"Apakah Bali masih layak disebut surga wisata dunia, ketika kawasan selatannya nyaris tak bisa bernapas akibat tumpukan manusia, kendaraan, dan sampah?"
Dinobatkan sebagai destinasi terbaik dunia kedua setelah London, Inggris versi Traveler's Choice Awards 2025 memberikan isyarat bahwa Bali (masih) patut berbangga. Namun, di sisi lain dengan begitu banyak polemik pariwisata yang terjadi saat ini mengingatkan juga, pantaskah Bali menyandang penghargaan tersebut --di tengah gonjang-ganjing penyataan "overtourism", meskipun secara ilmiah berdasarkan fakta dan data belum bisa dipastikan kebenarannya?
Pasca pandemi Covid-19, pernyataan "lebih baik jalan macet daripada kredit macet" sangat sering terdengar, terutama dari banyak pelaku pariwisata yang menjadikan frasa itu menjadi sebuah joke ringan di tengah ketidakpastian ekonomi yang melanda di Bali.
Dinamika pariwisata yang terjadi, seperti permasalahan sampah plastik sejak 2015, berujung pada tercetusnya Deklarasi Piagam Sakenan pada 2018 dengan poin penting yakni komitmen Pemerintah Daerah Bali dan masyarakatnya dalam mengatasi persoalan sampah. Namun, hingga 2025, tepat di pengujung 2024, saat euforia pergantian tahun, Pantai Kedonganan kembali menyandang sebagai lautan sampah. Tidak hanya itu, permasalahan turis "nakal" yang semakin masif mengganggu program "Pariwisata Berkualitas" turut memberikan andil pada dinamika pariwisata Bali.
Pariwisata Bali perlu penataan khusus. Bukan overtourism yang menjadi bayang-bayang Bali, namun dugaan terjadinya "over concentrate". Bali selatan menopang aktivitas pariwisata lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Secara umum, overtourism mengandung gambaran ketidakseimbangan antara jumlah wisatawan mancanegara (wisman) dan kapasitas suatu destinasi, yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan multidimensi seperti masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi, yang tidak dapat dikelola dengan baik. Apakah kapasitas Bali kurang? Tentu tidak.
Daerah timur seperti Karangasem, Bangli, dan Tabanan masih "muat" untuk menampung sebaran wisman tersebut. Namun, apakah itu terjadi? Terkonsentrasinya wisman di wilayah Bali Selatan, menunjukkan sangat kuatnya branding pariwisata daerah Bali Selatan. Kepastian 4A sebagai konsep dasar pengembangan pariwisata di suatu daerah menjadi sangat kuat di wilayah Bali Selatan. Attraction, Accesibility, Accommodation, dan Amenities menjadi komponen utama dalam pariwisata, karena kenyamanan berwisata menjadi hal yang sangat utama di sini.
Kemudahan akses bandara yang menjadi keunggulan Badung dibandingkan dengan kabupaten/kota lain adalah salah satu pelabuhan udara internasional yang menjadi hub utama akses internasional di wilayah Nusa Tenggara. Keunggulan ini menjadikan pemerintah harus berpikir ekstra untuk menciptakan strategi peningkatan aksesibilitas, yang dapat menghubungkan antara wilayah yang memiliki bandara dan yang tidak.
Mandalika contohnya, pembangunan jalan tol dan pengadaan shuttle dari Lombok cukup memberikan asistensi pada kemudahan akses ke wilayah destinasi. Selain itu, destinasi Labuhan Bajo menyediakan akses kuat berupa kapal pelayaran baik premium maupun reguler untuk menjangkau pulau-pulau kecil di sekitar.
Mengungkap DataApa yang menjadi kecenderungan Bali mengalami over concentrate? Menelusuri insight dari data yang ada memberikan gambaran sedalam apa kondisi over concentrate yang terjadi di Bali. Pertama, dari indikator kedatangan wisman langsung ke Bali; sebanyak 6,3 juta wisman datang langsung ke Bali selama 2024 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), atau 90,70 persen dari penumpang kedatangan luar negeri menuju Bali dapat dikategorikan wisman.
Penggolongan ini dilakukan BPS berdasarkan kriteria International Recommendations Tourism Statistics (IRTS). Penggolongan ini merujuk pada beberapa kategori cakupan wisman seperti tujuan perjalanan tertentu yang dapat dikategorikan wisman seperti leisure & holiday-business & professional-health medical-short education-religi-etc, lama tinggal, jenis akomodasi yang digunakan, jenis transportasi, dan asal negara.
Jika kita melangkah mundur ke 2019 tepat sebelum pandemi Covid-19 terjadi, wisman datang sebanyak 6,28 juta kunjungan, naik hampir 1 persen dari kondisi saat itu. Awalnya revenge travel atau wisata balas dendam menjadi fenomena yang dinantikan. Tidak dapat dipungkiri ketika pandemi terjadi, yang menyelamatkan Bali dari dalamnya kontraksi ekonomi adalah wisatawan nusantara (wisnus).
Pada 2021, ketika hanya 51 wisman yang datang ke Bali berdasarkan catatan BPS, terdapat 9,98 juta perjalanan wisnus dengan tujuan ke Bali. Data ini memanfaatkan dataset berskala besar yang bersumber dari mobile positioning data yakni catatan pergerakan dari daerah asal ke tujuan berdasarkan informasi transaksi lokasi dari pelanggan operator seluler. Pada 2024, jumlah perjalanan wisnus dengan tujuan Bali tercatat sebanyak 22,64 juta perjalanan, naik 25,36 persen dibandingkan dengan 2019. Secara agregat, Bali pada 2024 semakin dipenuhi oleh wisatawan baik mancanegara maupun nusantara.
Kedua, pernyataan dari Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali terkait Bali Selatan tidak mengalami overtourism melainkan over concentrate, ada benarnya juga. Wilayah Bali Selatan yang terdiri dari Kabupaten Badung dan Kota Denpasar yang menjadi pusat pariwisata Bali tampak overcrowded. Dari data jumlah kedatangan wisnus yang dirilis oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah perjalanan wisnus ke Badung pada 2024 mencapai 6,7 juta perjalanan, dibandingkan kabupaten lain seperti Bangli, Karangasem misalnya hanya mencapai satu juta perjalanan. Enam juta perjalanan ini ternyata sudah di luar kebiasaan dari penduduk Kabupaten Badung itu sendiri.
BPS merumuskan konsep definisi dari data perjalanan wisnus ini sebagai jumlah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah di luar dari usual environment seperti rumah dan tempat kerja atau bahasa mudahnya adalah perjalanan yang bukan dianggap rutinitas seperti contoh perjalanan ke kantor yang dilakukan lebih dari empat kali dalam sebulan, berbeda kabupaten/kota, dan perjalanan ini dilaksanakan kurang dari 12 bulan. Kalau kita akumulasikan, pergerakan yang ada di Kabupaten Badung melebihi enam juta perjalanan dalam 1 tahun.
Ketiga, kemacetan menjadi bayang-bayang gelap pariwisata Bali. Berdasarkan data jumlah kendaraan yang bersumber dari Electronic Registration Identification yang dimiliki oleh Polri (diakses pada 25 Februari 2025), jumlah kendaraan yang teregistrasi di Bali menempati urutan ke 7 terbanyak, mengalahkan Daerah Istimewa Yogyakarta yang menempati urutan 12 terbanyak. Total kendaraan yang ada di Bali mencapai 5,31 juta kendaraan dengan 85 persennya merupakan sepeda motor.
Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan 2023 yang hanya tercatat 5,01 juta kendaraan. Bahkan, jumlah kendaraan yang teregistrasi di Bali mengalahkan jumlah kendaraan yang ada di Banten, yang hanya mencatatkan 3,31 juta kendaraan. Beberapa media menyebutkan kondisi Bali pada saat libur panjang sangat dipenuhi oleh kendaraan dari luar daerah. Hal ini turut memberikan andil kemacetan yang terjadi di Bali.
Apabila di-breakdown per kabupaten/kota, sangat tampak nyata dominasi kota Denpasar dan Badung, dari segi kendaraan motor yang teregistrasi di kedua wilayah ini. Denpasar menempati posisi teratas dengan jumlah kendaraan teregistrasi mencapai 1,78 juta selama 2024. Sementara itu, Badung mencatatkan 976 ribu kendaraan. Di luar dari kedua kabupaten/kota ini, catatan kendaraan bermotor hanya 100 hingga 500 ribu kendaraan.
Kemacetan menjadi bayang-bayang gelap; volume kendaraan yang meningkat, ditambah dengan infrastruktur jalan yang kurang memadai, perilaku pengguna jalan yang variatif dan cenderung destruktif seperti mengabaikan rambu lalu lintas, menjadi sebuah akumulasi bom waktu yang menyebabkan Bali menyandang anekdot "Balikarta".
Keempat, terkonsentrasinya akomodasi hanya di Bali Selatan. Dari 593 hotel bintang yang tercatat menurut data BPS pada 2024, 70 persennya berlokasi di Kabupaten Badung. Tidak hanya itu, dari 3.582 hotel non bintang yang ada di Bali berdasarkan catatan BPS, 32 persen berada di Kabupaten Badung. Jelas akomodasi yang menumpuk di satu wilayah juga berarti tumpukan ekonomi yang ikut terkonsentrasi.
Dari hasil Passenger Exit Survey yang dilakukan oleh BPS pada Triwulan III - 2024, rata-rata spending wisatawan mencapai 1.639 US$ per sekali kunjungan, dengan 39,1 persen dari pengeluaran diperuntukkan untuk membayar akomodasi. Ketimpangan ekonomi wilayah sangat terasa di sini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Utomo (2024), dalam kajian ketimpangan wilayah, keberagaman aktivitas ekonomi, dan identifikasi sektor, telah terjadi peningkatan ketimpangan dan keberagaman aktivitas ekonomi. Ketimpangan tersebut dipengaruhi belanja modal dan belanja fungsi pariwisata antara wilayah Bali utara dan Bali bagian selatan. Sektor pariwisata menyumbang tingkat keberagaman aktivitas ekonomi selain sektor pertanian.
Menjaga Harmoni BaliOver concentrate yang bermuara pada overtourism memberikan rambu-rambu bahwa Bali harus berbenah. Apa yang bisa dibenahi, tentu kebijakan konstruktif yang bersinergi antara segala lini baik pemerintah, masyarakat, akademisi, bahkan dari sisi wisatawan itu sendiri. Contoh saja beberapa negara yang telah mengalami overtourism perlahan bangkit. Barcelona (Spanyol) contohnya; negara ini menerapkan pembatasan izin Airbnb dengan tujuan melakukan kontrol akomodasi, kapal pesiar dibatasi, dan melaksanakan kampanye kesadaran wisatawan. Venesia (Italia) menerapkan biaya masuk untuk wisatawan dan membatasi izin Airbnb.
Dan, Bali pun turut menunjukkan arah pembenahan. Pada 24 Maret 2025, Gubernur I Wayan Koster beserta jajarannya merilis Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tatanan Baru Bagi Wisatawan Asing selama berada di Bali. Aturan ini merupakan penyempurnaan dari SE Nomor 4 Tahun 2023, dengan tujuan menyesuaikan aturan dengan dinamika terbaru dalam pariwisata Bali. Sebuah langkah awal yang baik dalam menakhodai pariwisata Bali saat ini.
Harapan besar yang dapat kita amati bahwa pariwisata Bali yang berbasis budaya, berkualitas, dan bermartabat. "Jika Bali ingin tetap menjadi destinasi kelas dunia, maka harmoni tak hanya harus dijaga di antara wisatawan dan budaya lokal, tapi juga di antara seluruh wilayah Bali itu sendiri."
Dwi Yustiani statistisi di Badan Pusat Statistik Provinsi Bali