75 Tahun RI-China, Terjalin Erat-Berakar Kuat

7 hours ago 3

Jakarta -

Presiden Prabowo memilih Tiongkok sebagai destinasi kunjungan kenegaraan perdana. Prabowo bertemu Presiden Republik Rakyat China Xi Jinping di Great Hall of the People, Beijing, pada 9 November 2024.

Hal ini sepertinya mengindikasi betapa China atau Tiongkok merupakan mitra penting, Dalam pertemuan itu Indonesia antara lain berkomitmen meningkatkan hubungan bilateral dengan Tiongkok demi menciptakan kesejahteraan dan stabilitas di kawasan Asia. Prabowo yakin bahwa hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok akan melahirkan stabilitas politik dan ekonomi di Asia.

Komitmen semacam itu telah ditunjukkan pendahulunya, Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selama 10 tahun memimpin Indonesia, Jokowi tercatat 8 kali berkunjung ke China dan 12 kali bertemu Xi Jinping. Hal ini menggambarkan betapa eratnya relasi kedua pemimpin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Visi Jokowi soal Poros Maritim Global bertemu dengan kebijakan Xi Jinping untuk membangun kerja sama bilateral, regional, dan global lewat Belt and Road Initiative (BRI). Sejak itu, kerja sama strategis Indonesia-Cina terjalin kian kuat, termasuk dalam proyek-proyek besar seperti kereta cepat, infrastruktur, dan energi terbarukan.

Prabowo melangkah lebih progresif dengan bergabung ke dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China, South Africa) pada 6 Januari 2025. Langkah ini bagian dari upaya untuk mengimbangi dominasi politik Barat baik di tingkat regional maupun global.

Dibandingkan dengan negara-negara sahabat lainnya, relasi Indonesia dengan Cina yang paling istimewa. Secara politik formal relasi kedua negara ini baru terjalin selama 75 tahun dengan segala dinamikanya. Namun secara sosial-budaya, kedua bangsa ini telah menjalin relasi kuat sejak berabad silam.

Secara sosiologis, tulis Budy Sugandi dalam pengantar buku ini, orang-orang Tionghoa Indonesia telah lama melebur menjadi warga pribumi, paling tidak di era Sunan Ampel, sehingga makin asing dengan budaya asal mereka. Hubungan diplomatik Indonesia-Tionghoa yang sekarang sudah mendekati satu abad ini makin perlu ditingkatkan, apalagi Tiongkok kini muncul menjadi kekuatan ekonomi baru dunia.

Budy tak cuma menulis pengantar dan menjadi editor buku ini. Doktor dari Southwest University Tiongkok dan Wakil Sekjen PP GP Ansor itu juga menyajikan tulisan khusus bertajuk, 'Pramoedya Ananta Toer: Sastra, Politik, dan Pembelaan terhadap Warga Tionghoa'. Total buku setebal 421 halaman ini menampilkan 17 penulis, termasuk Budy. Mereka menulis seputar relasi Indonesia-China dari berbagai sudut pandang sesuai latar pendidikan masing-masing.

Tak heran bila pembahasan dalam buku ini terasa komprehensif dari A-Z. Ada yang mengulas isu mulai dari politik ekonomi hingga kebudayaan; dari era Soekarno hingga Prabowo; dari KAA Bandung hingga BRICS, Koleksi Pers Melayu-Tionghoa higgga China Space Masjid Isitiqlal, dan isu anti-imperialisme hingga Perang Tarif Trump.

Terlepas dari itu, saya pribadi merasa tetap ada yang kurang. Sebab buku ini hanya sekelebatan saja menyinggung Megawati. Padahal saat menjadi Presiden dia pernah menuai perhatian publik ketika melakukan 'Diplomasi Dansa'.

Enam menit saja, tapi sangat boleh jadi itulah enam menit yang menentukan. Selama waktu yang singkat itu, Presiden Megawati berdansa (menari lenso) dengan Presiden RRC Jiang Zemin. Mega tersenyum, Zemin terlihat rileks. Demikian Majalah Tempo edisi 7 April 2002 mereportasekan salah satu momen pertemuan Mega dan Zemin pada 24 Maret 2002.

Diplomasi dansa itu membawa optimisme dari sebuah misi dagang: kontrak penjualan gas LNG dari kilang Tangguh senilai US$10 miliar ke Provinsi Guangdong, Cina. Maklum penjualan gas itu telah ditawarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid bersama Menteri Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudhoyono tapi nihil.

Lantas, apakah diplomasi dansa ala Mega itu berhasil? Sejatinya tidak juga. Cina memilih Australia unuk memasok gas ke Guangdong. Agar Indonesia tak kecewa, gas Tangguh disarankan untuk dikirim ke Fujian dengan harga pengiriman ke Guangdong. Belakangan muncul kritik tajam, antara lain dari Jusuf Kalla saat menjadi wakil presiden. Pada Agustus 2008 ia meminta agar kontrak jual beli tersebut ditinjau ulang.

Mungkin karena itu, kiprah Megawati dalam diplomasi RI - Cina cuma disinggung sekelebatan saja dalam buku bertajuk "Mengarungi Jejak Merajut Asa, 75 Tahun Indonesia - Tiongkok". Persisnya muncul lewat tulisan Ahamd Nurholis, dosen Hubungan Internasional di Universitas Sriwijaya. Judulnya, "The China Model, BRICS, dan Era Keemasan".

Setelah tak menjadi presiden, Megawati sebetulnya tetap melakukan diplomasi dengan para petinggi Cina. Dia memainkannya lewat partai sebagai ketua umum PDIP. Pada 22 Juni 2006, misalnya, dia berkunjung ke Beijing untuk membahas kebijakan One China Policy. Megawati meyakinkan bahwa Indonesia tetap mempertahankan kebijakan tersebut.

Hal ini terkait isu diizinkannya pesawat Presiden Taiwan mendarat di Batam yang membuat Beijing tak nyaman. Pada 2015, Megawati kembali berkunjung ke Cina. Kali itu ia mengunjungi Provinsi Shenzhen untuk meresmikan gedung Pusat Kerja Sama Indonesia-Cina . Pemerintah Cina menamakan gedung tersebut 'Gedung Soekarno'.

Tak cuma PDIP. Belakangan diketahui para elit sejumlah parpol di tanah air juga menjalin kerja sama dengan Partai Komunis China (PKC), yakni Golkar, Gerindra, Demokrat, Nasdem, PPP, dan PKS. Mungkin karena lebih banyak dilakukan secara lebih senyap, public tak terlalu ngeh dengan kondisi atau fakta tersebut. Isu anticina sempat menguat terutama selama kampanya pemilihan presiden 2014 dan 2019.

Hal lain yang menurut saya pribadi patut disayangkan, pencantuman nama Menteri Luar Negeri Sugiono di halaman sampul depan seperti memberi harapan kosong. Sebab sang Menlu tak menjadikan pengantar di buku ini dengan leluasa. Padahal idealnya untuk membangun kredibilitas pribadinya sebagai seorang Menlu, paling tidak dia dapat menuangkan garis besar pikirannya atau menerjemahkan visi-misi Presiden Prabowo terkait relasi RI dengan China akan seperti apa dalam lima tahun ke depan.

Namun yang terjadi, Menlu Sugiono cuma menulis pengantar sepanjang satu halaman yang terdiri dari enam alinea. Seolah belasan pakar yang menulis artikel dengan banyak referensi di dalamnya tak terlalu berarti baginya. Sayang sekali.

Selain dengan China, relasi Indonesia dengan Rusia juga memasuki tiga perempat abad. Hubungan kedua negara pun kian mesra meski dengan Rusia masih banyak sekali yang perlu terus dikembangkan satu sama lain. Semoga...

Sudrajat. Wartawan detikcom.

(jat/rdp)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial