Forum Kepsek Jabar: Pendaftar Sekolah Swasta Cabut Usai Kuota 50 Siswa

8 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) SMA Jawa Barat (Jabar) mendapati kebijakan Pemprov Jabar menambah kuota satu kelas atau rombongan belajar diisi 50 siswa telah berpengaruh pada pendataran murid baru di sekolah-sekolah swasta.

Ketua FKSS SMA Jabar Ade Hendriana mengatakan ratusan calon siswa yang sebelumnya mendaftar ke sekolah swasta, kini memilih mencabut berkas dan beralih ke sekolah negeri setelah kuota tambahan dibuka Pemprov Jabar.

"Sekarang menurun karena banyak cabut berkas, saya belum koordinasi lagi (pastinya berapa), diprediksi menurun," ujarnya, Kamis (10/7) seperti dikutip dari detikJabar.

Ade menjelaskan, berkurangnya jumlah pendaftar karena Pemprov Jabar menambah kuota penerimaan di sekolah negeri melalui program Penanggulangan Anak Putus Sekolah (PAPS).

Menurut Ade, setelah diumumkannya hasil Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahap 2 pada Rabu (9/7), jumlah pendaftar di sekolah swasta semakin berkurang.

"Setelah pengumuman terakhir, SMA swasta bukannya bertambah malah pada mencabut berkas dalam artian mereka diterima dalam program PAPS," kata Ade.

Pihaknya pun menduga program PAPS tersebut tidak tepat sasaran. Sebab menurut Ade, banyak siswa yang diterima di sekolah negeri sebetulnya mampu bersekolah di swasta.

"Kenapa tidak tepat sasaran, karena mereka kan mampu di sekolah swasta. Kemudian ada salah satu SMA favorit di Kota Bandung menerima siswa dari SMP favorit juga. Artinya SMP dengan cara bayar tinggi atau besar kenapa bisa masuk jalur PAPS itu," tegasnya.

"Saya sudah sampaikan di awal, ini merupakan jalur untuk titipan siswa dibalut dengan kemasan baik aja," imbuh Ade.

Kondisi itu membuat keterisian siswa baru di 1.334 sekolah swasta di Jabar yang semula rata-rata 30 persen, kini semakin berkurang.

"Bandung sakola elit ge ancur, rontok. Ada 120 calon murid cabut berkas diterima jalur PAPS, ada yang hampir 2 kelas cabut berkas," terang Ade yang menyebut dua sekolah swasta di Bandung mengalami hal tersebut.

Atas dasar hal tersebut, dia bilang sebagian besar SMA swasta di Jabar akan menunda Masa Pengenalan Lingkungan Satuan Pendidikan (MPLS) yang seharusnya dilakukan pada 14 Juli nanti atau awal pekan depan. Menurutnya hanya sedikit sekolah swasta di Jabar yang menggelar MPLS pekan depan.

"Hanya lima persen sekolah yang bisa mengikuti MPLS besok," katanya.

Jika MPLS diundur, kemungkinan besar proses pembelajaran juga akan diundur. Ade menyebut, SMA swasta yang masih kekurangan murid akan menunggu hingga batas waktu pendaftaran dapodik ditutup pada 31 Agustus mendatang.

"Patokan kita dapodik itu 31 Agustus, sebelum itu mereka sudah harus masuk dapodik. Kalau itu tidak ada (mencapai kuota) kita jalan saja sesuai dengan murid yang ada," katanya.

Sebelumnya, Dinas Pendidikan Jawa Barat (Disdik Jabar) buka suara soal kebijakan baru Gubernur Jabar Dedi Mulyadi yang menambah jumlah siswa dalam satu kelas atau rombongan belajar di sekolah negeri dari 36 menjadi 50 pelajar.

Polemik penambahan kuota per kelas itu saat ini menuai perdebatan, terutama dari kalangan sekolah swasta. Meski berpolemik Disdik Jabar memastikan kebijakan yang tertuang dalam Kepgub Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah ini tetap berjalan.

Kadisdik Jabar Purwanto mengatakan tujuan dari kebijakan itu bukan untuk mematikan sekolah swasta, melainkan demi menjamin semua anak mendapat hak pendidikan.

Dia bilang kebijakan ini didasari oleh keinginan untuk menyelamatkan anak-anak dari kelompok rentan yang berisiko putus sekolah akibat keterbatasan ekonomi, bencana, atau persoalan administrasi kependudukan.

"Semangatnya adalah untuk mencegah anak-anak yang dikhawatirkan tidak sekolah karena persoalan geografis, afirmatif, bisa karena bencana, atau karena anak yatim miskin, susah administrasi kependudukannya dan itu kita temukan. Nah, Kepgub ini untuk menolong itu," ujar Purwanto, Selasa (8/7).

Purwanto menjelaskan bahwa kebijakan penambahan rombel tidak bersifat menyeluruh, melainkan selektif sesuai kebutuhan wilayah.

"Di sekolah-sekolah yang padat penduduknya, kemudian dekat dengan alamat orang miskin. Karena kan ada data KETM ya, Keluarga Ekonomi Tidak Mampu yang sudah ada sekitar 61 ribu masyarakat kita terindikasi masuk ke data itu," jelasnya.

Selain itu, dia mengatakan penambahan rombel per kelas itu juga diharapkan bisa mengakomodasi anak-anak dari keluarga KETM yang tinggal di sekitar sekolah negeri agar tidak terkendala biaya transportasi atau akses.

Sementara itu merespons kekhawatiran pihak swasta, Purwanto bilang sekolah-sekolah nonnegeri masih tetap memiliki peluang besar untuk menerima siswa. Bahkan menurutnya ada sekitar 400 ribu siswa yang bisa ditampung untuk bersekolah di swasta.

"Dari lulusan kita sekitar 700 ribuan, itu masih ada sekitar 400 ribuan anak yang tidak tertampung di negeri, bahkan setelah penambahan rombel. Nah, itu artinya apa? Masih bisa masuk ke sekolah swasta atau sekolah di bawah naungan Kementerian Agama," ucapnya.

Penambahan jumlah siswa dalam satu kelas, menurut Purwanto, disesuaikan dengan kondisi di tiap sekolah. Karena itu dia memastikan, kebijakan ini tidak bersifat mutlak di mana setiap rombel harus berjumlah 50 siswa.

"50 itu bukan angka mati. Jadi dia bisa 37, bisa 48, bisa 45. Itu maksimal. Dan itu disesuaikan dengan kondisi sekolah," jelasnya.

Baca berita lengkapnya di sini.

(kid/ugo)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial