Cemas Usai Anggaran LPSK Dipangkas

1 day ago 5

Ponsel genggam Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Susilaningtias mendadak ramai usai Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Inpres ini merupakan perintah untuk memangkas anggaran sejumlah kementerian dan lembaga, termasuk LPSK yang anggarannya dipangkas dari Rp 229 miliar menjadi hanya Rp 85 miliar.

“Banyak saksi dan korban yang khawatir, perlindungan terhadap mereka dihentikan, termasuk korban bom Bali dan Kanjuruhan” ungkap sumber tersebut kepada detikX di LPSK pekan lalu.

Chusnul, korban bom Bali 2002, salah satu yang turut mengirim pesan kepada Susi. Dalam pesan singkat itu, Chusnul mempertanyakan bagaimana nasib bantuan biaya pengobatan luka-lukanya setelah adanya pemangkasan anggaran di LPSK.

“Terus Bu Susi jawab, ‘Kayanya kurang aman Bu Chusnul’,” jelas Chusnul saat dihubungi detikX pada Jumat, 8 Januari 2025.

Jawaban pesan itu membuat Chusnul lemas seketika. Dia meminta agar disuntik mati saja kalau memang biaya pengobatannya tidak lagi ditanggung negara.

“Itu memang sudah niat dari saya. Bukan cari sensasi. Saya putus asa,” kata Chusnul.

Chusnul mengalami 70 persen luka bakar akibat bom Bali 2002. Sampai sekarang, luka-lukanya belum sembuh total. Di telapak kaki kiri dan payudaranya masih terpendam serpihan-serpihan logam kecil yang membuatnya selalu merasakan sakit saat berjalan atau hanya sekadar merebahkan tubuh.

Sejak 2017, LPSK menanggung biaya pengobatan Chusnul. Namun, pemangkasan anggaran di LPSK membuatnya cemas akan kehilangan bantuan biaya pengobatan itu. Chusnul bingung mencari uang ke mana untuk membayar pengobatannya jika benar kemungkinan terburuk itulah yang akan terjadi. Penghasilan Chusnul sebagai pedagang sayur keliling jelas tidak cukup untuk membiayai pengobatannya. Apalagi, saat ini, Chusnul adalah seorang ibu tunggal. Suaminya, ditembak mati Badan Narkotika Nasional pada 2017 lantaran dituding sebagai pengedar narkoba.

Dua tahun terakhir ini, Chusnul juga harus menanggung biaya pengobatan anaknya yang menderita Von Willebrand (VWF) disease. Sebuah kelainan pada gen VWF yang menyebabkan darah sulit membeku. Ongkos pengobatannya tidak main-main. Minimal Rp 14,2 juta sekali kemoterapi.

“Untuk pengobatan anak saya saja saya sudah pontang-panting. Apalagi harus membiayai pengobatan untuk saya sendiri?” kata Chusnul.

Kecemasan Chusnul bukan tanpa alasan. Dia trauma atas perlakuan negara terhadapnya selama beberapa tahun setelah peristiwa bom Bali. Dulu, negara sama sekali tidak hadir membantunya menjalani proses pemulihan. Chusnul bahkan harus berutang kepada rentenir hingga Rp 133 juta untuk biaya pengobatan. Suaminya pun terpaksa menjual barang-barang haram demi bisa mengobati luka-luka Chusnul.

Saking cemasnya, Chusnul bahkan sampai nekat menjual menawarkan ginjalnya melalui laman Facebook pribadinya. Semua itu dilakukan Chusnul demi bisa melanjutkan biaya pengobatan lukanya sendiri dan penyakit anaknya.

“Sampai ada yang peringati saya, nanti ditangkap polisi loh. Aduh aku nggak peduli, ini organ tubuhku sendiri kok,” ungkapnya.

Tidak hanya Chusnul, kekhawatiran yang sama juga dirasakan puluhan penyintas peristiwa kudeta militer dan pembantaian massal 1965. Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YKKP) Bedjo Untung mengatakan para penyintas peristiwa ‘65 bahkan sampai mengirim petisi kepada pemerintah untuk tidak memotong anggaran LPSK. Pasalnya, kata Bedjo, selama ini banyak penyintas 1965 yang hidupnya sangat bergantung bantuan LPSK.

Ada kekhawatiran kalau-kalau bantuan psikososial, medis, hingga finansial kepada para penyintas ini akan terputus. Sebab, sebelum dipotong saja, kata Bedjo, bantuan psikososial kepada para penyintas ini sudah sangat minim.

“Apalagi setelah ada pemotongan. Dari laporan teman-teman yang di daerah itu banyak juga yang dilakukan penghentian bantuan begitu,” ujar Untung melalui telepon.

Wakil Ketua LPSK Susilaningtias mengaku juga sudah mendengar kekhawatiran dari banyak saksi dan korban terkait pemangkasan anggaran di lembaganya. Namun, Susi mengatakan saat ini semua kekhawatiran itu sudah bisa teratasi.

“Karena kan sudah ada relaksasi dari yang tadinya Rp 85 miliar jadi Rp 107 miliar. Anggaran ini akan kami maksimalkan untuk perlindungan saksi dan korban,” ungkap Susi kepada detikX pekan lalu.

Ketua LPSK Achmadi juga mengatakan hal senada. Achmadi memastikan perlindungan terhadap saksi dan korban tidak akan dihentikan. Saat ini, kata Achmadi, LPSK tengah berupaya menjalin komunikasi dengan sejumlah lembaga terkait, termasuk pemerintah daerah, Badan Penyelenggara Kesehatan, dan Kementerian Sosial untuk membagi beban biaya perlindungan terhadap saksi dan korban tindak pidana.

Nantinya, perlindungan yang ditanggung LPSK bisa dipindahkan ke lembaga-lembaga di daerah yang tugas dan fungsinya sedikit bersinggungan dengan LPSK, misalnya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Selain itu, LPSK juga berupaya melakukan penghematan operasional kantor dan menyederhanakan proses permohonan perlindungan guna memastikan perlindungan terhadap saksi dan korban yang saat ini masih menjadi terlindung di LPSK tetap berjalan maksimal.

“Kalau anggarannya kurang ya minta. Toh, dalam beberapa tahun terakhir ini, kalau LPSK kekurangan anggaran, betul-betul kekurangan anggaran untuk perlindungan saksi dan korban, dipenuhi tuh,” ungkap Achmadi saat ditemui di kantornya pada Jumat, 8 Maret lalu.

Meski sudah ada relaksasi dan upaya penghematan dari LPSK, upaya perlindungan terhadap saksi dan korban diyakini bakal tetap kurang maksimal. Apalagi setiap tahun, jumlah terlindung di LPSK juga terus bertambah. Pada 2022, total terlindung di LPSK hanya 6.145. Angkanya kemudian meningkat pada 2023 mencapai 8.162.

Tahun ini, angka terlindung di LPSK berpotensi bertambah hingga 10 ribu lebih. Anggaran Rp 107 miliar diyakini tidak akan cukup memberikan perlindungan maksimal kepada saksi dan korban. Sebab, untuk 8.162 terlindung pada 2023 saja, anggaran yang dibutuhkan LPSK sudah sekitar Rp 296 miliar.

Plt Kepala Divisi Hukum KontraS Muhammad Yahya Ihyaroza mengatakan situasi yang demikian itu terang menunjukkan karakter pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang sebenarnya. Prabowo dituding sebagai presiden yang tidak peduli terhadap pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini, khususnya perlindungan terhadap korban pelanggaran HAM maupun tindak pidana.

“Karena sedari awal kami melihat Presiden ataupun juga Prabowo itu tidak pernah menyinggung perihal penegakan hak asasi manusia dalam pidato-pidatonya,” tegas Yahya saat dihubungi reporter detikX pekan lalu.

Juru Bicara Kantor Komunikasi Presiden Ujang Komarudin belum memberikan tanggapan soal tudingan Yahya tersebut. Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad sekaligus Ketua Harian Partai Gerindra hanya menjawab singkat ketika dimintai tanggapan terkait tudingan tersebut.

“Lah setahu saya itu anggaran LPSK, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan anggarannya ditamahin, kok,” kata Dasco melalui pesan singkat.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial