Buih Menahun di Sungai Jakarta

3 days ago 3

Seolah hamparan salju, permukaan sungai di Pintu Air Weir 3 Marunda, Banjir Kanal Timur (BKT), Jakarta Utara, tampak tertutup gelembung-gelembung putih kecokelatan. Setiap kali air sungai teraduk deras di pintu air, gumpalan busa muncul dalam jumlah melimpah. Polutan limbah busa itu mengalir ke lautan Teluk Jakarta, nyaris setiap musim hujan sejak 2016.

Hampir tiga dasawarsa Sunu, laki-laki berusia 63 tahun, melakoni hobi memancingnya di area Pintu Air Weir 3 Marunda. Sepanjang yang ia tahu, polutan busa itu muncul hampir setiap tahun setelah hujan deras. Ketinggian polutan busa itu biasanya lebih dari mata kaki.  

“Kalau ada busa, ya nangkap ikan jadi lama,” ujarnya kepada detikX sembari melempar jala ke aliran dekat pintu air menjaring busa-busa yang melintas. Tak berapa lama kemudian, ia mengangkat jalanya, tak ada ikan yang terperangkap, hanya bungkus-bungkus plastik makanan ringan.

Untungnya, pada Rabu, 25 Juni, itu, Sunu tak akan pulang dengan tangan kosong. Kesabarannya tetap menjala beberapa jam menghasilkan ikan bandeng laki.

Kalau dulu (sebelum ada busa), jenis ikannya lebih banyak dari ini. Ada patin, bandeng, bulan-bulan, apa lagi, ikan payus.”

“Kalau dulu (sebelum ada busa), jenis ikannya lebih banyak dari ini. Ada patin, bandeng, bulan-bulan, apa lagi, ikan payus,” katanya sembari menunjukkan ikan tangkapannya yang ia masukkan ke jaring yang digantung di tepi sungai, terlihat buih-buih polutan busa menempel di ikan itu.

Ikan tangkapannya hari ini rencananya hendak ia bawa pulang untuk dimasak sendiri. Jika mendapat lebih banyak, kadang Sunu menjualnya ke tetangga sekitar.

“Kalau berdasarkan hasil koordinasi dengan teman-teman dari Bidang PPH, Subbidang Penanganan dan Pengaduan, sebenarnya aduan ini sudah berlangsung sejak 9 tahun yang lalu ya, di 2016 itu,” ungkap Abdur, yang akrab disapa Bedur, kepada detikX.

Bedur menuturkan, mulanya pada tahun itu, tim diturunkan untuk menyisir sepanjang hulu ke hilir. Ini untuk memverifikasi aduan, mengambil sampel, dan mencari penyebabnya.

“Kalau dari hasil penelusuran itu, kan samping kiri kanan BKT (Banjir Kanal Timur) itu sebenarnya sudah clear adanya jalur inspeksi ya, jadi tidak ada pembuangan dari industri yang secara langsung membuang ke Sungai BKT tersebut,” ujarnya.

“Namun, kalau tahun 2016 tadi, beberapa titik saluran penghubung yang mengumpulkan air limbah domestik yang berasal dari warga itu kadar-kadar limbah domestiknya itu cukup tinggi, salah satunya kandungan detergen ya, atau MBAS (methylene blue active substance),” lanjut Bedur.

Fenomena busa disebut Bedur sebagai hasil kombinasi antara kandungan surfaktan dan turbulensi air di pintu-pintu air kanal. Ia menjelaskan kandungan surfaktan memang sudah ada di air sungai, tapi tidak terlihat bila aliran tenang. Ketika terjadi adukan alami, busa kemudian muncul ke permukaan.

Artinya, meskipun tidak selalu terlihat busa, senyawa MBAS, yang merupakan komponen utama dalam detergen, tetap terkandung dalam aliran sungai, yang akhirnya mengalir bermuara ke laut. Sejak saat itu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta mengimbau warga agar menggunakan detergen ramah lingkungan.

Meski disebut hasil dari laboratorium pada 2016 dan 2018 sungai belum pada ambang batas tercemar oleh MBAS, tetapi bertahun-tahun setelahnya, busa tetap bermunculan setelah musim hujan ketika aliran sungai menderas.

Pada 2020, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta saat itu, Andono Warih, mengatakan penyebab limpahan busa tersebut adalah warga yang tinggal di sekitar bantaran sungai masih kerap menggunakan detergen dengan kandungan kimia tinggi untuk mencuci pakaian, mencuci kendaraan, maupun kegiatan rumah tangga lainnya.

Ia berjanji akan meningkatkan upaya edukasi serta memperkuat penegakan hukum. Juga membangun sistem pengolahan air limbah domestik (SPALD) secara bertahap.

Namun busa kembali muncul hingga Juni 2025. Kini DLH Jakarta menyebut biangnya adalah usaha skala kecil pencucian baju dan motor, yang saluran airnya mengalir membawa busa menuju sungai.

Namun Bedur menerangkan kewenangan penindakan DLH Jakarta hanya terbatas pada pembinaan agar tidak menggunakan detergen berbahan kimia keras. Hanya usaha skala menengah dan besar yang akan ditangani secara hukum oleh DLH Jakarta.

“Nah, pembinaan ini menjadi tupoksi bersama antara instansi terkait di bidang usaha kecil dan instansi lingkungan hidup ya,” jelas Bedur.

Kendati demikian, Bedur mengakui memang adanya dilema di lapangan di antara pelaku usaha. Ketika diimbau agar mengganti detergen atau membangun pengolahan limbah sendiri, mereka terbentur biaya.

“Praktik di lapangannya, mereka juga membutuhkan support berupa biaya karena tadi, usaha skala kecil, mereka tidak bisa menganggarkan untuk pembangunan unitnya. Atau karena mereka usaha kecil, maka itu lahan terbatas,” tutur Bedur.

Sedangkan SPALD yang dulu pernah disebut sebagai jalan keluar, kata Bedur, merupakan tanggung jawab Suku Dinas Sumber Daya Air (SDA) Jakarta. Hingga hari ini, menurut Bedur, pembangunan bertahap dan koordinasi terus dijalin antara DLH dan SDA Jakarta.

Sejumlah kota di Indonesia juga pernah mencatatkan fenomena serupa. Di Bogor, misalnya, Sungai Ciliwung di Kedunghalang sempat tertutup busa tebal pada Maret 2024 akibat pencucian tong bekas bahan baku sabun oleh gudang transit bahan baku sabun. Aparat penegak hukum setempat merekomendasikan penyegelan dan proses hukum setelah sampel diuji.

Sedangkan di Surabaya pada Agustus 2022, Sungai Kalisari dan Kalidami sempat dipenuhi busa putih yang disinyalir berasal dari limbah rumah tangga, yakni cairan sabun, oli, dan air bekas mencuci langsung dibuang ke sungai. Sehingga pemerintah daerahnya menerapkan pembangunan IPAL komunitas sebagai upaya pengendalian.

Menurut aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Muhammad Aminullah, fenomena busa yang muncul seharusnya bisa dibaca sebagai peringatan dini atas kondisi lingkungan yang mulai tercemar. Ia mengingatkan agar pemerintah tidak menunggu situasi memburuk sebelum bertindak.

Meski kadar cemarannya masih dianggap dalam batas aman, dampaknya sudah dirasakan oleh warga, mulai nelayan hingga masyarakat yang memanfaatkan lahan di sekitar BKT.

“Ya perlu dimitigasi, jadi jangan lonjong logikanya itu, jangan sesat seperti itu, jangan menunggu ini belum parah, kemudian nanti saja setelah parah, gitu kan. Ini saja belum parah sudah mengganggu masyarakat sekitar,” tegas Aminullah kepada detikX.

Aminullah menilai tak adil jika pencemaran di Sungai BKT semata-mata dibebankan pada perilaku rumah tangga. Ia menyebut lemahnya pengawasan terhadap kandungan berbahaya pada produk pembersih dan terbatasnya pilihan di pasaran membuat masyarakat tidak punya banyak opsi.

“Bukan berarti masyarakat yang mesti disalahkan karena kita tidak punya opsi di sini, dari sistem produksi kita,” kata Bedur.

Ia juga menyoroti buruknya sistem pengelolaan air limbah domestik. Saat ini, kata dia, sebagian besar limbah rumah tangga masih langsung dialirkan ke sungai tanpa melalui proses pengolahan.

“Jakarta sampai sekarang kan masih punya PR di situ gitu, IPAL-nya itu belum baik. Semua rata-rata sebagian besar limbah-limbah dari kamar mandi, dari tempat cucian masyarakat, itu kan larinya langsung ke sungai akhirnya,” pungkasnya.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial