Jakarta, CNN Indonesia --
Rasa perih di ulu hati, mual, hingga sensasi terbakar di dada kerap dianggap sepele. Banyak orang mengira keluhan tersebut sekadar maag atau asam lambung akibat telat makan.
Padahal, di balik gejala yang tampak ringan itu, bisa saja tersembunyi penyakit serius seperti kanker lambung.
Dokter spesialis bedah onkologi di Eka Tjipto Widjaja Cancer Center (ETWCC), Eka Hospital Group, Sonar Soni Panigoro, mengatakan kanker lambung memang dikenal memiliki gejala yang mirip dengan gangguan pencernaan umum, sehingga kerap luput terdeteksi sejak dini. Salah kaprah semacam ini pun masih sering terjadi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masalahnya, kanker lambung itu gejalanya memang mirip sakit maag atau GERD. Jadi orang merasa, 'Ah, ini paling maag biasa,' lalu menunda ke dokter," ujar Sonar dalam keterangannya saat hadir dalam acara ETWCC bertema Pendekatan Terpadu dalam Onkologi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurut Sonar, skrining kanker, terutama yang tidak memiliki gejala khas di awal seperti kanker lambung memang harus dilakukan sedini mungkin. Konsep skrining kanker sejatinya dilakukan saat seseorang belum memiliki gejala.
Namun, pada praktiknya hal ini tidak selalu mudah diterapkan, terutama untuk kanker yang letaknya di dalam tubuh seperti lambung.
"Kalau sudah ada sedikit saja gejala, sebaiknya langsung periksa ke dokter spesialis gastro. Nanti bisa dilakukan endoskopi untuk melihat apakah ada kelainan di lambung," jelasnya.
Ia menegaskan, keluhan pencernaan yang tidak membaik setelah sekitar satu bulan juga patut dicurigai. Apalagi jika disertai gejala tambahan seperti nyeri yang semakin berat, muntah berulang, berat badan turun tanpa sebab jelas, atau terdapat darah pada tinja.
"Gampangnya begini, apa pun gejalanya, kalau satu bulan tidak sembuh, langsung cek. Jangan ditunda," kata Sonar.
Gejala mirip, penyakit bisa berbeda
Kanker lambung memang termasuk jenis kanker yang sulit dikenali sejak awal karena gejalanya tidak khas. Banyak penderita baru memeriksakan diri ketika kondisi sudah memburuk.
"Makanya kanker lambung ini agak sulit. Orang Indonesia banyak yang punya sakit maag, jadi gejalanya sering dianggap sama," ujar Sonar.
Jika pengobatan awal untuk maag tidak memberikan perbaikan, dokter biasanya akan merekomendasikan pemeriksaan lanjutan, seperti endoskopi, untuk memastikan penyebab keluhan.
Fakta di lapangan menunjukkan tantangan besar dalam penanganan kanker, tak hanya kanker lambung di Indonesia masih berkutat pada keterlambatan diagnosis. Sonar menyebut, sekitar 60-70 persen pasien kanker datang ke rumah sakit sudah dalam stadium lanjut.
"Dari dulu sampai sekarang kondisinya masih sama. Sebagian besar pasien datang sudah stadium lanjut," ungkapnya.
Padahal, semakin tinggi stadium kanker, pilihan terapi semakin terbatas dan peluang kesembuhan pun menurun drastis. Saat ini, ETWCC juga tengah mengembangkan layanan genomic profiling. Teknologi ini memungkinkan deteksi potensi kanker melalui pemeriksaan darah, bahkan sebelum gejala muncul.
"Cukup lewat sampel darah, kita sudah bisa melihat ada sel kanker atau tidak untuk beberapa jenis kanker utama," jelas Sonar.
Meski teknologi terus berkembang, Sonar menekankan bahwa kesadaran masyarakat tetap menjadi kunci utama. Mengenali gejala, tidak menyepelekan keluhan, dan segera memeriksakan diri ke dokter dapat menjadi langkah sederhana namun krusial dalam penanganan kanker.
"Jangan menunggu parah. Kalau ada gejala yang tidak biasa dan tidak sembuh-sembuh, lebih baik periksa. Deteksi dini bisa menyelamatkan nyawa," tutupnya.
(tis/tis)

3 hours ago
3



























