Jakarta -
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti tentang ketegangan geopolitik antara Israel dengan Iran. Kondisi tersebut sedikit banyak akan berimbas pada perekonomian dunia, termasuk di Indonesia sendiri.
Sri Mulyani mengatakan, tekanan dari perang antara Israel-Iran langsung terlihat dari harga minyak dunia, yakni minyak mentah Brent, yang naik hampir 9% hingga mencapai US$ 78 per barel.
"Mengenai situasi kondisi global dan nasional, geopolitik yang sayangnya atau unfortunately situasinya tidak membaik dengan terjadinya perang yang sekarang ini sedang berlangsung makin sengit antara Israel dengan Iran," ujar Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Juni, Selasa (17/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini memunculkan suatu kejadian yang langsung mempengaruhi secara signifikan kondisi perekonomian, baik melalui harga komoditas maupun nilai tukar, suku bunga, hingga capital flow. Ini yang akan terus kita hadapi, geopolitik makin meruncing," jelas dia.
Di sisi lain, ketegangan hubungan antara Amerika Serikat (AS) dengan China kini agak sedikit mereda, menyusul inisiatif kedua pihak untuk melakukan negosiasi dagang. Meski demikian, Sri Mulyani mengingatkan, proses tersebut hingga kini belum mencapai pesetujuan sehingga masih penuh ketidakpastian.
Kondisi ini juga ditambah lagi dengan terjalinnya kesepakatan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer terkait pengurangan tarif impor. Inggris satu-satunya negara yang telah berhasil menjalin kesepakatan bersama Trump usai pengumuman tarif resiprokal.
"Ini yang menimbulkan ketidakpastian karena deadline mengenai 90 hari (waktu penundaan penerapan tarif) yaitu pada bulan Juli nanti itu sudah makin dekat," imbuh Sri Mulyani.
Rencana penerapan kebijakan fiskal rancangan undang-undang yang disebut One Big Beautiful Bill juga diproyeksikan akan menambah defisit pada APBN AS dengan sangat signifikan dalam 10 tahun terakhir. Hal ini menyebabkan sentimen terhadap kebijakan fiskal dari negara-negara maju, terutama AS, menjadi relatif negatif dan mempengaruhi persepsi terhadap risiko fiskal.
Kombinasi dari hal-hal di atas akan menimbulkan ketidakpastian komoditas, rantai pasok atau supply chain sehingga menghasilkan dua risiko. Risiko pertama adalah ketidakpastian harga cenderung naik, seperti harga minyak yang naik, namun di sisi lain dari sisi perekonomian global akan cenderung melemah.
"Jadi kombinasi kenaikan harga-harga karena disrupsi geopolitik dan security itu menyebabkan tekanan harga. Berarti inflasi naik namun dikombinasikan dengan ketidakpastian yang menyebabkan ekonomi global normal," terang dia.
"Itu kombinasi yang harus kita waspadai karena tidak baik, kelemahan ekonomi membuat dampak yang buruk, kenaikan inflasi dan kemudian menimbulkan kenaikan yield," sambungnya.
Kedua, hal ini menyebabkan dampak kepada seluruh dunia termasuk Indonesia. Ini akan menggerakkan nilai tukar dan juga suku bunga global.
Atas hal ini, kecenderungan adanya dampak negatif terutama terhadap negara-negara yang dianggap signifikan atau systematically important country seperti Amerika, China, kemudian Eropa, Jepang, Inggris. Kegiatan ekonomi terutama di sektor manufaktur mengalami tekanan.
Kondisi tersebut sudah mulai terlihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur global yang bergerak kontraksi di bawah 50, yakni ke posisi 49,6. Ini berarti secara global kegiatan sektor manufaktur cenderung dalam zona kontraktor dan angka ini adalah angka terendah sejak Desember 2024.
"70,8% negara-negara yang disurvei dari sisi kegiatan manufaktur mereka semuanya mengalami kontraksi. Artinya, indeks PMI-nya untuk manufaktur di bawah 50, termasuk Indonesia dalam hal ini, 47,4," ujar Sri Mulyani.
(shc/kil)