Agus Widjojo: Kita Harus Lanjutkan Agenda Reformasi TNI

15 hours ago 5

Letjen (Purnawirawan) Agus Widjojo, mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) yang mendukung reformasi TNI, mengatakan sejak awal, dalam Undang-Undang TNI, masih ada sederet aturan yang dinilai bermasalah. Aturan-aturan itu justru melanggengkan peran ganda militer di luar tugas pertahanan.

Salah satunya Pasal 7 UU TNI. Pasal itu menyebutkan tentang tugas pokok TNI dan operasi militer selain perang (OMSP). Dalam satu poin disebutkan salah satu OMSP adalah membantu pemerintah daerah. Menurut Agus, poin tersebut bermasalah dan seharusnya tidak perlu dicantumkan karena rawan ditafsirkan secara menyimpang.

"Itu dulu yang dikatakan sebagai perbantuan TNI kepada Polri di bidang keamanan. Mungkin itu yang dimaksud. Kalau itu yang dimaksud, tidak usah dicantumkan. Malah menimbulkan salah tafsir lagi," jelasnya.

Dia juga menyoroti risiko ketentuan tersebut dapat disalahartikan sebagai legitimasi untuk menempatkan anggota aktif TNI dalam jabatan pemerintahan daerah. Selain itu, dengan dalih melakukan operasi militer selain perang, TNI dapat melakukan tugas-tugas pengawasan dan kontrol terhadap kegiatan masyarakat sipil yang sebenarnya bukan wewenangnya.

"Menimbulkan salah tafsir, itu seolah-olah bahwa dia ditempatkan untuk menduduki jabatan di pemerintahan daerah. Pasti ada yang menafsirkan itu," tegas Agus.

Duta Besar Indonesia untuk Filipina itu juga menyoroti keberadaan komando teritorial TNI, seperti kodim dan koramil. Menurutnya, strategi pertahanan yang ideal adalah berbasis ancaman eksternal atau luar negeri, bukan disesuaikan dengan wilayah administrasi pemerintahan sipil.

Apa yang selama ini diterapkan di Indonesia mengasumsikan ancaman itu datang dari dalam negeri. Hal itu tergambarkan dengan adanya perangkat komando teritorial TNI yang menjalar hingga ke tingkat desa.

Lalu apa masalah fundamental lain yang selama ini berkelindan dalam tubuh sistem militer kita? Mengapa terasa sangat sulit menegakkan agenda-agenda reformasi TNI? Simak petikan perbincangan lengkap jurnalis detikX Ahmad Thovan Sugandi dengan Agus Widjojo berikut ini.

Apa pendapat Anda terkait aturan yang diterbitkan pemerintah untuk memperluas wewenang dan tugas TNI?
Ya, itu kesalahan berpikir. Terbalik berpikirnya. Justru jangan diberi dasar hukum untuk mudah mengerahkan prajurit TNI aktif ke dalam wilayah sipil, seperti menggarap persawahan. Karena nanti di TNI akan kehilangan personel yang dibutuhkan untuk mengawaki satuan-satuan untuk berlatih, berperang, untuk menghadapi musuh.

Nanti, kalau itu nggak ada, bisa kalah perang bagaimana? Kita sendiri yang rugi. Prajurit TNI memang dilatih dan dibiayai untuk mencapai keterampilan bertempur. Ini kok malah disuruh ke hal-hal lain yang tidak ada urusan dengan pertahanan.

Bung Tomo mengawali kariernya sebagai wartawan pada usia 17 tahun. Media tempatnya bekerja antara lain harian Soeara Oemoem, harian berbahasa Jawa Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer. Bung Tomo pernah menjabat wakil pemimpin redaksi kantor berita pendudukan Jepang, Domei, dan pemimpin redaksi kantor berita Antara di Surabaya.

Ada isu perluasan wewenang dan tugas TNI ini untuk mengatasi kelebihan jumlah perwira tinggi sehingga banyak yang nonjob?
Menurut saya, itu tidak bisa lepas dari kelemahan manajemen personalia di dalam internal TNI. Struktur organisasi TNI itu bersifat piramida. Itu mutlak, jangan berubah, jangan diubah.

Kita lihat sendiri, beberapa tahun lalu, banyak sekali jabatan itu yang ‘diberi’ (tanpa acuan dan alasan yang jelas). Misalnya jabatan danrem, yang tadinya itu ada jabatan kolonel dijadikan jabatan brigjen. Padahal pekerjaannya itu tidak berubah.

Kita hanya perlu 20 bintang 2 supaya mereka bisa berkompetisi untuk masuk ke bintang 4. Berarti 20 ini saja perwira yang dibentuk oleh akademi guna penggunaan jangka panjang. Adapun yang lain-lain, itu ambil dari sekolah calon perwira, ambil dari bintara-bintara. Agar mereka dididik, dilatih, menjadi perwira.

Artinya, promosi jabatan di dalam TNI itu sering diwarnai oleh adanya penilaian-penilaian yang tidak objektif? Misalnya kedekatan dengan seseorang dengan jabatan tertentu?
Itu sih bukan TNI saja, di luar TNI juga banyak itu di Indonesia. Itu jadi khas Indonesia (tertawa), tapi itu tidak boleh terjadi. Kalau semua memang melaksanakan tugasnya, itu tidak boleh terjadi.

Penilaian kenaikan pangkat sekarang pakai persentase dan segala macam, nggak usahlah. Serahkan saja pada komandannya. Komandan sehari-hari bergaul dengan anggotanya. Dia tahu siapa anggotanya yang terbaik. Komandan ini juga akan dinilai oleh atasannya juga. Jangan sampai main mata. Saya lebih percaya ke situ asalkan semua mengontrol.

Ada isu rencana penambahan kodam, apakah itu tidak bertentangan dengan semangat reformasi TNI yang justru sebetulnya harus mengurangi komando teritorial?
Bertentangan. Sekarang buat apa penambahan kodam? Beri saya argumentasi bahwa kodam itu perlu ditambah. Karena saya lihat mereka mencoba mengaitkan itu dengan pembagian administrasi kewilayahan pemerintahan sipil. Satu provinsi satu kodam. Bukan itu tugas TNI. Itu urusan polisi. Karena polisi itu punyanya kepala daerah.

Kalau tentara tugasnya apa? Tugasnya adalah pertahanan nasional. Pertahanan itu adalah tugas perang untuk menghadapi ancaman militer dari luar negeri. Bukan untuk menghadapi demo. Bukan untuk menghadapi ancaman yang dari dalam negeri.

Artinya, jika mengikuti agenda reformasi TNI, banyak komando teritorial, seperti kodim, koramil, bahkan Babinsa, harusnya tidak perlu ada?

Nggak perlu. Sekarang kita lihat Babinsa, di mana pun itu, apa tugasnya? Dia nggak punya kewenangan, kok. Misalnya Babinsa waktu pemilu ikut ngetok-ngetok pintu rumah penduduk, padahal dia nggak ada kewenangan. Kalau itu digugat di PTUN, kalah kodim-kodim itu.

Sebetulnya apa tugas komando teritorial? Pada waktu perjuangan melawan Belanda, tentara kodam punya fungsi menyelenggarakan operasi militer, gerilya, dan mengendalikan operasi militer. Itu hanya dalam keadaan darurat perang.

Sekarang ini di era demokrasi, semua sumber daya itu milik pemerintah sipil. Untuk di daerah ya pemda dan rakyatnya. Tidak bisa tentara di masa damai menyentuh sumber daya sipil. Apa pun itu, tentara nggak boleh menyentuh rakyat sipil. Kalau ada tentara itu yang menyentuh sipil, laporkan.

Anda berpendapat komando teritorial dihapus seluruhnya atau ada alternatif lain?
Komando teritorial itu bukan dihapus atau dipertahankan, tetapi disisir sesuai dengan doktrin TNI. Oleh karena itu, yang bisa dipertahankan untuk keadaan apa pun, termasuk keadaan damai, adalah paling rendah korem.

Adapun kodim ke bawah bisa dibekukan. Nanti mungkin bisa dihidupkan lagi kalau dalam keadaan perang, tapi kita kan tidak menghendaki keadaan perang. Jadi sebenarnya dia tidak berfungsi.

Dalam doktrin militer modern, apakah militer bisa ditugaskan mengatasi demonstrasi, aksi pemogokan, dan konflik komunal? Sebab, dalam UU TNI, ketiga hal itu masuk dalam salah satu tugas pokok TNI.
Nggak bisa. Sekali lagi, di dalam UUD 1945, tugas TNI satu-satunya adalah untuk pertahanan dan tidak ada selain perang. UUD 45 tidak pernah menyebutkan dwifungsi. Dia baru ada pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982. Di sana disebutkan empat hal terkait tugas ABRI: ABRI hadir sebagai kekuatan pertahanan keamanan, ABRI hadir sebagai kekuatan sosial politik, ABRI hadir dengan integrasi dari Polri, dan satu lagi adalah ABRI pertahanan negara didasarkan kepada Sishankamrata. Itu problematik.

Itu semua penyimpangan dari UUD 45. UUD 45 tidak pernah mengamanatkan empat hal itu. Jadi penyimpangan itu dimulai dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982.

Semenjak Orde Baru runtuh hingga sekarang, agenda reformasi TNI tampaknya tak menuai kemajuan dan justru tampak jalan mundur, mengapa?
Mungkin secara umum kultur kita itu lambat sekali untuk belajar. Lambat sekali untuk berubah. Kita melihat negara lain cepat berubah, menyesuaikan. Kita masih alon-alon asal kelakon.

Dan banyak dari kita masih percaya pada tatanan dan paradigma lama (dwifungsi ABRI). Termasuk untuk TNI, perubahan-perubahan itu belum masuk meresap ke dalam lembaga pendidikan TNI, sehingga asumsinya untuk segala macam pelatihan itu masih menggunakan paradigma lama, dwifungsi.

Sepertinya sulit sekali ya mendorong reformasi TNI dan menanggalkan paradigma dwifungsi?
Ya sulit. Kita masih malu-malu untuk memasukkan materi-materi perubahan itu di dalam kurikulum pendidikan TNI. Bahkan senior-senior saya itu masih percaya pada paradigma dwifungsi. Kalau kita dorong agar meninggalkan paradigma lama, pada manggut-manggut, tetapi materi kurikulum pendidikan masih pakai paradigma lama. Pola itu membuat cara berpikir generasi TNI yang lebih muda tak kunjung berubah

Di internal TNI, masih banyak yang percaya soal pentingnya dwifungsi?
(Mereka) percaya. Jadi mereka punya pengertian TNI itu sebagai motor pembangunan dan satu-satunya institusi yang bisa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pemikiran seperti itu sulit sekali diubah. Mereka percaya banget.

Padahal Panglima TNI, komandan militer itu tidak pernah dipilih oleh rakyat, sehingga mereka tidak bisa membuat keputusan politik. Mereka melaksanakan keputusan politik yang dibuat oleh otoritas politik, yaitu pejabat publik sipil yang mendapat pinjaman kedaulatan rakyat karena memenangkan pemilu secara konstitusional.

Artinya, kunci reformasi militer TNI sebagai prajurit yang profesional, itu tergantung pada political will panglima tertinggi, yaitu Presiden?
Iya, jelas. Tapi bukan itu saja. Saya sering mengatakan, kalau ada ketidakpuasan terhadap TNI, kalau mau maki-maki TNI, tunggu dulu, jangan langsung ke TNI, tanya kepada pemiliknya, yaitu Presiden. Presiden maunya tentara yang gimana sih? Presiden yang merumuskan kebijakan pertahanan dan itu keputusan politik.

Jika di bawah pemerintahan seorang presiden, jalannya reformasi TNI justru mengambil langkah mundur dan ada pertanda pelanggaran undang-undang atau konstitusi serta potensi hidupnya dwifungsi TNI, bagaimana seharusnya Panglima TNI bersikap kepada Presiden? Harus patuh atau boleh membantah?
Di negara mana pun, siapa pun itu harus menunjukkan kesetiaan untuk membela konstitusi. Bukan (setia membabi buta kepada) pemerintah. Presiden menduduki jabatan hasil dari pemilu konstitusional, sebagai perpanjangan dari konstitusi, sehingga semua harus mematuhi presiden. Namun, begitu presiden menyimpang dari konstitusi, kepatuhan dikembalikan pada konstitusi, tetapi bukan tugas tentara untuk memakzulkan presiden. Itu urusan politik.

Kalau kita punya kesempatan melakukan revisi Undang-Undang TNI secara menyeluruh, apa poin-poin yang harus dimasukkan atau dihilangkan dari Undang-Undang TNI hari ini?
Pertama adalah evaluasi, melihat kesalahan-kesalahan yang ada dalam Undang-Undang TNI saat ini. Misalnya, yang terkait manajemen personel, untuk mendukung terjaganya struktur piramida organisasi. Lalu jangan semua masalah itu dimasukkan ke ranjang sekuritisasi, misalnya terkait pangan.

Sipil itu sumber dayanya jauh lebih besar daripada militer. Adapun militer itu tugasnya sangat spesifik, pertahanan. Kalau sipil, itu kan luas sekali. Masalah siber, itu juga bisa dikembangkan sipil. Silicon Valley di Amerika, misalnya, isinya orang-orang sipil pintar semua itu. Nggak nyampek otak-otak tentara itu (mengurusi urusan sipil seperti itu).

Lalu melanjutkan agenda-agenda reformasi yang belum selesai. Perampingan komando teritorial dan penempatan TNI di bawah Menhan. Kita harus belajar tata kelola pemerintahan demokratis. Sebab, tidak ada lembaga operasional itu ditempatkan langsung di bawah presiden.

Artinya, untuk lembaga-lembaga operasional, itu harus di bawah kementerian. Kalaupun ada lembaga-lembaga yang langsung di bawah presiden, itu adalah lembaga-lembaga yang memang diadakan untuk membantu presiden membuat keputusan. Misalnya Wantimpres, Dewan Ekonomi Nasional, atau Dewan Keamanan Nasional.

Apa pendapat Anda jika ada TNI aktif berbisnis?
Kalau bisnis, jangan deh. Karena itu akan menimbulkan konflik kepentingan. Jangan sampai menimbulkan duo loyalitas. Bisnisnya sama siapa sih? Yang kasih bisnis siapa? Pak X misalnya. Jadi prajurit ini mau tidak mau, sadar tidak sadar, ada sebagian dari hatinya yang terebut untuk membangun kesetiaan terhadap Pak X. Dan, yang utama, ada ketentuan tentara hanya boleh didukung oleh anggaran negara.

Selama ini selalu ada perdebatan saat seorang anggota militer melakukan tindak pidana, dia akan diadili di peradilan umum atau peradilan militer?
Saya percaya, secara umum, kalau anggota militer itu melaksanakan pelanggaran pidana, dia harus lepas seragam militernya. Lalu diproses dalam peradilan umum. Peradilan militer adalah untuk mengadili kriminal kejahatan-kejahatan militer. Misalnya desersi, membantah perintah, dan segala macam itu.

Tapi saya tidak berani mengatakan bagaimana konsepnya secara persis. Adakan studi. Kita ini sangat enggan untuk belajar dari pengalaman orang lain. Kita itu arogan tapi bodoh. Kalau bodoh tapi mau belajar, nggak apa-apa.

Saat ini sejumlah fasilitas kodim disebut digunakan untuk program Makan Bergizi Gratis, apa pendapat Anda terkait ini?
Ya, jangan. Karena kita belum dalam keadaan perang, kita belum dalam keadaan darurat. Kalau itu dalam keadaan perang, dibuka dapur umum, mungkin, TNI membuka dapur umum. Kalau nggak perang, ini sepenuhnya wilayah sipil.

Prajurit aktif juga tampak dikerahkan untuk membuka lahan dan menggarap lahan pertanian, apa pendapat Anda?
Jangan melibatkan prajurit. Secara fungsinya, ini adalah tugas dan wilayah pemerintahan sipil. Sudah ada contoh di masa lalu pembukaan sawah yang melibatkan TNI juga ada yang gagal. Karena memang tidak ada di dalam pelatihan prajurit TNI itu untuk membuka sawah.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial