Jakarta -
Indonesia, dengan 1.340 suku dan 718 bahasa yang tersebar di antara 17.500 pulau, terancam kehilangan nadi budayanya jika nyaris tak ada generasi muda yang piawai memetik Sasando atau menghayati makna ratoh duek dalam Tari Saman. Ironisnya, di tengah sumbangsih sektor ekonomi kreatif sebesar 7,8% PDB dan tingginya permintaan internasional untuk komoditas kerajinan lokal --dari batik, tenun, wayang, hingga ukiran Asmat-- sebanyak 143 kesenian tradisional nyaris punah sejak 2016.
Jurang itu menegaskan betapa besar kesempatan ekonomi, sekaligus betapa rapuh regenerasi warisan bumi pertiwi. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menyebut periode 2030-2045 sebagai golden ticket bagi Indonesia, saat 208 juta jiwa berada di usia produktif. Tapi peluang itu tak akan bermakna jika generasi muda hanya menjadi penonton --sibuk men-scroll TikTok tanpa berkreasi. Justru pada era digital ini, pelaku budaya punya ruang lebih luas untuk tampil dan tumbuh.
Menjadi seniman, penulis, penenun, atau dalang bukan hanya soal melestarikan tradisi, tapi juga membuka peluang ekonomi nyata-dari panggung lokal, festival internasional, hingga platform digital global. Di sinilah pentingnya membangun ekosistem seni yang adaptif dan menjanjikan masa depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, generasi muda disebut tertatih dalam menyambut bonus demografi, dibayangi stigma, pengangguran, kesenjangan keterampilan, menjadi sumber pekerja murah, dan batasan usia kerja yang kian sempit. Alih-alih berkarya dan menggali akar budaya sendiri, pada saat yang sama, urgensi pendanaan seni budaya tereduksi oleh retorika penghematan anggaran, padahal Presiden ke-7 Joko Widodo berkali-kali menegaskan bahwa "DNA bangsa adalah kebudayaan" yang harus dioptimalkan untuk bersaing di panggung dunia.
Di sinilah pentingnya Manajemen Talenta Nasional (MTN) Seni Budaya sebagai kerangka holistik. Bukan hanya mendeteksi dan membina bakat tradisi, tetapi juga memastikan kesejahteraan seniman dan membuka jalan karya lokal ke pasar global.
Kesulitan mencari penerus
Di Cirebon, mayoritas pembatik tulis kini berusia di atas 50 tahun, sedangkan tidak sampai dua dari sepuluh generasi muda berminat meneruskan warisan batik karena upah yang tak sepadan. Di Banten, seni Wayang Garing terancam punah; hanya tersisa satu dalang tanpa murid baru. Para maestro seni tradisi semakin kesulitan mencari penerus, menandakan bahwa tanpa pendampingan dan insentif nyata, kekayaan budaya akan terkubur oleh waktu.
Ironisnya, ekspor industri kreatif pada Triwulan III - 2023 mencapai USD 17,4 miliar --dengan subsektor fesyen dan kriya memimpin-- menunjukkan jurang lebar antara nilai ekonomi budaya dan menurunnya semangat regenerasi akibat stigma finansial, minimnya fasilitas pelatihan, dan ketiadaan peta jalan global bagi bakat lokal. MTN Seni Budaya, yang diampu Kementerian Kebudayaan, harus dibangun seperti piramida: basis kuat di akar rumput, puncak menjulang ke panggung dunia. Kolaborasi quadruple helix (pemerintah, komunitas, industri, akademisi) menjadi kunci.
Deteksi bakat sejak dini lewat kurikulum SD-SMP yang menempatkan praktik menari, membatik, dan menembang sebagai bagian integral pembelajaran memastikan tradisi hidup dalam keseharian anak-anak dengan pendekatan kekinian yang mengundang rasa ingin tahu dan kebanggaan. Talenta terpendam di pelosok dihidupkan kembali oleh tim cultural scouts yang menjangkau desa terpencil, membimbing mereka dari sanggar komunitas hingga residensi di kota-kota budaya seperti Yogyakarta atau Solo.
Kesejahteraan seniman dijamin melalui perluasan BPJS Ketenagakerjaan, insentif pajak bagi industri yang memberdayakan talenta lokal, dan skema royalti yang adil. Begitu juga Dana Indonesiana senilai Rp 2 triliun pada 2024 dan segera diluncurkan pada 2025 sebagai katalis untuk pembiayaan proyek jangka panjang dan kurasi berskala global. Sementara, platform digital Indonesia Artverse berperan ganda sebagai galeri virtual dan marketplace internasional, terhubung dengan Sistem Informasi Manajemen Talenta untuk memetakan ribuan seniman, memantau perkembangan karya, dan membuka peluang kolaborasi lintas disiplin ke pasar dunia.
Peta jalan yang jelas
Indonesia tak kekurangan seniman berbakat. Yang kita butuhkan adalah peta jalan yang jelas: dari deteksi bakat hingga panggung global. Perpres MTN 108/2024 adalah langkah progresif, tetapi keberhasilannya bergantung pada kolaborasi di lapangan. Pertama, MTN Lab harus menjadi jantung inovasi. Bayangkan jaringan laboratorium seni di setiap provinsi, tempat seniman muda belajar dari maestro melalui residensi dan lokakarya intensif.
Kedua, Konsorsium Festival perlu menyatukan ratusan festival budaya dalam satu peta, menghindari tumpang-tindih acara sekaligus memberi ruang bagi karya lokal bersinar. Ketiga, MTN International Hub harus jadi jembatan ke dunia: kirim seniman berbakat untuk residensi atau ajang seni global. Terakhir, MTN Award tak sekadar penghargaan, tapi juga pendanaan lanjutan untuk karya yang berani dan visioner.
Jika sistem ini dijalankan konsisten, yang lahir bukan hanya nama-nama besar, tapi ekosistem di mana para seniman dari lima jenis bidang --musik, film, pertunjukan dan teater, rupa dan kriya, serta bahasa dan sastra-- bisa menjadi duta budaya dunia. Maka, pertanyaannya bukan "mampukah kita?", tapi "seberapa serius komitmen kita?". Sebab, merawat seni budaya bukan sekadar melestarikan masa lalu, tapi menciptakan masa depan.
Mohamad Atqa bekerja di Kementerian Kebudayaan
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini