Jakarta -
Kemarin kembali muncul kabar anak-anak keracunan makanan di salah satu sekolah yang menjadi penerima manfaat program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kejadian tersebut langsung memicu keresahan dan tudingan terhadap dapur penyedia makanan, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), seolah-olah SPPG menjadi satu-satunya sumber masalah.
Padahal, sekolah-sekolah lain yang dilayani oleh SPPG yang sama tidak mengalami keluhan serupa. Ini seharusnya menjadi isyarat bahwa penyebab insiden tersebut mungkin lebih kompleks dari sekadar kesalahan di dapur.
Badan Gizi Nasional (BGN) sejatinya telah menerapkan standar yang sangat ketat dalam pengelolaan dapur MBG. Keputusan Kepala BGN Nomor 17.1 Tahun 2024 menjadi dasar pelaksanaan operasional dapur yang higienis dan aman. Ada pelaksanaan verifikasi SPPG untuk bisa melayani MBG.
Dalam dokumen tersebut, setiap dapur SPPG wajib dirancang dengan alur kerja yang mencegah kontaminasi silang. Penempatan ruang mulai dari penyortiran bahan, ruang masak, hingga ruang pengemasan diatur secara rinci untuk memastikan setiap proses berjalan dalam lingkungan yang terkendali.
Peralatan yang digunakan dapur SPPG juga wajib berbahan food grade. Sementara lokasi dapur harus jauh dari kawasan banjir, tempat pembuangan sampah, dan peternakan hewan. Bahkan, kendaraan distribusi makanan pun diwajibkan tertutup, bersih, dan disanitasi sebelum dan sesudah digunakan.
Fasilitas seperti APAR, insect killer, dan sistem pembuangan limbah juga merupakan kelengkapan wajib dalam dapur SPPG.
Dengan sistem seketat ini, wajar jika kita bertanya: Bagaimana mungkin masih terjadi kasus keracunan makanan? Di sinilah pentingnya pemahaman yang lebih luas tentang rantai distribusi makanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fakta bahwa hanya satu dari sepuluh atau lima belas sekolah yang mengalami masalah, padahal semuanya dilayani oleh dapur SPPG yang sama, menunjukkan adanya kemungkinan besar bahwa kontaminasi terjadi di luar dapur.
Makanan yang diproduksi secara aman di dapur bisa saja mengalami kontaminasi setelah keluar dari sana. Dalam beberapa kasus, makanan mungkin tiba di sekolah setelah menempuh perjalanan panjang dan berada terlalu lama dalam suhu ruang, terutama jika sekolah tersebut berada di titik akhir rute distribusi.
Selain itu, ada kemungkinan bahwa sekolah tidak langsung menyajikan makanan, atau menyimpannya di tempat yang tidak higienis. Lebih jauh lagi, proses pembagian makanan oleh petugas sekolah yang tidak mencuci tangan atau menggunakan alat makan yang kotor juga bisa memicu kontaminasi. Bahkan, bisa jadi makanan MBG yang sejatinya aman dikonsumsi bercampur dengan jajanan luar yang tidak sehat.
Tuduhan sepihak terhadap BGN dan dapur SPPG, tanpa kajian menyeluruh, justru bisa merusak kepercayaan publik terhadap program yang sangat dibutuhkan oleh jutaan anak Indonesia ini.
Keracunan makanan adalah insiden serius yang patut diselidiki secara tuntas. Namun, tuduhan harus didasarkan pada bukti, bukan pada asumsi.
BGN telah menyediakan sistem pengawasan, verifikasi, dan standar operasional yang komprehensif. Hal yang dibutuhkan sekarang adalah keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan, termasuk pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk menjaga keamanan makanan sepanjang rantai distribusi hingga sampai ke tangan anak-anak.
Program Makan Bergizi Gratis adalah terobosan besar dalam perjuangan memberantas kelaparan dan malnutrisi. Program ini menyasar langsung kepada anak Indonesia untuk menjadi sumber daya manusia Indonesia berkualitas. Ia adalah harapan besar bagi masa depan Indonesia.
Jangan kita goyahkan pondasinya dengan prasangka, tetapi mari kita jaga dengan pengetahuan, kerja sama, dan komitmen bersama. Isu lainnya adalah target yang belum 100% tepat sasaran, maka mari kita benahi, sehingga program ini menyasar target yang tepat dengan dana yang efisien.
Ahmad Syafiq. Guru Besar Departemen Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini