Jakarta -
Publik geram ketika Kejaksaan Agung merilis potensi kerugian negara dari kasus korupsi Pertamina mencapai Rp 193,7 triliun. Di media sosial, beradar meme klasemen liga korupsi di Indonesia, yang menempatkan korupsi Pertamina di papan kedua setelah PT Timah. Kejakgung menyebut, potensi kerugian itu berdasarkan taksiran tahun 2023. Jika pola korupsi berlangsung selama 2018-2023, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 968,5 triliun, hampir 1 kuadriliun. Publik marah karena membayangkan uang sebanyak itu masuk ke kantong pribadi para pejabat Pertamina dan mitra usahanya. Mereka menikmati duit haram itu dengan cara merugikan konsumen yang membeli BBM dengan kualitas 'oplos.'
Korupsi harus ditindak, semua orang menghormati proses hukum di Kejaksaan Agung. Tetapi, publik berhak tahu basis perhitungan kerugian negara dan menaksir taksiran nilai kerugian oleh para penyidik. Betulkah nilainya sefantastis itu? Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengklaim kerugian itu berasal dari lima sumber, yaitu ekspor minyak mentah (Rp 35 triliun), impor minyak mentah melalui broker (Rp 2,7 triliun), impor BBM melalui broker (Rp 9 triliun), kompensasi BBM (Rp126 triliun), dan subsidi BBM (Rp 21 triliun). Mari kita periksa satu-satu.
Pertama, kerugian akibat ekspor minyak mentah. Ekspor adalah kegiatan yang sudah lama terjadi. Dalam catatan statistik kolonial, ekspor minyak Hindia Belanda telah dilakukan sejak 1906. Jumlahnya 3,4 juta barel. Ekspor dilakukan dari sisa lebih produksi yang tidak dikonsumsi. Nilai ekspor tertinggi terjadi pada 1978 sebesar 509,9 juta barel. Angkanya terus menurun, terlebih ketika Indonesia resmi beralih status menjadi nett oil importer. Pada 2023, ekspor minyak mentah tinggal 21,2 juta barel atau 58 ribu barel per hari. Nilainya mencapai US$ 1,75 miliar. Yang jadi masalah: Indonesia nett oil importer, kenapa masih mengekspor minyak produksi dalam negeri? Jawaban yang paling masuk akal adalah ekspor dilakukan oleh KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama). Sesuai kontrak, mereka hanya wajib pasok kebutuhan dalam negeri (DMO) sebesar 25 persen dari produksi, dengan harga diskon. Sisanya adalah proses komersial. KKKS bisa saja melepas produksinya ke domestik dengan harga sesuai mekanisme pasar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah, melalui Permen ESDM No. 42 Tahun 2018, memerintahkan Pertamina mencari pasokan minyak domestik sebelum merencanakan impor. KKKS, di sisi lain, diminta untuk menawarkan minyak bagian produksi mereka ke Pertamina, paling lambat tiga bulan sebelum pengajuan ekspor. Dalam penyidikan, Kejakgung menemukan indikasi Pertamina enggan menyerap minyak bagian KKKS untuk melanggengkan impor yang bermasalah. Ini berpotensi merugikan negara sebesar Rp 35 triliun. Angka itu diperolah dari selisih harga ekspor dengan harga pembelian dalam negeri dikalikan volume ekspor plus biaya kemahalan. Dari mana asal-usul taksiran itu? Berdasarkan data BPS, ekspor minyak mentah tahun 2023 adalah 21,2 juta barel. Dengan rata-rata harga minyak US$82,64 per barel dan nilai tukar Rp15.416/US$, nilai ekspor mencapai Rp 27 triliun. Jika kerugian negara dihitung dari selisih harga perolehan Pertamina berdasarkan harga minyak dunia dan ICP, selisihnya hanya Rp 1,36 triliun. Ini diperoleh dari volume minyak (21,2 juta barel) x rata-rata harga ICP US$78,43 per barel x Rp15.416. Ekspor yang dilakukan KKKS tidak bisa dianggap kerugian negara, karena itu jatah mereka. Di poin ini, estimasi kerugian negara sebesar Rp 35 triliun terlihat overestimate. Jika ekspor minyak mentah dianggap sebagai kerugian negara, klaim kerugian itu bahkan lebih besar dari total nilai ekspor 2023. Ini tidak masuk akal.
Kedua, kerugian akibat impor minyak mentah melalui broker. Impor dilakukan karena produksi dalam negeri tidak cukup. Sebagaimana ekspor, impor adalah kegiatan yang sudah lama terjadi. Dalam catatan statistik kolonial, impor minyak mentah dilakukan Hindia Belanda sejak 1880. Jumlahnya 375 ribu barel. Angkanya terus naik, seiring kenaikan konsumsi. Pada 2023, impor minyak mentah mencapai 133 juta barel. Nilainya mencapai US$11,1 miliar atau setara dengan Rp 171,8 triliun. Hampir semua impor minyak mentah dilakukan Pertamina, karena hanya Pertamina yang punya kilang untuk mengolahnya. Di poin ini, Kejakgung menyebut potensi kerugiannya sebesar Rp 2,7 triliun. Ini bersumber dari selisih harga impor dengan harga pembelian Pertamina kali produksi dalam negeri yang tidak dibeli. Klaim ini terlihat seperti duplikasi kerugian poin pertama. Jika basis kerugian dihitung dari brokerage fee sebesar US$2 per barel, potensi kerugian negara adalah Rp 4,1 triliun. Ini diperoleh dari perkalian kutipan makelar per barel kali volume impor. Ini masih masuk akal.
Ketiga, kerugian akibat impor BBM melalui broker. Menurut BPS, impor produk kilang pada 2023 mencapai 204,2 juta barel, dengan nilai sebesar US$21 miliar atau setara dengan Rp323,9 triliun. Kejakgung menyebut potensi kerugiannya sebesar Rp 9 triliun. Ini berasal dari selisih harga impor dengan harga produksi dalam negeri kali volume produksi. Seperti poin kedua, potensi kerugian dihitung dari brokerage fee sebesar US$2 per barel kali volume. Rente yang diperoleh broker adalah Rp 6,3 triliun. Angka ini masih masuk akal dengan rentang brokerage fee sebesar US$2-4 per barel.
Keempat, kerugian akibat penyimpangan dana kompensasi BBM sebesar Rp 126 triliun. Klaim kerugian ini besar sekali, sekaligus paling tidak jelas dasar perhitungannya. Kompensasi diberikan kepada BBM khusus penugasan, yaitu Pertalite. Diberikan sejak 2020, kompensasi diberikan atas selisih kurang harga penetapan Pemerintah dengan harga jual Pertamina. Pada 2023, kompensasi BBM mencapai Rp 83 triliun. Dengan realisasi penyaluran 30 juta kl, Pertamina mendapat kompensasi sebesar Rp 2.768 per liter dari setiap Pertalite yang tersalur. Dari mana klaim kerugian Rp126 triliun itu? Angka ini kemungkinan berasal dari anggaran kompensasi energi 2023, mencakup kompensasi BBM dan listrik. Masalahnya, kompensasi listrik tidak termasuk kasus yang sedang disidik Kejakgung. Kompensasi dinikmati oleh semua pengguna. Jika itu disebut korupsi, dana itu dinikmati oleh semua konsumen. Penerima manfaat kompensasi memang belum tepat sasaran. Banyak dari pembeli Pertalite adalah golongan masyarakat yang tidak berhak. Kejakgung menduga Pertamina 'mengoplos' Ron 90 dan 92 dan menjualnya dengan harga 92. Jika itu yang terjadi, selisih harga produk di luar mutu yang dijual Pertamina tidak termasuk kompensasi, karena RON 92 adalah jenis BBM umum. Dia bukan kerugian negara, tetapi kerugian konsumen. Di poin ini, klaim atas potensi kerugian negara tidak sesuai dengan data konsumsi dan kompensasi yang sudah diaudit BPK.
Kelima, kerugian akibat penyimpangan subsidi sebesar Rp 21 triliun. Angka ini kemungkinan diperoleh dari realisasi subsidi BBM tahun 2023 sebesar Rp 20,9 triliun. Subsidi BBM mencakup minyak tanah dan solar. Subsidi BBM, terutama solar, memang tidak tepat sasaran. Penerima manfaatnya bukan golongan sebagaimana dimaksud oleh Perpres No. 191 Tahun 2014. Petani dan nelayan kecil justru kesulitan mengakses solar subsidi. Dalam RDP di DPR (28/3/2022), petinggi Pertamina mengaku solar subsidi bocor ke industri besar seperti tambang dan sawit. Jika ini disebut korupsi, yang menikmati duitnya adalah para penyelundup, pengoplos, dan para pengusaha nakal. Selagi subsidi diberikan secara terbuka, penyimpangan akan selalu terjadi. Tetapi, ini ranah kebijakan Pemerintah, bukan Pertamina. Selain itu, penyaluran subsidi BBM bukan kasus yang sidang disidik Kejakgung.
Setelah kita urai satu-satu, dasar klaim kerugian Kejakgung kurang kuat. Angkanya cenderung bombastis, yang menyulut kemarahan publik. Klaim kerugian negara dari ekspor sulit dimengerti. Klaim kerugian negara dari angka kompensasi dan subsidi BBM tidak bisa berbasis data makro. Kejakgung perlu membuktikan, berapa kerugian aktual negara dari dana kompensasi akibat praktik impor yang bermasalah dan apa hubungannya dengan tuduhan oplos BBM itu. Yang paling masuk akal adalah klaim kerugian dari importase minyak mentah dan BBM. Semua orang tahu, bisnis pengadaan minyak melibatkan jaringan pemburu rente yang menggurita. Dari setiap barel yang diimpor, ada fee makelar yang membuat biaya pengadaan kemahalan. Masalahnya, Indonesia masih harus impor karena produksi minyak dan kapasitas kilang dalam negeri tidak cukup. Publik mendukung proses hukum untuk memberantas mafia minyak. Tetapi, aparat penegak hukum perlu bertindak cantik: bagaimana menangkap ikan tanpa membuat airnya keruh.
M. Kholid Syeirazi, Direktur Eksekutif Center for Energy Policy
(ega/ega)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu