Demokrat ini kemudian melanjutkan pemaparannya membahas tentang perubahan iklim.
"Dapatkah kita membangun negara kita tanpa merusak planet kita? Saya yakin, ya, kita bisa dan harus melakukannya!" kata Ibas.
Ibas kemudian menegaskan bahwa solusi memperbaiki isu perubahan iklim dan kerusakan bukan menunda demi pertumbuhan ekonomi, karena keduanya bisa dan harus berjalan beriringan.
"Beberapa orang berpendapat jika ekonomi sedang terpuruk, kita harus fokus pada pertumbuhan terlebih dahulu dan memikirkan lingkungan kemudian. Namun, itu pandangan yang picik. Jika kita mengorbankan lingkungan sekarang, keuntungan ekonomi mungkin tidak akan bertahan lama," ungkap Ibas.
"Yang baik adalah PDB (ekonomi) tinggi, pertumbuhan berkeadilan tinggi, dan kita juga dapat menjaga lingkungan, dapat menghirup udara bersih dan meminum air bersih. Baik Malaysia maupun Indonesia telah melihat kasus di mana perusahaan mengejar keuntungan dan menyebabkan penggundulan hutan atau menciptakan polusi, hingga merugikan masyarakat setempat. Itu harus diubah, Pemerintah harus menanggapinya," imbuhnya.
Ibas kemudian menyampaikan bahwa baik Indonesia maupun Malaysia telah mengambil beberapa langkah positif, seperti larangan plastik sekali pakai di Malaysia dan tindakan hukum pembakaran hutan ilegal di Indonesia, serta penanaman 2 miliar pohon.
"Indonesia dan Malaysia juga merupakan bagian dari Perjanjian Paris. Malaysia dan Indonesia telah berjanji untuk meningkatkan energi terbarukan, menggunakan dan mencapai status netral karbon sekitar pertengahan abad ini," tuturnya.
Lebih lanjut, Ibas menggarisbawahi bahwa perubahan iklim tidak mengenal batas negara. Jika satu negara mencemari, dampaknya dapat menyebar ke semua negara tetangga.
"Seperti kata orang, kabut asap tidak memerlukan paspor untuk melintasi perbatasan, bukan? Itulah sebabnya kerja sama regional sangat penting," jelasnya.
Oleh karena itu, negara-negara Asia, lanjut Ibas, khususnya ASEAN harus saling membantu tetap berpegang pada komitmen hijau.
"Bahkan mungkin menyiapkan kerangka kerja regional untuk untuk tanggap bencana dan perlindungan lingkungan. Yang lebih penting, kita harus melihat perjuangan melawan perubahan iklim bukan hanya sebagai beban, tetapi juga sebagai peluang," kata Ibas.
Selanjutnya, Wakil Ketua Dewan Penasihat Kadin ini pun memaparkan bahwa ekonomi hijau yang sedang berkembang dapat dimanfaatkan oleh kaum muda.
"Ekonomi hijau yang sedang berkembang pesat juga dapat dimanfaatkan oleh kaum muda. Proyek energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan teknologi hijau dapat menciptakan banyak lapangan kerja sekaligus menjaga lingkungan tetap aman," ujarnya.
Sehingga pada dasarnya, kata Ibas, melindungi alam dapat berjalan beriringan dengan meningkatkan lapangan kerja dan ekonomi untuk masa generasi penerus bangsa.
"Berarti melindungi alam dapat berjalan seiring dengan pengurangan pengangguran. Dalam arti tertentu, ekonomi dan ekologi tidak harus menjadi musuh, mereka dapat menjadi teman," tutur Ibas.
"Yang kita inginkan adalah pembangunan yang berlangsung selama beberapa generasi, dan itu berarti pembangunan harus inklusif dan berkelanjutan," tegasnya.
Pada kesempatan ini, Associate Deputy Vice-Chancellor (Academic & International), Prof. Dr. Yvonne Lim Ai Lian menyambut positif dan setuju dengan apa yang disampaikan Ibas. Ia mengatakan Asia Tenggara berada di persimpangan perubahan, menghadapi tantangan iklim, gangguan dan perkembangan teknologi, serta penataan ulang ekonomi.
"Kami berharap para pemimpin yang berpikiran maju seperti Dr. Edhie Baskoro dapat membantu kami untuk berefleksi, beradaptasi, dan berinovasi. Kami semua sangat beruntung berada di sini, hadir mendengarkan pemaparannya. Kuliah ini lebih dari sekadar pertukaran akademis, tapi penegasan kembali hubungan hangat yang kuat antara Malaysia dan Indonesia," katanya.
Sementara itu, Secretary General of Indonesian Students' Association (PPI) in University of Malaya, Nasatha menyampaikan antusias dan bangganya bisa berpartisipasi langsung di kuliah umum ini. Ia menuturkan pihaknya merasa terhormat bisa berada di sini, dan sangat menikmati, mendapat banyak ilmu baru, terutama tentang isu AI, SDGs, dan hal-hal yang harus dihadapi ASEAN di dunia yang terus berubah ini.
"Terima kasih Dr. Edhie Baskoro, kami sangat berharap akan ada kesempatan di masa mendatang baginya untuk mengunjungi Universitas Malaya lagi. All the best Pak," tandasnya.
(prf/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini