Jakarta -
Di ruang yang mestinya penuh harapan dan denyut kehidupan baru, justru terabadikan jejak kekerasan. Di bawah sorot monitor USG, bukan detak jantung janin yang menggemakan berita, tapi sorotan tangan yang menyimpang dari sumpah. Sebuah video dari Garut, Jawa Barat, memperlihatkan seorang dokter kandungan meraba bagian tubuh pasien perempuan. Bukan dalam rangka penyembuhan, melainkan dalam rangka hasrat yang terluapkan. Video itu menyebar cepat, mengaduk perut publik, menghancurkan satu nilai paling mahal dalam relasi antara pasien dan dokter: kepercayaan.
Kita tentu tahu: bukan profesinya yang salah. Tapi ketika satu oknum menyimpang, maka gema kesalahannya mengguncang seluruh institusi. Tentu tidak adil jika kita menghakimi semua dokter, namun lebih tidak adil lagi jika kita tidak mengakui bahwa tindakan satu orang bisa meruntuhkan rasa aman seluruh pasien.
Teori Aktivitas Rutin
Ruang praktik medis adalah ruang sunyi. Di sana, seorang pasien menanggalkan bajunya, sekaligus menanggalkan benteng pertahanan dirinya. Ia percaya bahwa jas putih yang berdiri di hadapannya adalah lambang integritas, bukan selimut nafsu. Namun kasus ini, dan beberapa kasus lain seperti yang terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, menunjukkan bahwa kekuasaan bisa bersembunyi di balik sapaan ramah dan stetoskop.
Mari sejenak kita menyingkap makna kekuasaan yang begitu halus dalam dunia medis. Seorang dokter, dalam praktiknya, memiliki otoritas nyaris absolut. Ia memegang tubuh orang lain. Ia menentukan mana yang sehat, mana yang sakit. Ia menyentuh, menyuntik, memeriksa, dengan mandat ilmu dan sumpah. Tapi kekuasaan yang tidak diawasi adalah ladang subur bagi penyimpangan.
Lawrence Cohen dan Marcus Felson, dalam teori aktivitas rutin (Routine Activity Theory), menyebut bahwa kejahatan terjadi jika tiga unsur bertemu: pelaku yang termotivasi, korban yang rentan, dan tidak adanya pengawasan. Ketiganya hadir dalam ruang praktik medis.
Seorang pasien adalah korban ideal: datang dengan harapan, pasrah dalam posisi fisik yang lemah, dan seringkali sendiri. Jika pengawasan tak memadai, jika tak ada CCTV, jika pintu tak transparan, jika tidak ada sistem pelaporan yang aman, maka kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan terbuka lebar.
Keberuntungan atau Sistem yang Rapuh
Rekaman video yang tersebar dari Garut bukanlah keberuntungan, melainkan pertanda betapa rapuhnya sistem kita. Apakah semua ruang praktik sudah dilengkapi pengawasan? Apakah semua rumah sakit punya mekanisme pelaporan yang aman? Atau kita masih mengandalkan doa agar pasien kita tidak bertemu dengan predator berbalut "jas putih"?
Tentu kita tidak hendak menuduh seluruh pengampu profesi. Tapi kita juga tidak boleh menutup mata. Kepercayaan adalah sesuatu yang dibangun bertahun-tahun, dan bisa runtuh dalam sekali rabaan. Sistem perlindungan pasien harus lebih kuat dari sekadar sumpah profesi. Harus ada pelatihan etika berkelanjutan, asesmen perilaku, mekanisme pengaduan yang benar-benar melindungi, serta ruang-ruang praktik yang transparan dan tidak tertutup bagi penyimpangan.
Dan satu hal yang paling penting: jangan biarkan kasus-kasus seperti ini ditenggelamkan dalam framing 'oknum semata'. Sebab selama sistem tidak berubah, oknum akan terus lahir dari rahim kelemahan yang sama.
Profesi dokter terlalu mulia untuk dirusak oleh pembiaran. Jika benar kita masih ingin percaya, maka tanggung jawab untuk memperbaiki ada pada kita semua. Sebab tubuh manusia bukan sekadar objek perawatan, ia adalah wilayah suci. Dan siapa pun yang menyentuhnya tanpa hormat, telah mencemari lebih dari sekadar kode etik, ia mencemari nilai kemanusiaan itu sendiri.
Moch. Fauzan Zarkasi, S.H, M.H pemerhati kriminal, alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini