Memperkuat Reformasi Tata Ruang Indonesia

5 hours ago 5

Jakarta -

Akhir-akhir ini warganet heboh dengan adanya pulau-pulau kecil Indonesia di jual belikan di Situs Private Online. Empat pulau tersebut berada di Kabupaten Anambas, Kepulauan Riau, yakni Pulau Ritan, Pulau Tokongsendok, Pulau Mala, dan Pulau Nakok. Hal ini menjadi menjadi pertanyaan besar apakah memang pulau-pulau di Indonesia bisa dijualbelikan? Apakah ada aturan mainnya dan bagaimana pelibatan lintas sektor selama ini.

Berbagai tanggapan di lontarkan termasuk dari Wakil Rakyat yang membidangi pertanahan dan tata ruang Komisi II DPR RI. Seperti yang di ungkapkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menyatakan pemerintah harus menelusuri apakah praktik jual-beli pulau tersebut diketahui, atau bahkan mendapat izin oknum pejabat yang memiliki kewenangan.

Politisi Partai Demokrat ini berpandangan bahwa persoalan tersebut tidak bisa dianggap sepele dan harus segera ditindaklanjuti. Sebab, praktik serupa tidak hanya menyasar pulau di suatu wilayah, tetapi juga lahan di kawasan wisata yang berujung dikuasai warga negara asing (WNA).

Menelaah Aturan Main

Menindaklanjuti polemik ini Komisi II dengan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid membahas permasalahan wilayah serta tapal batas di pesisir dan kepulauan tersebut.

Sebagaimana yang di sampaikan oleh Menteri ATR BPN bahwa jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.380 pulau. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.349 pulau atau setara dengan (7,77%) sudah bersertifikat. Sedangkan pulau yang belum bersertifikat sebanyak 15.977 pulau (92,12%) dan yang belum teridentifikasi 17 pulau (0.09%).

Dari data tersebut menujukan bahwa pemerintah harus memastikan pulau-pulau di Indonesia bisa dijaga untuk kepentingan kedaulatan bangsa. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mempercepat integrasi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) di seluruh provinsi untuk menjamin kepastian hukum pemanfaatan ruang pesisir, dengan target terukur dan monitoring berkala.

Karena jika menelaah aturan main batas wilayah dan pesisir sebagaimana UU PA No 5 Tahun 1960 menyatakan dapat diberikan kepada orang pribadi dan badan hukum, yang mencakup wewenang untuk memanfaatkan permukaan tanah, badan bumi, dan air, serta tata ruang di atasnya.

Walaupun hak pengelolaan dan/atau Hak Atas Tanah untuk kegiatan usaha di Wilayah Perairan diberikan setelah memperoleh persetujuan KKPRL atau konfirmasi KKPRL dari Kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang kelautan dan perikanan, (Permen ATR/Ka BPN No 18 Tahun 2021).

Memperkuat Lintas Sektoral

Penyelesaian tata ruang di Indonesia dibutuhkan kolaborasi lintas sektor. Sebagaimana yang sering terjadi terhadap permasalahan tata ruang memerlukan penyelesaian yang melibatkan banyak unsur seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, KLHK, KKP dan ATR/BPN.

Dalam kasus ini berdasarkan PP No 18 Tahun 2021 bahwa Pemberian Hak Atas Tanah di wilayah perairan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diterbitkan oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan bidang kelautan dan perikanan.

Maka dari itu perlunya menyelesaikan pemetaan pulau-pulau kecil terluar dan mempercepat identifikasi pulau yang belum terdata, melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk menjaga kedaulatan wilayah perbatasan.

Selain itu, perlu adanya percepatan integrasi nasional data geospasial antarinstansi, khususnya antara peta bidang tanah (ATR/BPN), batas wilayah administratif (Kemendagri), Badan Informasi Geospasial (BIG), zonasi laut (KKP), dan peta kawasan hutan (KLHK), dalam rangka mendukung implementasi Kebijakan Satu Peta (Perpres No. 9 Tahun 2016) serta menghindari tumpang tindih kewenangan.

Memutus Fragmentasi Regulasi

Saat ini terlalu banyak peraturan sektoral dari kementerian dan lembaga yang mengatur hal serupa, namun tidak selaras. Akibatnya terjadi tumpang tindih kewenangan baik pemerintah pusat dengan daerah, KLHK dengan KKP maupun dengan ATR/BPN.

Sebagaimana kesimpulan Komisi II dengan Menteri ATR/BPN diperlukannya revisi regulasi dan pembentukan tim terpadu penataan wilayah pesisir untuk percepatan penanganan konflik batas wilayah, mendukung investasi berkelanjutan, dan melindungi ekosistem.

Tanpa reformasi menyeluruh dan pendekatan hukum tematik, Indonesia akan terus menghadapi konflik izin, tumpang tindih, dan ketidakpastian investasi. Sebuah Omnibus Law Tata Ruang dan Hak atas Lahan akan menjadi fondasi untuk menyelaraskan pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial.

Hasan Basri. Founder Milenial Talk Institute dan Tenaga Ahli Komisi II DPR RI

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial