Jakarta -
Belakangan ini, ruang publik kembali memanas dengan perdebatan seputar penempatan anggota TNI dan Polri aktif di jabatan sipil. Kritik keras yang menyebut kebijakan ini sebagai 'kemunduran reformasi' patut dihargai sebagai bentuk kontrol publik. Namun, diskursus di ruang publik tidak boleh berhenti pada cibiran 'Orde Baru Era Gen-Z' semata, tanpa melihat tantangan riil di depan mata.
Situasi geopolitik hari ini rapuh. Kita baru-baru ini melihat perang Iran vs Israel menegangkan Timur Tengah dan menekan stabilitas energi global. Konflik Rusia dengan Ukraina yang berkepanjangan merusak rantai pasok pangan dan energi, serta mendorong eskalasi senjata di Eropa Timur.
Sementara itu, rivalitas Amerika Serikat melawan China di Indo-Pasifik menguat melalui perang dagang, teknologi, dan pengaruh di jalur pelayaran strategis. Semua ini saling terhubung, memicu inflasi global, krisis energi, dan merembet ke Asia Tenggara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pusaran geopolitik yang sarat ketidakpastian ini, ancaman kedaulatan tidak lagi seragam. Serangan militer konvensional bukan lagi satu-satunya bentuk konflik. Kita berhadapan dengan perang asimetris: sabotase siber, infiltrasi ideologi, propaganda digital, hingga tekanan ekonomi global. Semua ini menuntut Indonesia memiliki sistem penanganan cepat, birokrasi yang tanggap darurat, kontingensi yang tepat, respons lintas fungsi, dan perangkat hukum yang sah.
Sinergi Terbatas, Bukan Dwifungsi
Dalam konteks ini, lahirlah UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pengaturan ini tidak ditujukan untuk membuka kotak pandora atau membawa kembali dwifungsi militer. Sebaliknya, penugasan prajurit TNI aktif di jabatan sipil diatur secara ketat berdasarkan hukum agar terbatas, sah, relevan, dan transparan. Jabatan yang boleh diisi prajurit aktif pun jelas.
Pasal 47 menegaskan prajurit TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan pada kementerian koordinator bidang politik dan keamanan negara, serta lembaga terkait pertahanan negara lainnya termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara dan kesekretariatan militer presiden, BIN, BSSN, Lemhanas, SAR, BNN, BNNP, BNPB, BNPT, BAKAMLA, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung. Semuanya adalah lembaga strategis yang erat kaitannya dengan fungsi pertahanan dan keamanan nasional.
Selain jabatan tersebut prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas keprajuritan. Dengan adanya UU ini, dasar hukumnya menjadi terang, prosedur penugasannya tegas, dan celah praktik dwifungsi ABRI masa lalu tertutup rapat.
Penyesuaian usia pensiun prajurit pun tidak boleh dibaca hitam-putih. Selain memaksimalkan usia produktif prajurit TNI, tujuan lainnya adalah untuk menjaga kesinambungan kaderisasi, memastikan generasi senior cukup waktu membimbing prajurit muda mengemban tugas negara, serta mencegah kehilangan prajurit berpengalaman di masa kritis. Regenerasi harus dijaga, tetapi transfer of knowledge juga harus dijamin.
Hal yang sama berlaku untuk penempatan anggota Polri aktif. Penugasan personel Polri ke jabatan sipil tertentu tidak bisa liar. Praktiknya di lapangan kerap dibutuhkan untuk memperkuat pengawasan penegakan hukum lintas sektor, membantu pengamanan objek vital, atau penanganan kejahatan lintas negara. Namun, koridor hukumnya harus jelas, penugasan hanya dilakukan apabila didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian/lembaga serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan kementerian dan lembaga tersebut, bersifat terbatas, tunduk pada evaluasi rutin, serta bukan jabatan politik atau kursi birokrasi sipil permanen. Penugasan jabatan yang tidak diatur oleh hukum akan menciptakan area abu-abu, ruang gelap yang rawan disalahgunakan yang ujungnya akan memunculkan kecurigaan publik.
Hal ini sejalan dengan teori kontrol sipil objektif oleh Samuel P. Huntington. Militer dan kepolisian tetap profesional, kuat, dan disiplin, tetapi juga harus tunduk penuh pada otoritas sipil demokratis. Sinergitas lintas fungsi bukan untuk menghidupkan kembali ruang dominasi, melainkan untuk menjawab kebutuhan nyata dan antisipasi risiko krisis di masa mendatang.
Negara-negara demokrasi lain pun mempraktikkan hal serupa. Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan menempatkan personel militer dan polisi di jabatan strategis sipil di bidang pertahanan siber, penanganan krisis, atau perlindungan data nasional, tetapi semua diatur dengan mekanisme audit, masa tugas terbatas, dan pagar pengawasan publik.
Kita pun belajar dari pengalaman. Di Indonesia, penempatan TNI di operasi tanggap bencana sering terjadi, membantu logistik pasca gempa atau banjir, membuka jalur terisolasi, hingga mendistribusikan bantuan ke pelosok. Di situasi darurat, personel Polri juga senantiasa diandalkan menjaga ketertiban dan mencegah kekacauan. Tetapi, tanpa dasar hukum yang tegas, kontribusi itu rawan dipolitisasi. UU TNI hadir menjadi jawaban agar kerja di lapangan tidak menabrak koridor hukum.
Menjawab Ancaman Asimetris, Bukan Mundur
Hari ini, perang asimetris tidak lagi semata bayangan. Di Ukraina, sabotase siber bisa memadamkan jaringan listrik berhari-hari. Di Timur Tengah, propaganda digital memecah solidaritas publik. Rivalitas teknologi China-AS memaksa negara lain membangun perisai siber dan rantai pasok alternatif. Indonesia tidak boleh pasif.
Dengan ancaman terbuka di Indo-Pasifik, TNI-Polri harus siap mendukung fungsi strategis birokrasi sipil. Tapi harus tetap sah, terbatas, dan diawasi. Tetapi jangan lupa, pengawasan harus dijalankan agar penugasan ini tidak melebar ke ruang politik praktis. Di sinilah publik berperan, parlemen mengawasi, media mengkritisi, masyarakat sipil mengoreksi.
Pembaruan UU TNI bukan pengkhianatan atas reformasi. Justru inilah instrumen baru agar pengawasan publik bekerja. Penugasan lintas fungsi tidak lagi gelap, tetapi punya dasar hukum, ruang audit, dan pagar pembatas. Reformasi hidup ketika prosedur dijalankan, praktik diawasi, dan koreksi publik diterima. Negara tangguh bukan berarti militer mendominasi sipil, tetapi sebaliknya, supremasi sipil tetap panglima, militer tetap profesional, birokrasi tetap responsif, dan rakyat tetap sebagai pemegang kedaulatan.
Publik berhak khawatir, tetapi publik juga patut optimis. Pengaturan sinergi TNI-Polri yang berdasarkan hukum, sah, relevan, terbatas, dan diawasi justru menjadi benteng menghadapi perang asimetris di era geopolitik baru. Kita belajar dari sejarah agar tidak terulang. Tapi kita juga tidak boleh pesimis atau bahkan terjebak di nostalgia masa lalu yang menutup ruang adaptasi di masa depan.
Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI; Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar
(akd/akd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini