Profil Ideal Dosen Vokasi

6 hours ago 6

Jakarta -

Menurut undang-undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012, pendidikan vokasi adalah pendidikan tinggi penyelenggara program diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk dapat bekerja dengan keahlian tertentu. Pendidikan tinggi vokasi menyelenggarakan pendidikan Diploma 1 (D1) hingga sarjana terapan (D4), magister dan doktor terapan. Diharapkan alumni pendidikan tinggi vokasi memiliki keterampilan sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Lebih rinci dijelaskan, pendidikan vokasi bertujuan mempersiapkan mahasiswa memasuki lapangan kerja dengan keterampilan yang spesifik dan sikap profesional; dapat mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; serta memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. Selain itu, alumni pendidikan tinggi vokasi juga diharapkan memiliki jiwa wirausaha dengan daya inovasi yang kuat, berfikir kritis, agile dan pembelajar sepanjang hayat.

Selain itu, pendidikan vokasi dituntut juga untuk menghasilkan inovasi terapan yang siap dimanfaatkan oleh dunia industri, dunia usaha dan masyarakat. Dengan demikian, maka dosen vokasi diharuskan menguasai keterampilan tertentu berbasis keilmuan yang luas dan mendalam, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lalu, bagaimana profile dosen vokasi ideal yang diharapkan dapat melaksanakan dua tuntutan di atas? Hal ini akan saya coba urai pada tulisan singkat ini.

Mindset Vokasional

Tulisan ini dibatasi pada pendidikan vokasi yang lahir, tumbuh, berkembang dan membesar di lingkungan pendidikan tinggi akademik, seperti Sekolah Vokasi IPB, UGM, dan Fakultas Vokasi UB atau pendidikan diploma yang berada di berbagai universitas. Pendidikan vokasi semacam ini dilahirkan dan dibesarkan oleh para akademisi sejati. Mereka memiliki literasi yang tinggi, pandai membaca literatur dan menulis publikasi, serta handal dalam riset dan mengajar.

Karena lahir dari rahim pendidikan tinggi akademik, maka pendidikan vokasi di lingkungan pendidikan tinggi akademik memiliki rasa akademik yang kuat. Hal ini bisa dilihat dalam sistematika penulisan laporan praktek kerja lapang (PKL) dan tugas akhir mirip sekali dengan sistematika skripsi. Terdiri atas pendahuluan, studi pustka, metodologi, serta hasil, pembahasan dan kesimpulan. Metodologi meliputi waktu, tempat, kebutuhan alat, bahan, data dan analisis data.

Lalu, apakah hal tersebut salah? Ini bukan salah atau benar. Namun, relevankan pendekatan tersebut bagi pendidikan vokasi. Saya berpandangan hal tersebut kurang relevan karena akan mengurangi tujuan capaian pembelajaran. Sebab itu, hemat saya perlu ada perubahan mindset dosen pendidikan vokasi, dari mindset akademisi murni ke dosen vokasional yang lebih berperan sebagai fasilitator, mentor, coach, dan inspirator. Bukan hanya pengajar. Namun demikian, tetap mereka perlu memiliki landasan akademik yang baik. Mindset inilah yang perlu dimiliki dosen vokasi.

Berbagi Pengalaman

Kebanyakan dosen vokasi masih berperan sebagai pengajar. Mereka membaca buku, jurnal atau bacaan lain lalu dijadikan bahan ajar dalam kelas. Padahal, ilmu dari sumber-sumber tersebut adalah ilmu masa lalu yang saat ini mudah diakses dalam ragam platform digital. Atau cukup ditanya pada AI.

Lalu, apa yang tidak tersedia pada platform digital dan AI adalah pengalaman dalam berkarya. Karena hal itu merupakan tacit knowledge yang melekat pada pengalaman seseorang. Oleh karena itu, dosen vokasi harus banyak memiliki pengalaman yang dapat dibagikan. Pengalaman bukan didapat dari bacaan. Tapi dari melakukan dan merasakan.

Dengan demikian, bukan hanya praktisi mengajar di kampus. Namun dosen vokasi harus memiliki pengalaman menjadi praktisi. Pengalaman menjadi praktisi inilah yang perlu dilakukan agar dosen punya bekal untuk bercerita. Maka, hemat penulis, dosen juga wajib magang di industri. Bukan hanya mahasiswa.

Nah, dengan mindset seperti ini, maka ketika ia memberikan arahan pada mahasiswa yang akan magang, ia akan mendorong mahasiswa untuk melakukan sesuatu (doing some thing) agar ia punya pengalaman mengerjakan dan merasakan. Bukan sekedar mengarahkan menjadi pengamat (observer). Laporan magang mahasiswa bukan menuliskan data hasil pengamatan melainkan cerita pengalaman. Sehingga kegiatan magang dengan bobot sekitar 20 SKS atau setara dengan 7 mata kuliah memiliki learning outcome yang terukur dengan kompetensi yang didapat dari pengalaman melakukan dan merasakan. Pedoman PKL, magang dan tugas akhir pun mesti disesuaikan.

Memberi Ruang untuk Mengalami

Biasanya dosen akademisi itu ketika masuk kelas langsung buka laptop yang sudah siap dengan slide dalam bentuk power point (PPT). Terkadang, PPT tersebut bersifat tayang ulang. Yang materinya hampir sama dari tahun ke tahun. Materi itulah yang disampaikan kepada mahasiswa. Dengan cara seperti ini, mahasiswa dipastikan akan mendapatkan pengetahuan masa lalu yang belum tentu sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan terkini.

Tentu saja cara itu tidak sepenuhnya salah. Namun, perlu disempurnakan dengan cara memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengkonfirmasi atau memvalidasi pengetahuan tersebut dengan pengetahuan berbasis pengalaman yang mereka lihat, lakukan dan rasakan. Sebagai contoh, ketika belajar tentang hama dan penyakit cabai, mereka perlu melihat dulu hama dan penyakit itu termasuk memahami dampaknya.

Bahkan, mereka perlu ikut merasakan bagaimana dampak hama dan penyakit cabai tersebut terhadap penderitaan petani. Sehingga mereka punya bekal untuk bercerita dalam kelas. Kemudian membahasnya bersama dosen dan mahasiswa lainnya. Di sinilah dosen baru menjelaskan teori sesuai dengan pengalaman yang didapat mahasiswa. Jangan-jangan, dari pengalaman tersebut dosen pun mendapatkan pengetahuan baru.

Inovasi Terapan

Karakteristik profil dosen vokasi lainnya adalah kemampuan melakukan riset untuk menghasilkan inovasi tepat guna sesuai kebutuhan masyarakat. Agar riset menghasilkan inovasi yang dapat menjawab persoalan, maka dosen vokasi harus memiliki pengetahuan tentang persoalan apa yang sedang dihadapi masyarakat. Pengetahuan tersebut mesti berbasis pengalaman sehingga inovasi yang dihasilkan dapat menjawab persoalan sesuai dengan realita yang dialami.

Itulah sebabnya, dosen vokasi harus bergaul dengan banyak kalangan. Agar dapat menangkap realita. Juga harus banyak mencoba supaya kaya dengan pengalaman sehingga dapat menghasilkan inovasi sesuai kebutuhan. Hasil penelitian dosen vokasi mesti berdampak dan bermanfaat sebagaimana diharapkan oleh Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi.

Dosen sebagai Suri Teladan

Dalam undang-undang pendidikan nasional, pendidikan tinggi dan undang-undang dasar 1945, jelas disebutkan bahwa tujuan pendidikan yang pertama adalah menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Peserta didik adalah termasuk mahasiswa. Pertanyaannya, siapa yang mendidik dan bagaimana caranya agar mahasiswa menjadi manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia sesuai dengan amanah undang-undang. Lalu, bagaimana pula mengukur capaian pembelajarannya dan apa indikatornya.

Pertama, pengertian beriman dan bertakwa perlu dipahami dalam konteks ketaatan sehingga dapat berlaku bagi semua agama dan keyakinan. Tanpa tendensi pada agama tertentu. Namun, mengukur keimanan dan ketakwaan relatif sulit karena tidak terlihat. Yang nampak adalah ritualnya. Bisa jadi keimanan dan ketakwaan diukur dari ketaatannya menjalankan ritual keagamaan.

Namun, dalam pandangan saya menjalankan ritual keagamaan bukan tujuan. Melainkan hanya sebagai instrumen untuk mewujudkan pribadi berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan tujuan diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasulullah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Bukan untuk menjadikan umatnya ahli ibadah. Pahala perlu dipahami sebagai insentif agar manusia mau melaksanakan ritual peribadatan sebagai latihan untuk mencapai akhlak mulia.

Maka, keberhasilan pendidikan agama mesti diukur dengan pencapaian indikator atau parameter akhlak mulia. Untuk itulah saya punya gagasan agar lembaga pendidikan vokasi perlu mengembangkan pendidikan agama terapan dengan tujuan agar mahasiswa memiliki akhlak mulia. Karena akhlak mulia ini sangat penting sebagai pondasi paling dasar agar manusia memiliki nilai kemanfaatan. Ketiadaannya menjadikan manusia tidak bernilai meski memiliki kecerdasan, ilmu, dan keterampilan.
Lalu siapa yang mesti mejadi dosen yang mengajarkan akhlak mulia ini? Secara forml tentu dosen pendidikan agama. Namun, karena dosen sejatinya adalah guru, dan guru adalah suri teladan, maka setiap dosen pendidikan vokasi wajib mengajarkan akhlak mulia dengan keteladanan.

Itulah profil ideal dosen vokasi. Yang ideal ini wajib dicapai jika pendidikan vokasi ingin dipercaya sebagai tempat menyiapkan sumberdaya manusia (SDM) unggul. Yaitu, manusia berilmu, terampil, kritis, agile, adaptif, kreatif dan berakhlak mulia. Dan, SDM unggul itu hanya akan lahir dari sentuhan pendidikan oleh dosen yang unggul pula.

Aceng Hidayat, Dekan Sekolah Vokasi IPB

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial