CNN Indonesia
Selasa, 08 Jul 2025 00:53 WIB

Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, mengaku menjadi target pembunuhan Israel selama perang 12 hari antara kedua negara pada pertengahan Juni lalu.
Pernyataan Pezeshkian muncul kurang dari sebulan setelah Israel melancarkan serangan brutal ke Iran pada 13 Juni, yang menewaskan sejumlah komandan militer dan ilmuwan nuklir Iran.
"Ya, mereka (Israel) memang mencoba. Mereka bertindak sesuai dengan itu, tetapi mereka gagal," kata Pezeshkian dalam sebuah wawancara, seperti dikutip AFP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bukan Amerika Serikat yang berada di balik upaya pembunuhan terhadap saya. Melainkan Israel. Saya sedang berada di sebuah pertemuan, mereka mencoba membombardir area tempat kami mengadakan pertemuan itu," imbuhnya.
Dalam wawancara itu, Pezeshkian juga menuduh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengejar "agendanya sendiri" yaitu perang abadi di Timur Tengah. Dia juga menuding Netanyahu sengaja mendesak Amerika Serikat untuk terlibat.
"Pemerintah AS seharusnya menahan diri untuk tidak terlibat dalam perang yang bukan perang Amerika, melainkan perang Netanyahu," kata dia.
Dia juga menegaskan Iran "tidak memiliki masalah" untuk memulai kembali perundingan nuklir, asalkan kepercayaan dapat dibangun kembali antara kedua negara.
"Kami tidak melihat masalah dalam perundingan. Ada syaratnya untuk memulai kembali perundingan. Bagaimana kita bisa percaya lagi pada AS," tutur Pezeshkian.
"Jika kita kembali memasuki perundingan, bagaimana kita bisa tahu dengan pasti bahwa di tengah perundingan rezim Israel tidak akan diberi izin lagi untuk menyerang kita," imbuhnya.
Selain itu, dia juga memperingatkan bahwa AS punya dua cara untuk menangani Iran dan kawasan, yaitu dengan perdamaian atau perang.
"Presiden AS cukup mampu membimbing kawasan ini menuju perdamaian dan masa depan yang lebih cerah, serta menempatkan Israel pada tempatnya atau terjerumus ke dalam jurang atau rawa yang tak berujung. Itulah perang yang diinginkan Netanyahu agar AS atau presidennya terseret ke dalamnya," ungkap Pezeshkian.
(dna)