Jakarta -
Rapat kerja Komite IV DPD RI dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang awalnya terbuka tiba-tiba berlangsung secara tertutup. Akses siaran TV yang ditampilkan di depan ruangan dan YouTube diputus setelah Ketua Komite IV DPD RI Ahmad Nawardi menyampaikan kata pengantar.
"Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, rapat kerja Komite IV DPD RI dengan Menteri Keuangan dalam rangka pembahasan capaian kinerja 2024 dan program kerja Kementerian Keuangan Tahun 2025, serta isu-isu aktual di bidang keuangan dan pengawasan atas pelaksanaan UU Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak kami buka dan dinyatakan terbuka untuk umum," kata Ahmad dalam rapat kerja di DPD RI, Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Awalnya, Ahmad menyampaikan beberapa isu yang disoroti antara lain potensi penerimaan negara yang meleset karena persoalan Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax. Berdasarkan informasi yang didengar, penerimaan pajak di awal tahun baru terkumpul Rp 50 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menurut informasi, Januari 2025 ini DJP hanya bisa mengumpulkan 20 juta faktur dari sebelumnya 60 juta faktur pada tahun sebelumnya sehingga penerimaan pajak yang terkumpul nanti bisa diklarifikasi hanya Rp 50 triliun dari Rp 172 triliun pada tahun sebelumnya," tutur Ahmad.
Permasalahan itu dianggap akan membuat keuangan negara goyang karena kementerian dan lembaga (K/L) disebut tidak punya dana di awal tahun untuk menjalankan program yang telah dicanangkan. Jika penerimaan negara tidak tercapai, terdapat potensi defisit akan melebar.
"Karena dua bulan ini memang seperti tahun-tahun sebelumnya, sumber anggaran negara tentu berasal dari sisa anggaran 2024 yaitu Rp 45,4 triliun. Jika target penerimaan negara tak tercapai dan belanja tidak dikurangi sejak awal, defisit akan semakin melebar," imbuhnya.
Selain itu, Ahmad juga menyinggung kebijakan efisiensi belanja pemerintah yang dianggap terlalu agresif. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, ditargetkan penghematan belanja dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp 306,69 triliun.
"Tentu dampak pemangkasan yang menurut kami sangat agresif ini akan berdampak ke depan, tapi belum kita rasakan untuk saat ini. Semoga tidak berdampak, kami sangat berharap dan kami yakin di tangan bu menteri yang sangat luar biasa ini efisiensi tidak akan berdampak pada stabilitas sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas keamanan, kesejahteraan masyarakat, daya beli masyarakat, konsumsi domestik dan sebagainya," tutur Ahmad.
Terakhir, Ahmad juga menyinggung beban utang pemerintah yang harus ditanggung semakin berat. Sampai 30 November 2024, tercatat jumlahnya mencapai Rp 8.680,13 triliun dan belum termasuk bunga utang yang harus dibayar.
"10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi utang bertambah Rp 6.000 triliun, melonjak 2,24%. Dalam lima tahun ke depan pokok dan bunga surat berharga negara yang jatuh tempo mencapai Rp 3.036 triliun. Tahun ini pemerintah harus membayar Rp 800,33 triliun, jauh lebih tinggi dari kewajiban 2024 sebesar Rp 434,29 triliun. Beban ini belum termasuk bunga utang yang harus dibayar tahun ini sebesar Rp 552 triliun dan naik 10,8% dibanding 2024. Di sisi lain pemerintah harus menarik utang sebesar Rp 775,9 triliun untuk membiayai defisit APBN 2025," beber Ahmad.
Setelah kata pengantar disampaikan seperti di atas, akses siaran yang ditampilkan dari TV di depan ruangan dan YouTube terputus. Berdasarkan sumber di lokasi, rapat jadi tertutup atas permintaan Sri Mulyani.
Simak juga Video 'Sri Mulyani Pastikan Tak Ada PHK Honorer di Kementerian-Lembaga Dampak Efisiensi':
(aid/ara)