Jakarta, CNN Indonesia --
Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR kepada lima anggota DPR nonaktif buntut gelombang demo 25-31 Agustus lalu dinilai mengecewakan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyatakan putusan MKD itu lebih untuk mengamankan nasib temannya sendiri, sesama anggota dewan, ketimbang menegakkan marwah DPR.
Dalam sidang putusan MKD pada Rabu (5/11) kemarin, tiga dari lima anggota DPR nonaktif itu hanya disanksi nonaktif dalam beberapa bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahmad Sahroni dari NasDem yang disanksi nonaktif enam bulan, Nafa Urbach dari NasDem tiga bulan, dan Eko Patrio dari PAN yang disanksi empat bulan.
Sahroni dijatuhi sanksi karena pernyataannya saat merespons usul pembubaran DPR. MKD menilai respons Sahroni kurang bijak.
Lalu, Nafa dijatuhi sanksi karena pernyataannya terkait tunjangan rumah dinas DPR, sedangkan Eko disanksi karena responsnya atas kritik publik ihwal kenaikan gaji DPR dengan memparodikannya di media sosial.
Lain halnya dengan Uya Kuya dan Adies Kadir yang dinyatakan tak melanggar etik. MKD pun memerintahkan keanggotaan mereka diaktifkan kembali.
"Jadi jelas bahwa keputusan MKD ini dan semua prosesnya memang untuk mengamankan nasib teman sendiri, bukan untuk menegakkan kehormatan DPR," kata Lucius kepada CNNIndonesia.com, Kamis (6/11).
Lucius sendirinya sebetulnya sudah menduga putusan MKD yang mengecewakan ini. Ia berpendapat MKD sudah sejak dini berniat mengeluarkan putusan semacam itu.
Ia berpendapat dalam prosesnya, persidangan itu terkesan tak ada pendalaman yang fokus pada persoalan etika.
Lucius menyebut kode etik anggota DPR bahkan sangat jarang menjadi rujukan pertanyaan anggota MKD dalam menilai perkataan atau tindakan kelima anggota itu.
"Kode etik DPR itu dibuat untuk menjaga kehormatan dan wibawa DPR. Jadi perbuatan atau aksi kelima anggota itu harusnya dikomparasikan dengan kode etik, bukan dengan apakah ada pihak yang dirugikan atau tidak," ucapnya.
Tak hanya itu, Lucius juga menyoroti tak adanya pakar etika yang dihadirkan sebagai saksi ahli di persidangan MKD.
"Jadi kelihatan sekali kalau masalah etikanya tak didalami sungguh-sungguh. Justru persoalan hoaks yang jadi sorotan," ucapnya.
Dalam putusan terhadap Uya Kuya, MKD menyebut ia merupakan korban hoaks.
Salah satu yang disorot dari Uya Kuya saat itu ialah aksinya berjoget di sidang Tahunan MPR pada 15 Agustus.
Suasana sidang putusan kasus dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR nonaktif di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
MKD menyebut aksi joget itu dilakukan bukan untuk merayakan kenaikan gaji DPR sebagaimana yang dinarasikan di media sosial.
Sebab pada sidang Tahunan dan Sidang bersama DPR-MPR, tak ada pengumuman kenaikan gaji.
"Padahal hoaks apa sih? Yang dibilang hoaks itu adalah komentar orang-orang terkait pernyataan atau aksi yang dilakukan kelima anggota itu," ujar dia.
"Yang namanya komentar kan ya bisa-bisanya orang aja. Tapi jelas itu bukan serta merta dibilang hoaks, karena yang penting adalah peristiwanya itu sendiri benar adanya. Ada joget-joget, ada salah angka," imbuhnya.
Persidangan yang sederhana
Selain itu, Lucius juga menyoroti proses atau skema persidangan di MKD yang sangat sederhana.
Sidang pemeriksaan hanya digelar satu kali. Setelahnya langsung masuk ke sidang pembacaan putusan.
MKD meminta keterangan para ahli dan saksi dalam sidang yang digelar pada Senin (3/11), dua hari setelahnya yakni Rabu (5/11) MKD langsung menggelar sidang pembacaan putusan.
Dengan begitu, dari sisi waktu, Lucius menyebut proses itu tak bisa diharapkan akan ada semacam proses yang mendalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek dalam menentukan keputusan akhir.
"Bahkan saking sederhananya, tak ada waktu untuk mendengarkan pembelaan kelima anggota DPR nonaktif. Kan mestinya ada dong waktu bagi anggota DPR terlapor itu untuk membela diri mereka dari tuduhan atau sangkaan yang disidang MKD," ucapnya.
Padahal, kata Lucius, putusan MKD itu bersifat final dan mengikat, sehingga sudah seharusnya mereka mengeluarkan putusan dengan tepat dan cermat.
Lucius pun menyebut putusan itu hanya bisa diuji kembali jika ada pihak yang kembali menggugat dengan menyertakan barang bukti baru.
"Kecuali kalau ada pihak yang mau menggugat lagi dengan bukti baru," ucap dia.

3 hours ago
3

































