53 RT tergenang akibat hujan deras di Jakarta. | Foto: dok BPBD
Selasa, 15 Juli 2025
Tak beralas kaki, Nuraini berlari menggandeng anak laki-lakinya yang berusia empat tahun menuju Masjid Jami’ Al-Mujahidin. Perutnya yang tengah hamil sembilan bulan nyaris terendam air.
Rumahnya hanya berjarak seratus meter dari masjid itu, tapi banjir datang lebih cepat dalam hitungan menit, pada Ahad sore, 6 Juli 2025.
“Itu kan belakangnya tanggul yang dindingnya roboh,” ujarnya. “Langsung kayak ombak, air masuk ke rumah,” lanjut perempuan 28 tahun itu kepada detikX.
Sudah tiga hari tiga malam Nuraini tinggal di lantai dua masjid yang terletak di Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Rumahnya belum layak ditinggali, lumpur masih semata kaki, kasur hilang entah ke mana, mesin pompa air tak menyala usai terendam.
“Belum mampu bersih-bersih, paling cuci-cuci baju kalau harus ganti baju,” kata Nuraini.
Dompet hanyut, berkas-berkas lenyap, tak selembar pun identitas tersisa. Ia tak membawa uang, tak sempat membawa baju ganti. Suaminya merantau entah ke mana, tak memberi kabar. Dokter di puskesmas bilang ia sudah bukaan pertama, waktunya tak lama lagi. Tapi hari-harinya tak menunggu persalinan. Anak pertamanya masih kecil, belum bisa ditinggal. Rumah berlumpur. Kepalanya pening.
Harapannya kini hanya satu, semoga ada sepupu yang bersedia meminjamkan sedikit uang pegangan. Untuk makan saja, Nuraini masih bergantung pada dapur umum di RT dan bantuan dari pemerintah.
“Padahal kalau mau ke mana-mana butuh duit,” katanya pelan. Baju-baju bayi yang baru sempat dibeli pun hanyut, lenyap begitu saja bersama air yang datang tiba-tiba, deras seperti tsunami, imbuh Nuraini.
Tanggul yang membentengi RT 3 RW 6, Jati Padang, jebol digerus luapan kali. Sekitar 200 warga menyelamatkan diri ke lantai dua Masjid Jami’ Al-Mujahidin, berbagi ruang sempit dan tidur berhimpitan malam demi malam.
Puluhan warga mulai dari anak-anak hingga lansia terdampak banjir terpaksa mengungsi untuk mencari tempat yang lebih aman di Masjid Jami’ Al-Mujahidin, Jati Padang, Jakarta.
Foto : Adi Ibrahim/CNN Indonesia
Nuraini bukan satu-satunya yang kehilangan semuanya. Di masjid yang sama, Nurhayati – seorang perempuan 45 tahun bersama dua anaknya memutuskan untuk melanjutkan menginap di pengungsian. Sebab ia belum bisa menuntaskan membersihkan seluruh rumah. Lagipula, katanya, kasur-kasurnya telah hanyut, hanya ada karpet yang sudah ditiduri suami dan putranya di rumah.
“Kaget banjir ini, jadi waktu lagi makan dan nyuapin suami, tiba-tiba banjir. Suami langsung digendong ponakan lari ke masjid,” ungkap Nurhayati.
Sudah beberapa tahun terakhir suaminya lemas tak sanggup berjalan akibat diabetes. Ketika air mulai naik, Nurhayati hanya sempat menyelamatkan anak-anaknya. Barang-barang di rumah terpaksa ia relakan.
Banjir besar terakhir yang ia ingat terjadi pada 2021. Tapi kali ini, ia tak menduga air bisa naik sampai setinggi dada orang dewasa, dan bertahan dua hari penuh. Kulkas dan mesin cuci terbalik dan rusak. Kipas angin hilang entah ke mana. Televisi tak bisa lagi dinyalakan. Yang tersisa hanyalah dokumen-dokumen penting seperti akta kelahiran dan Kartu Keluarga, itupun karena memang sudah ia gantung tinggi di dinding.
“Dulu juga rusak, belinya ya utang-utang lagi. Sekarang mau tidur di rumah, kasur pun sudah nggak ada,” ujarnya, pasrah. Kini ia hanya bisa bergantung pada anaknya yang tertua yang bekerja jauh dari rumah.
Adapun Nidah, yang masih gusar memikirkan nasib anaknya. Seragam sekolah yang semula dipersiapkan untuk tes masuk SMK hanyut bersama dokumen penting seperti ijazah, SKL, akta lahir, dan buku nikah.
“Tahun lalu masih sempat nyelametin, soalnya kami di rumah. Kalau kemarin airnya udah langsung deras, kami masih di tempat kerja, anak saya langsung ke masjid, sempat meriang,” ujarnya kepada detikX.
Kini, ia tak punya cukup uang untuk membeli seragam baru, sepatu, buku-buku, dan tas, padahal waktu tes masuk sekolah semakin dekat. Lemari, kulkas, dan mesin cuci di rumah pun turut terbalik, tak ada yang bisa digunakan.
“Baju juga udah hanyut dan kotor semua. Kalau mau ganti harus nyuci dulu, ini aja udah tiga hari belum ganti,” tambahnya. Nidah berharap ada bantuan, setidaknya agar anaknya tetap bisa ikut tes sekolah.
Tembok penahan air di RT 3 RW 6 Jati Padang, Pasar Minggu, Jaksel, jebol.
Foto : Andhika Prasetia
Nidah berharap bantuan bisa datang secepatnya, sebab seluruh harta bendanya kini tak bersisa, dan anaknya mesti terus melanjutkan kegiatan pendidikannya.
Beberapa warga lain yang sempat ditemui detikX mengalami nasib serupa, selain hampir seluruh barang elektronik rusak, mereka terpaksa tidur di tikar. Motor-motor yang tak sempat diselamatkan pun juga tak bisa menyala sama sekali.
Dapur umum masih terus menyala untuk menopang kebutuhan pangan warga karena kompor-kompor warga tak terselamatkan. Kebutuhan air bersih pun bisa sepenuhnya diakses warga karena mesin pompa air yang rusak.
Rumah-rumah di tepi saluran penghubung (PHB) Kali Mampang di Gang Saiman, Jati Padang masih terendam semata kaki, air sungai tampak meluber meski pasukan oranye sudah membersihkan reruntuhan batu bata dan pohon yang menyumbat aliran.
Sepuluh kilometer dari Jati Padang, rumah Ifah yang terletak di pinggir Sungai Ciliwung, Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur terendam banjir nyaris dua meter. Ifah bersama dengan anak-anak, suami, dan ibu mertuanya mengungsi dua malam di SDN Kampung Melayu 02. Di Kelurahan Bidara Cina, sekitar 30 keluarga mengungsi di sana.
Tak sempat membawa baju, ia hanya mengenakan pakaian yang melekat di badan. Barang-barang sempat dinaikkan di lantai atas kayu rumahnya, pengalaman dari banjir-banjir sebelumnya membuatnya sigap memantau informasi dari BPBD.
“Kan kalau banjir gede biasa di awal tahun, ini di pertengahan, kirain nggak sampai sehari, ternyata harus nginep di SD, jadi nggak sempat bawa baju, ini setahun jadi dua kali, biasanya kan cuma sekali di Januari,” ungkap Ifah kepada detikX.
Terlihat suaminya masih sibuk membersihkan lumpur bercampur sampah setinggi lutut di gang-gang sempit samping rumahnya. Kamar mandi rumahnya masih dipenuhi lumpur, barang-barang belum ada yang diturunkan, berjaga-jaga jika ada banjir susulan.
“Di sini antar rumah punya lubang kecil yang tembus ke depan (dataran lebih tinggi), jadi kalau banjir tak perlu naik jauh memutar,” ujar Ifah.
Proses evakuasi warga terdampak banjir di Kebon Pala, Jakarta Timur (Jaktim).
Foto : Dok. Istimewa
Rumah Ifah memang berada paling bawah di antara rumah-rumah bertingkat di Jalan Kebon Pala. Gang sempit akses satu-satunya untuk beraktivitas ke rumahnya kini penuh lumpur, bercampur dengan sampah plastik, paku dan pecahan kaca. Tak jarang, selama air menggenang, biawak dan ular bermunculan.
Jika banjir melanda, kerap kali rumah Ifah terhantam sampah pepohonan yang hanyut di sungai, membuat temboknya berlubang. Ia cemas jika banjir kini mulai datang lebih sering dari tahun-tahun sebelumnya.
Sedangkan Ria (40 tahun) yang rumahnya berada di dataran yang sedikit lebih tinggi sempat menyelamatkan semua barang elektroniknya di lantai dua rumahnya. Akan tetapi, banjir menyebabkan suaminya yang merupakan pencari nafkah satu-satunya mesti absen beberapa hari karena terjebak di dalam rumah.
“Ya susahnya kalau (banjir), nggak ada duit, ya susah makan, kan harus nggojek, kalau nggak bisa ojek ya nggak bisa makan,” ujar Ria.
Hal tersebut diamini pula oleh beberapa perempuan lainnya, banyak di antara suami mereka bekerja semua ojek maupun pedagang keliling. Jika banjir datang berhari-hari, maka tak ada penghasilan yang bisa dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Sejak Sabtu malam, 5 Juli 2025, hujan deras yang mengguyur Jakarta menyebabkan banjir di berbagai wilayah kota, tak hanya di Jakarta Selatan dan Timur, tetapi juga meluas hingga Jakarta Pusat, Barat, dan Utara.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta mencatat sedikitnya 109 RT sempat terdampak banjir, dengan tinggi air di beberapa lokasi mencapai 2,7meter akibat luapan Kali Ciliwung dan Krukut. BPBD Jakarta mencatat masih ada ratusan warga yang mengungsi. Lokasi pengungsian terbanyak berada di Masjid Universitas Borobudur, yang menampung hingga 197 orang.
Jakarta kembali bergerak, lalu lintas kembali padat, lampu-lampu kota kembali menyala. Tapi di pojok-pojok gang, ada malam-malam panjang bagi Nuraini, Nidah, dan Ifah. Mereka masih berjaga, cemas jika banjir belum benar-benar reda.
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Melisa Mailoa
Desainer: Fuad Hasim