“Pastikan tidak salah masuk studio. Niat hati ingin melihat aksi para Hashira, yang muncul malah pasukan pengibar bendera”
Pekan ini, bioskop Indonesia seperti punya panggung untuk dua dunia yang sama sekali berbeda. Di satu sisi, ada Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba – The Movie: Infinity Castle (Part 1), penutup epik dari saga yang sudah bertahun-tahun menghipnotis jutaan pasang mata di seluruh dunia. Di sisi lain, ada Merah Putih: One For All, animasi lokal bertema kebangsaan yang lahir menjelang perayaan HUT ke-80 RI dan sedang jadi bahan perbincangan panas di lini masa.
Dua film ini tayang hanya berselisih sehari. Merah Putih pada 14 Agustus 2025, Demon Slayer menyusul 15 Agustus. Bedanya, satu datang membawa hype bertahun-tahun dan catatan rekor box office, satu lagi membawa semangat nasionalisme dan segudang sorotan publik.
Benteng Terakhir di Dunia Demon Slayer
Bagi para penggemar anime, Infinity Castle Arc bukan sekadar babak akhir. Ini adalah pertemuan puncak yang sudah diantisipasi sejak manga-nya tamat. Di film ini, korps pembasmi iblis, Tanjiro, Nezuko, dan para Hashira terjebak di sebuah istana tak berujung milik Muzan Kibutsuji. Dindingnya bisa bergeser, lantainya berubah arah, dan setiap sudut bisa jadi arena pertarungan hidup mati. Setiap sudut kastil membawa mereka ke medan pertempuran yang berbeda, memaksa mereka bertarung hingga batas kemampuan.
Film ini memusatkan cerita pada awal serangan besar-besaran. Para Hashira bakal menghadapi iblis peringkat atas alias Upper Moons dalam duel yang sudah dibangun tensinya sejak musim-musim sebelumnya. Sutradara Yuichi Terao menegaskan bahwa fokus film bukan sekadar membuat aksi megah, tapi memberi kedalaman emosional bagi karakter dan penonton.
Di Jepang, film ini tayang 18 Juli 2025 dan langsung memecahkan lima rekor box office dalam hitungan hari. Dalam sepuluh hari, pendapatannya menembus 12,87 miliar yen atau setara Rp 1,3 triliun, dengan 9,1 juta tiket terjual. Angka itu terus naik hingga 20,5 miliar yen dalam 24 hari. Secara global, Infinity Castle sudah masuk daftar 10 film animasi terlaris 2025.
Tidak hanya dari segi cerita dan teknis, proses produksinya pun jadi cerita tersendiri. Ufotable, studio di balik visual detail dan koreografi pertarungan yang memukau, menghabiskan waktu 3,5 tahun untuk memberi ruang perencanaan visual, animasi tangan dan koreografi yang sulit ditiru. Dunia Infinity Castle ini dibangun dengan dana setara Rp 6,3 triliun.
Bukan cuma studio yang sibuk, promosi Demon Slayer: Infinity Castle ini ibarat orkestra besar yang para pemainnya begitu kompak. Mulai dari kerja sama merchandise, kolaborasi dengan event raksasa seperti kampanye, sampai ide-ide nyeleneh yang bikin orang mau nggak mau ngelirik. Misalnya membuat mural raksasa di stasiun, dekorasi bertemakan korps pembasmi iblis di pusat perbelanjaan, bahkan sawah yang ditanami padi membentuk wajah Tanjiro, pemeran utama dalam animasi ini, ketika dilihat dari atas.
Dukungan pemerintah Jepang juga terasa nyata. Bukan hanya sekadar memberi izin, mereka aktif memposisikan anime sebagai salah satu senjata andalan ekspor budaya dan magnet pariwisata. Negara Sakura ini memang sedang mendorong strategi besar untuk menjadikan anime dan konten kreatifnya sebagai salah satu pilar ekspor budaya dan pariwisata.
Bendera Pusaka dan Misi Anak Negeri
Sehari sebelum Infinity Castle mendarat di bioskop, film animasi lokal Merah Putih: One For All sudah lebih dulu membuka layar. Disutradarai Endiarto dan Bintang, diproduseri Toto Soegriwo, film ini mengisahkan sekelompok anak dari berbagai daerah yang membentuk Tim Merah Putih. Tugas mereka sederhana tapi krusial, menjaga bendera pusaka yang akan dikibarkan saat upacara 17 Agustus di desa mereka.
Namun, di tengah persiapan, bendera itu hilang. Anak-anak ini pun harus bersatu, melewati hutan, sungai, dan berbagai rintangan demi mengembalikan simbol kemerdekaan ke tempatnya. Ceritanya ringan, penuh pesan persatuan, dan jelas ingin membangkitkan semangat nasionalisme di momen HUT RI.
Sayangnya, ketika trailernya rilis, respons publik justru penuh kritik. Warganet menyoroti kualitas grafis yang dianggap seadanya, bahkan ada yang menyamakan tampilannya dengan tugas sekolah yang belum selesai tapi dipaksa dikumpulkan. Perbandingan dengan film animasi Jumbo yang memecahkan rekor penonton di Indonesia pun bermunculan, sebagian menyebut kualitasnya bak langit dan bumi.
Beberapa unggahan di media sosial bahkan mengklaim menemukan aset visual film yang dibeli dari pasar daring seperti Daz3D dan Reallusion Content Store, dengan harga per item hanya ratusan ribu rupiah. Yang membuat publik lebih heran, biaya produksi film ini disebut mencapai Rp 6,7 miliar, meski pengerjaannya dikabarkan hanya memakan waktu kurang dari sebulan. Sebuah gap yang membuat publik bertanya-tanya. Tuduhan-tuduhan ini cepat beredar di YouTube dan platform X, memantik diskusi soal etika penggunaan aset berbayar, transparansi produksi, dan standar kualitas film nasional.
Di antara hujatan, ada pula suara-suara yang mencoba memberi konteks, mendukung niat memproduksi film bertema kebangsaan, atau menghargai usaha rumah produksi yang berani merilis karya di momen nasional. Jadi bukan semua baris komentar bernada negatif, ada juga yang memandang kesempatan ini sebagai ruang belajar bagi industri animasi lokal.
Produser Toto Soegriwo merespons santai. Di Instagram, ia menulis, “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain.” Tak ada pembahasan detail soal tuduhan teknis, hanya pesan singkat yang seolah ingin menutup perdebatan. Pihak produser belakangan juga membantah beberapa tuduhan dan meminta publik mengambil sisi tenang sambil menunggu film tayang. Belakangan, desakan agar penayangannya dibatalkan pun bermunculan, bahkan Ketua Badan Perfilman Indonesia setuju jika film ini ditarik sebagai pelajaran. Meski begitu, sang sutradara menegaskan film tetap akan tayang sesuai rencana pada 14 Agustus 2025, meski hanya di layar terbatas.
Pertemuan Dua Jalur Cerita
Jika dibentangkan seperti peta, perjalanan dua film ini nyaris tak punya titik temu. Infinity Castle adalah puncak dari perjalanan panjang manga laris, serial anime yang konsisten memukau, dan adaptasi film yang selalu sukses secara komersial. Ia datang dengan dukungan fandom global yang siap membeli tiket jauh sebelum kursi bioskop dibuka. Merah Putih, sebaliknya, harus berjuang meyakinkan audiens di tengah sorotan tajam media sosial.
Pada akhirnya, pilihan ada di tangan penonton. Mau ikut Tanjiro menghadapi iblis di Infinity Castle, atau merasakan semangat kemerdekaan lewat Merah Putih, keduanya punya pengalaman masing-masing. Pastikan tidak salah masuk studio. Niat hati ingin melihat aksi para Hashira, yang muncul malah pasukan pengibar bendera.