Perang Terbuka Israel VS Iran: Kegagalan Strategi Netanyahu

8 hours ago 4

Jakarta -

Konflik berkepanjangan antara Israel dan Iran yang selama ini terjadi di balik layar--melalui operasi rahasia, serangan siber, dan perang proksi--akhirnya meledak menjadi konflik terbuka dan langsung. Apa yang selama ini dikhawatirkan oleh para pengamat geopolitik Timur Tengah pun menjadi kenyataan: perang konvensional antara dua kekuatan utama di kawasan tersebut.

Ketika Israel mengumumkan operasi militer yang disebut 'singa yang bangkit' atau rising lion pada 13 Juni 2025 lalu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu seperti ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa negara itu berani berperang melawan Iran sebagai negara berdaulat. Bukan lagi memerangi organisasi-organisasi yang dianggap teroris, yang selama ini didukung Iran seperti Hamas, Hizbullah dan Houthi.

Hanya saja, respons tegas dan keras Iran terhadap Israel melalui serangan drone dan rudal-rudal balistiknya--supersonik yang mematikan di balik ledakan roket--terbaca sebagai kegagalan mencolok pada keputusan strategis Netanyahu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Konfrontasi yang Gagal

Serangan pertama Israel, 13 Juni 2025 ke dalam wilayah Iran yang disinyalir menewaskan sejumlah elite Garda Revolusi dan ilmuwan nuklir Iran seperti memposisikan Netanyahu sebagai sosok pemberani yang mengambil langkah konfrontatif melawan Iran melalui operasi militer.

Serangan terhadap fasilitas nuklir, pembunuhan ilmuwan Iran, hingga serangan udara ke wilayah Suriah yang diklaim menyimpan senjata Iran, menjadi bagian dari doktrin "pre-emptive strike" ala Netanyahu. Langkah paling kontroversial yang dilakukan Netanyahu adalah serangan terbuka menjelang perundingan nuklir antara Iran dan Amerika Serikat. Dengan alasan mencegah Iran mempermainkan diplomasi, Netanyahu justru mempercepat jalan menuju eskalasi penuh.

Serangan itu justru memicu pembalasan besar-besaran dari Iran dan memaksa konflik naik ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Secara konsisten, selama ini Netanyahu memang menolak pendekatan diplomatik dengan Iran, terutama perjanjian nuklir seperti JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action). Netanyahu percaya bahwa jalan diplomasi sebagai perjanjian nuklir dengan Iran merupakan sikap yang terlalu lunak, karena akan memberi ruang bagi Iran untuk mengembangkan senjata nuklirnya secara diam-diam.

Diplomasi semacam itu dianggap melegitimasi rezim Iran di mata internasional dan meringankan sanksi, yang justru memperkuat kekuatan ekonomi dan militernya.

Maka, Netanyahu menggunakan jalan militer untuk melemahkan Iran. Namun, kalkuasi strategis Netanyahu ternyata keliru. Iran justru melawan dan merespon operasi militer yang dilakukan Netanyahu lebih keras dengan kekuatan terbuka: menyerang langsung ke wilayah Israel, mengaktifkan jaringan proksinya di Lebanon, Irak, Suriah, dan bahkan Yaman.

Netanyahu tampaknya berharap Iran akan tetap bermain dalam skenario 'perang bayangan atau proksi', atau setidaknya ia percaya diri bahwa Iran takut menghadapi kekuatan penuh Israel. Namun dalam pandangan banyak pengamat, perhitungan strategis Netanyahu justru keliru.

Alih-alih melemahkan Iran, Netanyahu justru mempersatukan kembali poros-poros perlawanan di kawasan yang berafiliasi dengan Iran. Hizbullah, Hamas, dan Houthi akan bergerak lebih terkoordinasi dari sebelumnya, menandai awal dari konflik multilateral yang akan merugikan stabilitas kawasan dan menguras sumber daya militer Israel. Lalu apa implikasinya bagi stabilitas keamanan di kawasan?

Konflik akan Meluas

Serangan terhadap Iran juga dinilai merupakan langkah sabotase terhadap diplomasi nuklir Iran dengan AS dan Barat, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa perang terbuka yang dilancarkan Israel mendapat lampu hijau dari sekutu utamanya, Amerika Serikat.

Tampaknya, Netanyahu hendak memastikan bahwa dunia tidak memberi ruang negosiasi terkait program pengayaan uranium atau pengurangan sanksi terhadap Iran.

Sementara itu, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (2001-2005), Collin Powell menilai bahwa Keputusan Tel Aviv untuk melancarkan perang baru melawan Iran pada 13 Juni merupakan bencana yang akan terjadi. Menurutya, tidak ada yang akan diuntungkan, termasuk pemerintah Israel, dan banyak yang akan menderita.

Baginya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang meyakini bahwa perang tersebut sebagai 'tindakan pencegahan', dengan tujuan untuk mencegah Teheran mengembangkan senjata nuklirnya sendiri, telah mengulangi kesalahan strategis dari dua politisi terakhir yang melancarkan serangan 'pencegahan' di wilayah tersebut, yaitu Presiden AS George Bush (2001-2005, dan 2005-2009) dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair (1997-2002, 2002-2007).

Sangat jelas bahwa respons Iran terhadap kebijakan perang terbuka yang dilakukan Netanyahu akan memiliki implikasi politik, diplomatik dan geopolitik serta stabilitas keamanan baik domestik, regional maupun global.

Pertama, di dalam negeri, rakyat Israel, sebagaimana dikutip banyak media, mulai merasakan dampaknya secara langsung. Korban jiwa terus meningkat, ekonomi menjadi lumpuh dengan ditutupnya sarana-sarana dan fasilitas perdagangan serta pembatasan transportasi udara dan laut.

Gelombang protes anti-perang di Tel Aviv dan Yerusalem memperlihatkan semakin menurunnya legitimasi sebagian rakyat Israel terhadap Netanyahu karena dianggap tidak mampu melepaskan sisa sandera sejak perang Gaza terjadi Oktober 2023 lalu.

Rakyat Israel mulai menyadari bahwa konfrontasi bukan satu-satunya jalan menjaga keamanan Israel-karena ada harga yang terlalu mahal untuk kesalahan perhitungan Netanyahu. Sejak pecah perang dan serangan rudal Iran menyasar tempat-tempat vital strategis di wilayah Israel, termasuk Tel Aviv, Bandar Udara Ben Gurion ditutup dan pesawat milik maskapai Israel diungsikan ke beberapa negara seperti Yunani dan Amerika Serikat.

Kedua, apabila perang terbuka berlangsung dalam waktu yang lama, Amerika Serikat sebagai sekutu utamanya akan terpancing terlibat dalam pertempuran tersebut, walaupun sejauh ini Presiden Donald Trump menegaskan tidak akan ikut melakukan konfrontasi dengan Iran.

Konsekuensinya, akan beresiko tinggi dan menelan biaya tinggi (high risk-high cost) sebagaimana perang yang terjadi di Irak 2003 lalu yang dipimpin Amerika Serikat dan pasukan multinasional.

Ketiga, implikasi geopolitik di kawasan tidak bisa dihindari, sehingga perang akan semakin meluas karena Iran tidak akan hanya melawan Israel dan AS secara langsung, tetapi akan mengaktifkan jaringan-jaringan proxy regionalnya, seperti Hizbullah di Lebanon (serangan ke Israel utara), Houthi di Yaman (serangan ke Laut Merah dan Atab Saudi), Milisi Syiah di Irak dan Suriah (serangan ke pangkalan AS) serta kelompok Hamas di Gaza.

Artinya, konflik tidak hanya terjadi di wilayah Iran-Israel, tetapi melebar ke Lebanon, Irak, Suriah, Teluk dan Teluk Persia karena keberadaan beberapa pangkalan militer Amerika Serikat di Qatar dan Uni Emirat Arab yang berdekatan dengan teritorial Iran.

Keempat, akan terjadi Polarisasi di Timur Tengah dan menguatkan blok-blok kekuatan baru di kawasan, karena perang Israel-Iran dan keterlibatan AS akan memperjelas blok-blok geopolitik: blok AS-Israel yang didukung Arab Saudi, UEA (secara diam-diam), Bahrain, Mesir dan Yordania.

Sementara sebagian Irak, Suriah, Yaman berikut proxy-nya akan berafiliasi dengan Blok Iran. Bisa jadi, akan tercipta blok kekuatan besar yang akan melawan hegemoni Amerika Seikat misalnya: Iran, Rusia, Pakistan, Afganistan, China dan Korea Utara.

Mencermati keputusan perang yang dilakukan Netanyahu dengan cepat, banyak kalangan menilai bahwa perang ini bukanlah hasil dari kebutuhan strategis untuk jangka panjang, melainkan keputusan sepihak Netanyahu yang gagal mempertimbangkan opsi diplomatik secara serius.

Bagi AS, keterlibatannya dalam perang terbuka Israel-Iran saat ini perlu dilalukukan secara cermat dengan kalkulasi strategis, karena ini bukan soal menang atau kalah secara militer, tapi soal kehilangan legitimasi global dan beban geopolitik jangka panjang di kawasan. Dan bagi Israel, dukungan AS bisa memperkuat posisi tempurnya, tetapi tak menjamin kemenangan strategis dalam jangka panjang.

Fathurrahman Yahya. Staf Pengajar Wawasan Politik Islam dan Isu Kawasan Timur Tengah, Porgram Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal, Jakarta.

(rdp/rdp)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial