Jakarta -
Kontroversi yang dipicu oleh Roy Suryo dan kelompoknya terkait tuduhan ijazah palsu Presiden Joko Widodo bukan sekadar kegaduhan biasa. Ini mencerminkan manuver politik yang terstruktur dan berpotensi merusak fondasi demokrasi. Tuduhan semacam ini sejatinya telah berkali-kali terbantahkan oleh lembaga resmi negara. Namun narasi itu terus dihidupkan, didorong oleh agenda politik yang lebih bersifat personal daripada publik.
Kegaduhan yang kembali dimunculkan oleh sebagian kalangan terkait isu dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo tidak dapat lagi dilihat sebagai bagian dari kritik yang sehat. Ini adalah pola lama politik tanpa etika, yang menanggalkan nalar sehat dan berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Padahal, seluruh lembaga resmi negara, mulai dari Universitas Gadjah Mada, diperkuat oleh putusan pengadilan, bahkan dibahas di Mahkamah Konstitusi, telah menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar.
Namun, narasi itu tetap dihidupkan, dibungkus dengan klaim keilmuan dan semangat "pencarian kebenaran." Jika dicermati lebih jernih, motif utamanya bukanlah kontrol sosial, melainkan komodifikasi isu untuk kepentingan pribadi dan politik. Dalam konteks ini, kita diingatkan oleh Nelson Mandela: "Penjahat itu tidak pernah membangun negara. Mereka hanya memperkaya diri sendiri sambil merusak negara."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Puncaknya terjadi pada 30 April 2025, ketika Presiden Jokowi melalui tim kuasa hukumnya melaporkan Roy Suryo, Tifauzia Tyassuma, Rismon Sianipar, Eggi Sudjana, dan Kurnia Tri Royani ke Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran fitnah. Laporan ini menandai pentingnya membedakan antara kritik dan kebohongan publik yang berujung disinformasi.
Masalah utama saat ini bukan soal kebebasan berpendapat, tetapi penyalahgunaan kebebasan itu untuk menyebarkan disinformasi. Ketika ruang publik dijejali narasi sesat yang dibalut jargon keilmuan, maka yang tergerus bukan hanya nama baik seseorang, tetapi juga legitimasi institusi negara. Tidak ada yang lebih tragis daripada kebodohan yang disertai keyakinan tinggi, tulis filsuf Romawi, Seneca-sebuah peringatan akan bahaya keyakinan yang tidak berbasis fakta.
Yang juga memprihatinkan adalah sikap negara yang terkesan gamang. Dalih menjaga demokrasi dan kebebasan berpendapat kerap menjadi pembenaran untuk membiarkan narasi fitnah terus bergulir. Padahal demokrasi tidak berarti bebas tanpa batas. Setiap kebebasan mengandung tanggung jawab, dan negara memiliki mandat konstitusional untuk menjamin bahwa ruang publik tidak menjadi sarang hoaks.
Jika tuduhan tak berdasar terus-menerus dipelihara, maka bukan hanya seorang Presiden yang diserang, tetapi keutuhan demokrasi itu sendiri yang terancam. Kepercayaan publik adalah pilar dalam sistem demokrasi. Tanpa kepercayaan, negara akan mengalami retakan dalam jangka panjang-bukan oleh senjata, tetapi oleh narasi kebohongan yang dipelihara secara sistematis.
Presiden terpilih Prabowo Subianto perlu mengambil sikap tegas. Diam bukan pilihan bijak. Sebagai pemimpin masa depan, ia memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menjaga wibawa institusi negara dan memastikan demokrasi tidak dikotori oleh permainan politik yang dangkal. Ketegasan ini akan menjadi isyarat awal bahwa kepemimpinannya berpijak pada prinsip, bukan kompromi.
Demikian pula aparat penegak hukum. Mereka tidak boleh terus terombang-ambing oleh opini media sosial atau tekanan politik. Hukum harus ditegakkan secara adil dan konsisten. Dengan begitu, negara menunjukkan keberpihakannya pada kebenaran, bukan pada kebisingan yang dibangun atas dasar kepentingan sesaat.
Akhirnya, tantangan terbesar demokrasi kita hari ini bukanlah kekerasan fisik, tetapi infiltrasi kebohongan ke dalam kesadaran publik. Negara tidak boleh menjadi penonton. Ia harus hadir, menjaga marwah demokrasi, menegakkan hukum, dan melindungi ruang publik dari disinformasi yang memecah belah.
Jika negara terus diam, maka yang tumbuh bukan demokrasi, melainkan ketidakpercayaan. Dan ketika kepercayaan itu runtuh, yang menyusul adalah instabilitas sosial dan politik yang jauh lebih sulit dipulihkan.
Pieter C Zulkifli. Pengamat hukum dan politik.
(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini