Jakarta -
Warga Afrika Selatan meluapkan kemarahan pada Kamis (22/5) atas klaim palsu Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait adanya genosida terhadap petani kulit putih. Klaim itu kembali disuarakan Trump dalam pertemuan dengan Presiden Cyril Ramaphosa, yang digelar sehari sebelumnya di Washington D.C.
Kunjungan Ramaphosa ke AS sedianya mengemban tujuan memperbaiki hubungan bilateral yang memburuk sejak Trump menjabat pada Januari. Sejak saat itu, Trump mengancam memberlakukan tarif perdagangan tinggi serta mengusir duta besar Afrika Selatan dari Washington.
"Saya kecewa," ujar Nicole Mbhele, seorang mahasiswa, kepada AFP. "Trump membuat seolah-olah kami ingin membunuh orang kulit putih atau petani kulit putih demi merebut kembali tanah kami," tambahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebuah video yang ditayangkan dalam pertemuan tersebut menampilkan pemimpin partai oposisi radikal yang menyanyikan lagu perjuangan anti-apartheid yang menyebut soal "membunuh" petani kulit putih. Dalam pertemuan itu pula, Donald Trump mengulang tuduhan tak berdasar bahwa pemerintah Afrika Selatan tengah menyita tanah milik minoritas kulit putih keturunan Belanda, yang menguasai lebih dari tiga perempat lahan pertanian komersial.
"Donald Trump tidak tahu fakta sebenarnya yang terjadi di Afrika Selatan," kata Naledi Morwalle, seorang pegawai toko berusia 25 tahun. "Dia menyebarkan tuduhan palsu tentang negara kami," lanjutnya.
Ketenangan Ramaphosa
Pertemuan antara Trump dan Ramaphosa disiarkan langsung di televisi dan disaksikan oleh warga Afrika Selatan. Banyak dari mereka merasa bangga terhadap delegasi negaranya, yang diperkuat oleh empat menteri kabinet dan dua pegolf papan atas.
Sebagian warga menilai Ramaphosa seharusnya lebih tegas dalam membantah klaim "genosida kulit putih" yang tak berdasar . Namun, sebagian lainnya mengapresiasi sikap tenang presiden yang menekankan bahwa korban utama dari tingginya angka kriminalitas di Afrika Selatan justru adalah warga kulit hitam.
"Saya pikir negara kita telah melakukan yang terbaik dan menyampaikan fakta yang sebenarnya," kata aktivis Ulrich Steenkamp. "Respon dunia ya tergantung mereka," imbuhnya.
Pengamat dari Wits School of Governance, Thelela Ngcetane-Vika, meyakini Ramaphosa terguncang, ketika disambut di Oval Office dengan deretan salib putih yang diklaim Trump sebagai makam para petani kulit putih yang dibunuh.
"Pada awal pertemuan, Presiden Ramaphosa tampil sigap, tenang, dan diplomatis layaknya seorang negarawan. Tapi ketika video itu diputar, terlihat jelas perubahan bahasa tubuhnya. Dia mulai gelisah," ujarnya kepada AFP. Ngcetane-Vika juga menyayangkan Ramaphosa yang tidak memaparkan data untuk membantah disinformasi tersebut.
Sementara itu, Arthur Williams, seorang ayah Afrikaans, menyatakan bahwa keberhasilan pertemuan itu baru bisa dilihat dari hasil konkret dalam kerja sama dagang antara kedua negara.
"Saya sungguh berharap kita bisa mencapai kesepakatan ekonomi yang saling menguntungkan," katanya.
Disinformasi genosida
Faktanya, video yang ditayangkan oleh Trump berasal dari laporan Reuters dari Republik Demokratik Kongo pada 3 Februari- yang kemudian diverifikasi oleh tim pemeriksa fakta kantor berita tersebut. Ia memperlihatkan para pekerja kemanusiaan sedang mengangkat kantong jenazah di kota Goma. Rekaman tersebut diambil pasca bentrokan berdarah dengan kelompok pemberontak M23 yang didukung Rwanda.
Unggahan blog yang diperlihatkan Trump kepada Ramaphosa dalam pertemuan di Gedung Putih berasal dari American Thinker, sebuah majalah daring konservatif asal Amerika Serikat, yang membahas ketegangan rasial dan konflik di Afrika Selatan serta Kongo.
Dalam unggahan blog itu, gambar tidak dilengkapi keterangan yang memadai, hanya disebut sebagai "cuplikan layar dari YouTube" dan disertai tautan ke laporan berita video tentang Kongo di platform tersebut, yang merujuk sumber asli dari Reuters.
Pihak Gedung Putih menolak memberikan komentar atas permintaan klarifikasi dari media. Sementara itu, Andrea Widburg, pemimpin redaksi American Thinker sekaligus penulis blog yang dimaksud, merespons pertanyaan dari Reuters dengan menyatakan bahwa Trump "telah salah mengidentifikasi gambar tersebut."
Kesalahan tersebut menambah daftar panjang misinformasi yang kerap dikaitkan dengan narasi genosida terhadap warga kulit putih di Afrika Selatan. Klaim ini telah dibantah berulang kali oleh berbagai lembaga internasional dan organisasi hak asasi manusia.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Yuniman Farid
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini