Qurban: Dari Ibadah Pribadi ke Agenda Keadilan Pangan Nasional

1 day ago 10

Jakarta -

Setiap kali Idul Adha tiba, jutaan umat Islam berduyun-duyun menjalankan ibadah kurban sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan kepedulian sosial kepada sesama. Namun, apakah ibadah kurban kita hanya berhenti sebagai ritual tahunan? Ataukah ia bisa menjadi inspirasi besar untuk membangun keadilan pangan nasional yang lebih substantif dan
berkelanjutan?

Kurban bukan sekadar ibadah simbolik. Ia adalah ekspresi keimanan yang paling mendalam: berani melepaskan sesuatu yang dicintai demi nilai yang lebih tinggi. Seperti
yang ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Ismail, kurban adalah tentang pengorbanan demi peradaban, ketaatan demi keadilan.

Sebagaimana Allah berfirman: "Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu! (QS Ash-Shaffat: 102).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam tafsir Fii Dzilalil Qur'an, Sayyid Quthb menegaskan bahwa peristiwa kurban adalah bentuk pengokohan akidah yang berdampak sosial luas, bukan sekadar narasi individual.

"Kurban adalah pendidikan ruhani yang melahirkan kesanggupan menundukkan ego demi maslahat umat," tulisnya.

Spirit pengorbanan ini seyogianya tidak hanya hidup dalam diri individu, tetapi juga dalam semangat kolektif bangsa, terutama dalam kebijakan publik yang menyentuh hajat hidup
rakyat. Idul Adha menjadi momen reflektif bahwa ketundukan kepada Tuhan juga harus menghadirkan keberpihakan kepada sesama manusia, terutama yang tertindas.

Dengan demikian, kurban adalah ajakan untuk merevolusi cara berpikir bangsa-dari sekadar menjalankan seremonial keagamaan menjadi gerakan strategis membangun struktur sosial yang berkeadilan.

Bangsa ini perlu menafsirkan kembali makna pengorbanan dalam konteks pembangunan, terutama dalam sektor pangan yang menyentuh langsung kebutuhan pokok rakyat.

Dari Kurban ke Keadilan Sosial

Konstitusi kita, UUD 1945, dengan tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Amanat
ini tidak hanya bersifat militeristik atau geopolitik, tetapi juga mencakup perlindungan atas hak-hak dasar warga negara, termasuk hak atas pangan yang layak.

Oleh karena itu, penyelenggaraan sistem pangan nasional dari hulu hingga hilir tidak boleh dilepaskan dari prinsip perlindungan dan keberpihakan terhadap rakyat.

Kurban mengajarkan kita pentingnya distribusi yang adil, bahwa nikmat harus dibagi, bukan dimonopoli. Dalam konteks politik pangan, prinsip ini menuntut adanya kebijakan
yang menyejahterakan produsen pangan lokal dan menjamin keterjangkauan bagi konsumen akhir.

Sementara itu, fakta di lapangan menunjukkan betapa timpangnya akses dan distribusi pangan. Konsentrasi kekuasaan ekonomi pada segelintir pelaku besar membuat petani dan peternak lokal tidak mendapat ruang yang layak untuk tumbuh.

Jika semangat kurban diterjemahkan dalam kebijakan, maka ia akan menuntut negara untuk hadir sebagai wasit yang adil dan pelindung yang tegas atas rakyat kecil yang berada
di hilir dan hulu produksi pangan.

Karenanya, Idul Adha harus menjadi titik tolak bagi lahirnya arah baru dalam kebijakan pangan: adil secara sosial, berkelanjutan secara ekonomi, dan berpihak secara politik.

Agenda Keadilan Pangan dalam Asta Cita

Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam Asta Cita-nya menekankan pentingnya ketersediaan dan keterjangkauan pangan sebagai prasyarat keadilan sosial. Hal ini tidak dapat dicapai tanpa keberpihakan politik yang jelas kepada petani, peternak, nelayan, dan semua pelaku rantai pangan nasional.

Dalam kerangka Asta Cita, ketahanan pangan bukan hanya soal jumlah produksi, tetapi juga soal keadilan distribusi dan keberlanjutan ekosistem pangan. Untuk itu, negara perlu
merumuskan ulang relasi antara pemerintah, pasar, dan rakyat dalam pengelolaan sumber daya pangan.

Kurban seharusnya menginspirasi pemerintah untuk berani 'berkurban', yakni menahan kepentingan ekonomi jangka pendek dan membangun sistem pangan jangka panjang yang berpihak pada rakyat.

Momentum Idul Adha ini bisa menjadi refleksi dan titik berangkat untuk meninjau kembali arah pembangunan pertanian dan peternakan nasional kita yang selama ini lebih sering menjadi korban liberalisasi pasar.

Sudah waktunya Asta Cita diwujudkan bukan hanya dalam dokumen perencanaan, tetapi dalam keberpihakan nyata terhadap produsen pangan lokal yang selama ini menjadi tulang
punggung pangan nasional.

Dari Langkah Pribadi ke Gerakan Kolektif

Jika setiap individu muslim bisa menyisihkan hartanya untuk berkurban, mengapa negara tidak bisa menyisihkan kebijakan fiskalnya untuk memperkuat petani kecil? Jika setiap
jemaah bisa berbagi daging dengan tetangga miskin, mengapa pemerintah tidak bisa menata distribusi pangan agar lebih adil?

Sebagaimana Allah berfirman dalam QS Al-Hajj ayat 37:

"Daging dan darah hewan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian." (QS Al-Hajj: 37 - Tafsir Fii Dzilalil Qur'an:
"yang sampai adalah ruh pengorbanan dan keikhlasan, bukan bentuk lahiriahnya").

Ayat tersebut menegaskan bahwa substansi dari ibadah kurban bukanlah pada bentuk fisik semata, melainkan pada komitmen moral dan keikhlasan untuk berbagi serta membangun tatanan sosial yang lebih adil.

Kurban adalah alat, bukan tujuan. Tujuan utamanya adalah terciptanya masyarakat yang adil, peduli, dan berdaulat dalam memenuhi kebutuhannya-terutama kebutuhan paling
dasar: pangan.

Idul Adha tahun ini bukan sekadar momentum perayaan, tetapi panggilan perjuangan. Mari kita ubah semangat kurban dari ibadah individual menjadi gerakan kolektif yang memperjuangkan keadilan pangan nasional.

Sudah saatnya kita menata ulang politik pangan kita dengan keberanian sebagaimana Ibrahim, dan dengan cinta sebagaimana Ismail.

Lebih jauh, momentum kurban bisa menjadi peluang untuk menata ulang sistem ketahanan pangan nasional, memperkuat BUMN pangan, dan mendesak hadirnya regulasi yang menjamin stabilitas harga dan pasokan bahan pangan strategis.

Johan Rosihan, Anggota DPR RI/MPR RI F-PKS 2024-2029

(prf/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial