Pembuktian 4.0 dan Pembaruan KUHAP

1 week ago 11

Jakarta -

Pergaulan dan perilaku manusia sejatinya turut dipengaruhi oleh perkembangan industri. Ketika industri masih pada era 1.0, 2.0, dan 3.0 (era lama), manusia lebih banyak berinteraksi secara langsung (kontak fisik) dengan manusia lainnya. Interaksi tersebut mengisyaratkan keberadaan suatu lokasi/tempat di belahan bumi ini untuk bersua. Dan, di tempat tersebut (ataupun sekitarnya), dimungkinkan juga terdapat manusia-manusia lain yang bertebaran dalam rangka interaksi langsung.

Itu artinya, terdapat kecenderungan bagi manusia-manusia pada era lama untuk "bertemu" atau "terlibat" secara langsung dengan berbagai peristiwa di suatu tempat, termasuk peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Perjumpaan secara langsung antara manusia dengan berbagai peristiwa tersebut menjadikannya sebagai titik episentrum pembuktian. Fakta-fakta disusun utamanya dari apa yang dialami, dilihat, didengar ataupun diketahui oleh manusia-manusia yang berjumpa secara langsung dengan peristiwa.

Oleh sebab itu, keterangan manusia (baca: saksi) dijadikan parameter utama dalam pembuktian. Jadi, selain membuktikan peristiwa yang sesungguhnya terjadi, keterangan saksi juga berfungsi untuk mengidentifikasi pelakunya. Paradigma tersebut selanjutnya menjadi landasan untuk menyusun ketentuan Acara Pidana baik sejak periode Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) maupun periode UU Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dari paradigma tersebut juga lahir beberapa instrumen wewenang yang berfungsi untuk mencari dan memperoleh saksi, seperti memanggil saksi dan melakukan tindakan pertama di tempat kejadian (Pasal 7 ayat 1 KUHAP).

Pembuktian Era 4.0

Pergeseran industri dari era lama ke era 4.0 turut menggeser pola interaksi manusia. Handphone, laptop, aplikasi, website, dan sebagainya (yang mengandung elektron), lebih banyak berhubungan intim dengan manusia. Artinya, pola interaksi antarmanusia pun tidak lagi seperti pada era lama, dan cenderung diperantarai "tempat" yang disediakan oleh internet (ruang siber). Kondisi tersebut memicu turunnya intensitas persamuhan secara langsung antara manusia dengan berbagai peristiwa.

Hal ini tentu saja turut mereduksi apa yang dialami, dilihat, didengar ataupun diketahui secara langsung oleh saksi-saksi tentang jangkapnya sebuah peristiwa. Sebagai contoh, terkait pembuktian tindak pidana penipuan. Pada era lama, keterangan saksi memegang peranan penting. Hal ini disebabkan pelaku pernah bertemu secara langsung dengan korban di suatu tempat. Kemudian di tempat tersebut terdapat saksi-saksi yang melihat, mendengar, ataupun mengetahui pertemuan antara korban dengan pelaku. Sehingga saksi-saksi dapat menerangkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi, dan mengidentifikasi pelaku maupun korbannya.

Lain halnya dengan pembuktian tindak pidana penipuan pada era 4.0. Keterangan saksi mulai tidak dapat diandalkan. Hal ini dikarenakan pelaku tidak pernah bertemu secara langsung dengan korban di suatu tempat. Mereka hanya terkoneksi melalui telepon atau aplikasi seperti Whatsapp, Instagram, atau Facebook. Keadaan ini menyebabkan saksi-saksi tidak dapat melihat, mendengar, ataupun mengetahui interaksi nyata antara pelaku dengan korban secara seksama.

Dan, yang paling gelap, tidak mudah bagi saksi-saksi untuk mengidentifikasi siapa pelakunya. Saksi hanya sekedar mampu mengidentifikasi nomor selular, rekening, ataupun akun media sosialnya saja, bukan "siapa" manusia yang menggunakannya. Kenyataan ini seharusnya menyadarkan kepada kita semua bahwa titik episentrum pembuktian harus bergeser. Yang tadinya bertumpu pada keterangan saksi, sekarang harus bertumpu pada benda/data elektronik. Ini yang seyogianya menjadi landasan utama dalam pembaharuan Hukum Acara Pidana.

Dari paradigma tersebut, perlu ditata kembali alat-alat bukti yang relevan dengan pembuktian era 4.0. Misalnya menjadikan alat bukti elektronik sebagai alat bukti pokok dalam pembuktian tindak pidana secara umum. Kemudian paradigma 4.0 ini juga dapat dijadikan dasar untuk menciptakan instrumen wewenang baru yang berfungsi mencari, menyentuh, ataupun memperoleh jejak-jejak elektronik. Misalnya wewenang untuk membuka data-data yang tersimpan di sejumlah industri 4.0 seperti penyedia jasa internet, penyedia jasa telekomunikasi, penyedia jasa keuangan, penyedia jasa aplikasi, penyedia jasa perdagangan, yang hari-hari ini menjadi sahabat karib manusia.


Instrumen Wewenang 4.0 vs Data Pribadi

Paradigma pembuktian 4.0 secara otomatis akan turut mempengaruhi cara pandang terhadap data pribadi. Apabila pada era lama data pribadi dipandang sebagai bukti pelengkap, pada era 4.0 data pribadi dipandang sebagai bukti primer. Ini tidak lepas dari "posisi strategis" data pribadi dalam arus informasi dan transaksi elektronik. Sehingga segala ketentuan terkait data pribadi pun harus selaras dengan metode pembuktian tersebut.

Sebagai contoh, persyaratan untuk membuka data nasabah bank. Secara prinsip data nasabah bank dapat dibuka atau diberikan untuk kepentingan peradilan pidana, tetapi nasabah tersebut harus berstatus sebagai tersangka atau berkaitan dengan tersangka (Pasal 42 ayat 1 UU Perbankan jo Pasal 14 angka 41 UU P2SK). Padahal, "siapa" pelakunya belum dapat diidentifikasi. Lalu "siapa" yang akan dilabeli status tersangka jika pelakunya saja belum dapat diidentifikasi?

Berkaca dari KUHAP, instrumen wewenang untuk membuka data pribadi sebenarnya mirip dengan wewenang pemeriksaan surat (Pasal 47 KUHAP). Wewenang tersebut memberikan kekuasaan untuk membuka dan memeriksa surat-surat pribadi yang dikirimkan melalui kantor pos, perusahaan komunikasi, dan pengangkutan. Yang memberikan izin untuk mengaktifkan wewenang tersebut cukup Ketua Pengadilan Negeri, dan tidak perlu izin dari otoritas lain.

Apabila wewenang tersebut diadaptasikan dalam pembaharuan acara pidana dengan paradigma 4.0, maka yang memberikan izin untuk membuka data nasabah bank cukup Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dan tidak perlu izin dari otoritas lain.

Berdasarkan uraian di atas, paradigma pembuktian 4.0 disinyalir dapat mengimbangi kejahatan pada era 4.0. Ini artinya, upaya perlindungan terhadap korban pun menjadi lebih terjamin. Karena ketika pelaku dapat terungkap dan diadili, opsi restitusi pun semakin terbuka lebar. Sebaliknya dengan paradigma pembuktian klasik, korban pada akhirnya hanya "sekadar" bisa melapor, karena pelaku sulit diungkap.

Jadi, pembaharuan KUHAP mestinya bukan tambal sulam KUHAP lama, namun lebih dari itu. Yakni mampu menghadirkan konsep baru yang dapat menjawab segala persoalan yang ada dipelupuk mata.

Rendi Yudha Syahputra praktisi dan pemerhati hukum

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial