Evaluasi Total Tata Kelola Taman Nasional

1 week ago 15

Jakarta - Indonesia kembali dipermalukan oleh buruknya tata kelola konservasi setelah penemuan 59 titik ladang ganja di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Ini bukan sekadar kasus kriminal biasa, tetapi skandal yang mengungkap betapa lemahnya sistem pengawasan taman nasional yang seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan keanekaragaman hayati.

Lebih ironis lagi, TNBTS bukan hanya sekadar taman nasional, tetapi telah diakui UNESCO sebagai Cagar Biosfer sejak 2015. Status ini seharusnya menjamin pengelolaan lebih ketat, tetapi kenyataannya, seluas 50.276,3 hektar kawasan konservasi ini justru menjadi lahan subur bagi jaringan narkotika. Jika kawasan yang memiliki pengakuan dunia saja bisa dieksploitasi sedemikian rupa, bagaimana dengan taman nasional lain yang pengawasannya jauh lebih longgar?

Ladang ganja ini tidak tumbuh dalam semalam. Tanaman ini butuh berbulan-bulan untuk tumbuh sebelum panen, yang berarti aktivitas ilegal ini telah berjalan dalam waktu lama tanpa terdeteksi. Jika sistem pengawasan benar-benar berjalan, bagaimana mungkin 59 titik ladang ganja bisa lolos dari pantauan? Apakah ini kelalaian atau justru pembiaran? Jika taman nasional yang seharusnya menjadi kawasan paling terlindungi di Indonesia bisa disusupi dengan begitu mudah, maka kita patut mempertanyakan: seberapa besar kemungkinan kawasan konservasi lain sudah menjadi pusat kejahatan lingkungan yang lebih luas?

Dalih Klasik

Dalih klasik pemerintah setiap kali skandal seperti ini terungkap adalah "kekurangan sumber daya", "wilayah terlalu luas", atau "akan meningkatkan patroli". Namun, mari kita bandingkan dengan Amerika Serikat, yang juga memiliki kawasan konservasi luas.

Di sana, taman nasional dikelola oleh National Park Service (NPS), sebuah badan independen di bawah Departemen Dalam Negeri yang memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan, penegakan hukum, dan pengamanan kawasan. Setiap taman nasional memiliki ranger dengan otoritas penuh untuk menindak pelanggaran, tanpa harus menunggu instruksi dari pejabat pusat. Tidak ada birokrasi berbelit, tidak ada alasan klasik, yang ada hanya tindakan nyata di lapangan.

Sebaliknya, di Indonesia, pengawasan taman nasional masih bergantung pada teknologi yang tidak dibarengi dengan patroli lapangan yang efektif. Pemerintah mengklaim telah menggunakan remote sensing seperti satelit dan drone untuk memantau kawasan konservasi, tetapi tanpa kehadiran fisik petugas di lapangan, teknologi ini hanya menjadi alat pemantauan tanpa tindak lanjut nyata. Laporan yang dibuat sering hanya bersifat administratif tanpa mencerminkan kondisi riil.

Dengan luas taman nasional yang mencapai 16.304.707,13 hektar (KLHK, 2017), jumlah petugas yang ada saat ini jelas tidak cukup untuk patroli rutin. Banyak titik tidak diawasi selama berbulan-bulan, sehingga kelompok kriminal bisa beroperasi tanpa hambatan. Selain itu, koordinasi antarlembaga yang lemah memperburuk situasi.

Taman nasional dikelola oleh Kementerian Kehutanan, sementara penindakan narkotika berada di bawah kewenangan BNN dan kepolisian. Tanpa koordinasi yang jelas, banyak kasus lingkungan yang akhirnya dibiarkan begitu saja. Laporan BNN pada 2023 mencatat lemahnya sinergi antarlembaga menyebabkan banyak kasus kejahatan lingkungan tidak tertangani dengan baik.

Masalah lain adalah lemahnya wewenang petugas taman nasional di lapangan. Tidak seperti ranger di AS yang memiliki otoritas penuh, petugas di Indonesia masih harus menunggu keputusan dari kementerian. Dengan sistem seperti ini, wajar jika penegakan hukum di lapangan menjadi macet dan tidak efektif.

Struktur Birokrasi

Ladang ganja di taman nasional bukan hanya bukti lemahnya pengawasan, tetapi juga mencerminkan kegagalan struktural dalam tata kelola kawasan konservasi di Indonesia. Dengan sistem saat ini, pengambilan keputusan lamban karena semua laporan harus melewati birokrasi panjang dari petugas lapangan, kepala balai, direktur, dirjen, hingga ke tingkat menteri. Jika kita bicara ancaman lingkungan yang berkembang begitu cepat, struktur birokrasi seperti ini sama sekali tidak relevan dan justru menghambat respons yang cepat.

Saat ini, 54 taman nasional di Indonesia berada di bawah Kementerian Kehutanan, tetapi apakah sistem ini efektif? Tidak. Maka, sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan pembentukan Badan Taman Nasional yang independen, sejajar dengan BNN, BNPT, BNPB, BMKG, dan BRIN. Jika taman nasional tidak lagi berada di bawah kementerian, pengelolaannya bisa lebih profesional dan tidak terseret kepentingan politik serta ekonomi. Keputusan dapat diambil langsung tanpa harus melewati rantai birokrasi yang tidak efisien.

Dengan badan independen ini, petugas di lapangan akan memiliki otoritas lebih besar dalam menindak pelanggaran. Tidak ada lagi kasus di mana pelanggar tertangkap basah tetapi petugas hanya bisa menunggu arahan dari pusat. Selain itu, koordinasi dengan lembaga lain seperti BNN dan kepolisian bisa lebih efektif, sehingga kasus seperti ladang ganja di taman nasional bisa ditangani dengan lebih baik. Yang lebih penting, konservasi akan lebih terlindungi dari kepentingan ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam, yang sering kali berseberangan dengan misi perlindungan lingkungan.

Harus Memilih

Indonesia harus memilih: menjadi negara yang serius dalam konservasi atau membiarkan taman nasional berubah menjadi zona abu-abu bagi kejahatan terorganisasi. Jika pemerintah tetap membiarkan sistem yang tidak efektif ini berjalan, maka jangan heran jika taman nasional lain menyusul TNBTS sebagai pusat aktivitas ilegal.

Jika Presiden dan pemerintah serius dengan komitmen lingkungan, pembentukan Badan Taman Nasional yang independen harus menjadi prioritas utama. Jika tidak, skandal seperti ini akan terus terulang. Jika dunia internasional mulai mengawasi, menekan, atau bahkan memberi sanksi terhadap kebijakan lingkungan kita, itu bukan karena campur tangan asing, tetapi karena pemerintah sendiri gagal menjaga komitmen yang telah mereka sepakati dalam berbagai perjanjian lingkungan global.

Dan, jika 59 titik ladang ganja bisa ditemukan di taman nasional yang telah diakui sebagai Cagar Biosfer, maka pertanyaannya bukan lagi bagaimana ini bisa terjadi, tetapi seberapa banyak lagi skandal seperti ini yang belum terungkap?

Probo Darono Yakti analis pertahanan, dosen Hubungan Internasional Unair

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial