'Quiet Quitting' Jadi Tren Baru Karyawan Gen Z di Jepang

6 days ago 17

Jakarta -

Di Jepang, negara yang identik dengan budaya kerja keras dan loyalitas terhadap perusahaan, semakin banyak karyawan yang melakukan quiet quitting.

Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 2022 untuk menggambarkan para karyawan yang hanya bekerja secukupnya, atau melakukan pekerjaannya seminimal mungkin. Namun di Jepang, istilah quiet quitting ini memiliki makna yang sedikit berbeda, dan cukup mengagetkan para karyawan yang telah terbiasa bekerja keras di negara tersebut.

Kini, semakin banyak orang Jepang yang memilih untuk masuk kerja tepat waktu dan pulang sesegera mungkin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka tidak mencari pujian atau pun promosi dari atasan mereka. Mereka juga tidak tertarik dengan prospek gaji tinggi yang memberikan lebih banyak pekerjaan. Bahkan, bonus terkait kinerja pun tidak terlalu mereka pedulikan.

Menurut sebuah penelitian terhadap 3.000 pekerja berusia 20 hingga 59 tahun yang dilakukan oleh Mynavi Career Research Lab, sebuah lembaga penelitian ketenagakerjaan yang berbasis di Tokyo, sekitar 45% mengatakan bahwa mereka hanya melakukan pekerjaan sebatas yang diwajibkan saja. Yang paling banyak mengaku melakukan quiet quitting adalah mereka yang masih berusia 20-an.

Keinginan untuk lebih banyak 'me time &rsquo

Ada banyak alasan mengapa para karyawan di Jepang tidak lagi memberikan segalanya untuk perusahaan mereka.

Bagi Issei yang berusia 26 tahun, jawabannya sederhana: Ia ingin memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang disukainya.

"Saya tidak membenci pekerjaan saya, dan saya tahu bahwa saya harus bekerja untuk membayar tempat tinggal dan berbagai tagihan, tapi saya lebih suka bertemu dengan teman-teman saya, bepergian, atau mendengarkan musik," ujar Issei, yang meminta agar nama keluarganya tidak disebutkan.

"Saya tahu bahwa kakek saya, dan bahkan generasi orang tua saya berpikir bahwa mereka tidak punya pilihan selain bekerja keras dan menghasilkan lebih banyak uang, tapi saya tidak mengerti logika berpikir macam itu," tambahnya.

"Menurut saya, lebih baik menyeimbangkan antara pekerjaan dan hal-hal yang ingin saya lakukan di luar kantor. Saya yakin, sebagian besar teman saya juga merasakan hal yang sama."

Studi Mynavi menyimpulkan bahwa memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri adalah motivasi utama sebagian besar orang melakukan quiet quitting.

Sebagian mengaku jumlah pekerjaan yang mereka lakukan sudah sepadan dengan bayaran yang diterima. Mereka juga mengaku puas dengan kontribusi yang mereka berikan dan tetap merasa ada pencapaian dari pekerjaan mereka.

Sebagian lainnya mengaku bekerja secukupnya demi bertahan hidup, karena mereka merasa kontribusi terhadap perusahaan tidak dihargai. Tak hanya itu, mereka juga tidak tertarik untuk naik jabatan atau naik level di karier mereka.

"Banyak anak muda yang melihat orang tua mereka mengorbankan hidup untuk perusahaan, bekerja lembur berjam-jam dan mengorbankan kehidupan pribadi mereka," ujar Sumie Kawakami, seorang dosen ilmu sosial di Universitas Yamanashi Gakuin dan seorang konsultan karier profesional. "Mereka kini tahu bahwa itu bukanlah hal yang mereka inginkan."

"Dulu, kantor akan membayar upah yang adil dan memberikan tunjangan sehingga orang akan tetap bekerja di perusahaan yang sama sampai pensiun," katanya kepada DW.

"Namun sekarang berbeda, banyak perusahaan berusaha memangkas biaya, tidak semua staf kini memiliki kontrak kerja penuh, serta gaji dan bonus tidak lagi sebesar dulu," tambahnya.

Berhenti memberikan segalanya untuk perusahaan

Menurut Kawakami, semakin banyak orang yang tidak merasa berkewajiban untuk mengorbankan diri untuk perusahaan.

Juga sejak pandemi, banyak orang yang mulai mempertanyakan prioritas mereka. Generasi dewasa muda kini mulai "sulit menerima konsep komitmen seumur hidup untuk satu perusahaan," kata Kawakami.

Izumi Tsuji, seorang profesor sosiologi budaya di Universitas Chuo Tokyo, mengatakan bahwa pengalamannya dengan anak muda membuatnya menyimpulkan hal yang sama.

"Ada perubahan besar dalam sikap terhadap pekerjaan di kalangan anak muda dibanding generasi saya yang berusia 50-an," katanya.

"Dulu, para karyawan sangat setia kepada kantor mereka, bekerja berjam-jam, bekerja lembur tanpa bayaran, dan tidak ingin berpindah perusahaan," katanya.

"Sebagai imbalannya, mereka dan keluarga mereka dinafkahi sampai mereka pensiun."

Saat ini, anak muda justru ingin "berkonsentrasi pada hobi mereka, lebih bebas dan punya pekerjaan serta kehidupan pribadi yang lebih seimbang," katanya.

Tsuji melihat pergeseran ini sebagai perubahan yang disambut baik, terutama dengan tingginya tuntutan dari perusahaan di Jepang terhadap karyawan mereka selama beberapa dekade.

"Ini merupakan hal yang baik," kata Tsuji.

"Dulu orang-orang terlalu loyal pada perusahaan mereka dan tidak memiliki kehidupan di luar kantor. Sekarang, jika mereka punya lebih banyak waktu luang, mungkin mereka akan menghabiskan lebih banyak uang dan membantu perekonomian, atau yang lebih penting lagi, bertemu dengan pasangan dan berkeluarga. Hal ini penting karena jumlah penduduk semakin berkurang."

Kematian karena overwork

Kawakami menambahkan alasan lain mengapa quiet quitting menandai perubahan ke arah yang lebih baik bagi jutaan karyawan Jepang.

"Saya menyambut baik perubahan ini karena generasi pekerja yang lebih tua akan memberikan 150% kepada perusahaan mereka, namun harga yang harus mereka bayar adalah 'karoshi'," ujarnya, yakni istilah dalam bahasa Jepang untuk kematian yang diakibatkan oleh kerja berlebihan.

Pada tahun 1998, terdapat 32.863 kasus bunuh diri di Jepang, dan banyak di antaranya terkait dengan jam kerja yang panjang dan tekanan di tempat kerja. Selama 14 tahun berikutnya, jumlah total kasus bunuh diri tetap berada di atas ambang batas 30.000. Namun, mulai menurun secara bertahap sejak saat itu. Pada tahun 2024, sekitar 20.320 orang meninggal karena bunuh diri, angka terendah kedua sejak data statistik mulai didokumentasikan pada tahun 1978.

"Anak muda kini tidak lagi merasa bahwa mereka tidak punya pilihan selain bertahan di pekerjaan yang membuatnya tidak bahagia, atau membuatnya tidak punya waktu untuk diri sendiri," kata Kawakami. "Hasilnya adalah orang-orang yang lebih bahagia."

Catatan editor: Jika kamu mengalami tekanan emosional yang serius atau pikiran untuk bunuh diri, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Di mana pun kamu tinggal, kamu dapat menemukan informasi di situs web ini: https://www.befrienders.org/

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani

Editor: Prihardani Purba

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial