Fenomena Jumbo dan Masa Depan Film Animasi Indonesia

9 hours ago 3

Jakarta - Bayangkan sebuah film animasi lokal, buatan anak bangsa, yang mampu menarik 10 juta penonton dalam waktu dua bulan. Bayangkan pula film ini tidak hanya laris di Indonesia, tapi juga jadi perbincangan di Asia Tenggara, bahkan siap melanglang buana ke 17 negara. Itulah Jumbo (2025), sebuah film animasi yang kini resmi menyandang gelar sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa, menggusur KKN di Desa Penari (2022).

Angka yang dicapai oleh Jumbo tadi bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari sesuatu yang lebih besar: perfilman animasi Indonesia sedang menapak ke panggung dunia. Selain itu, fenomena Jumbo ini juga bukan sekadar soal angka, melainkan cerminan bagaimana sebuah karya bisa menyentuh hati, membanggakan, dan membuktikan bahwa Indonesia punya talenta kelas dunia.

Jumbo bukan sekadar film animasi. Jumbo adalah kisah Don, anak yatim piatu bertubuh besar yang sering diejek, tapi punya mimpi besar. Yakni membuat pertunjukan dongeng warisan orang tuanya. Bersama Meri, peri kecil dari dunia lain yang sedang mencari keluarganya, Don menjalani petualangan penuh warna yang mengajarkan soal keberanian, persahabatan, dan menerima diri sendiri.

Apa yang membuat Jumbo begitu istimewa? Pertama, ceritanya memang untuk anak-anak dan keluarga. Namun, entah kenapa, saya yang sudah berusia kepala empat pun ikut terharu. Cerita Jumbo sederhana, tapi menyentuh. Don bukan superhero atau pangeran tampan. Ia anak biasa, yang kadang merasa minder karena berbeda. Siapa yang tak pernah merasa seperti Don?

Siapa yang tak pernah merasa dikucilkan? Siapa yang tak rindu masa kecil, bermain petak umpet atau kasti pada sore hari? Jumbo membawa kita kembali ke nostalgia itu, ke tahun 2000-an, saat hidup belum dihantam gadget dan sosial media.

Cerita yang universal, yang dibalut budaya lokal, soal melawan ejekan, percaya diri, dan dukungan keluarga, membuat Jumbo klik di hati penonton. Film ini seperti cermin bagi penonton dari anak-anak hingga orang tua. Ditambah lagi, Jumbo juga punya humor yang cerdas dan dialog yang hangat, yang membuat kita tertawa sekaligus menitikkan air mata. Bukan cuma anak-anak, orang dewasa pun menangis mendengar lagu 'Selalu Ada di Nadimu' yang dinyanyikan Bunga Citra Lestari. Inilah kekuatan pertama Jumbo: cerita yang dekat di hati.

Namun, cerita bagus saja tidak cukup, Ferguso. Jumbo juga punya kualitas visual yang, bisa dibilang, mampu bersaing dengan film-film animasi bikinan Pixar. Kualitas animasi Jumbo memang bikin takjub. Selama ini, kita mungkin terbiasa memuji Pixar atau Studio Ghibli, tapi Jumbo membuktikan bahwa animator Indonesia tidak kalah. Setiap frame penuh detail, dari tekstur kulit karakter hingga cahaya yang dramatis.

Proses produksi Jumbo memang tidak main-main: bayangkan, lebih dari 420 kreator Indonesia, yang dipandegani oleh sutradara Ryan Adriandhy, selama lima tahun, bekerja keras menggambar setiap frame—24 frame per detik! Ini bukan kerja main-main. Dari Sabang sampai Merauke, mulai animator, penulis, hingga musisi bersatu menciptakan karya yang tak kalah dengan animasi kelas dunia. Hal ini seperti gotong-royong raksasa yang menghasilkan karya setara studio Hollywood. Bahkan, media asing seperti Variety dan Cartoon Brew pun memuji kualitas visualnya.

Selain animasinya, Jumbo juga punya tim pengisi suara yang luar biasa. Bayangkan Ariel NOAH sebagai ayah Don, Bunga Citra Lestari sebagai ibunya, dan Prince Poetiray sebagai Don kecil. Ada pula Chicco Jerikho yang rela 'mengembik' demi memerankan seekor kambing!

Mereka bukan sekadar mengisi suara, melainkan memberi jiwa pada setiap karakternya. Suara mereka membuat emosi dalam cerita terasa hidup, dari tawa hingga tangis.

Lalu, ada sisi bisnis yang tak kalah menarik. Jumbo meraup Rp 134 miliar dalam 15 hari, angka yang bikin film-film animasi lain di Asia Tenggara, seperti Mechamato Movie (2022) dari Malaysia, harus minggir. Ini bukan cuma soal duit, melainkan soal keberanian. Industri animasi Indonesia, selama ini, seperti anak bawang: Ada, tapi tak terlalu diperhitungkan. Film animasi lokal seperti Battle of Surabaya (2015) atau Knight Kris (2017) pernah mencoba, tapi tak sesukses harapan.

Jumbo mengubah peta itu dengan strategi promosi yang cerdas. Film ini memang dirilis saat Lebaran 2025, momen ketika keluarga ramai-ramai ke bioskop. Tapi semuanya bukan cuma soal waktu. Ada gerakan "Buzzer JUMBO Gratisan" di media sosial, di mana netizen secara sukarela mempromosikan film ini karena terkesan.

Unggahan di Instagram Visinema Studios, misalnya, penuh dengan cerita penonton yang menyebut Jumbo sebagai 'pelukan sinematik'. Bahkan, serial animasi Malaysia seperti BoBoiBoy (2011) pun ikut memuji di media sosial. Ini bukti bahwa cerita yang kuat bisa viral dengan sendirinya.

Jumbo membuktikan bahwa film animasi lokal bisa bersaing, bahkan di tengah dominasi film-film horor yang menguasai perbioskopan Indonesia akhir-akhir ini. Bisa dibilang, Jumbo datang pada saat yang tepat.

Industri animasi Indonesia memang sedang naik daun, tapi masih sering dianggap underdog dibandingkan film horor atau drama lokal. Jumbo mengubah persepsi itu. Dengan status sebagai animasi terlaris di Asia Tenggara, film ini menunjukkan bahwa animasi lokal bisa bersaing, bahkan jumlah penontonnya mengalahkan raksasa seperti Avengers: Infinity War (2018) di Indonesia. Ini seperti tamparan halus untuk mereka yang selama ini meragukan potensi anak bangsa.

Makna kesuksesan Jumbo sejatinya memang lebih dari sekadar angka penonton atau pendapatan. Pertama, ia menjadi simbol kebangkitan industri animasi Indonesia. Selama ini, animator kita, seperti, Andre Surya atau Rini Sugianto, lebih dikenal di Hollywood, mengerjakan film-film seperti Iron Man (2008) atau Avengers: Age of Ultron (2015).

Kini, Jumbo menunjukkan bahwa talenta kita bisa bersinar di rumah sendiri. Kesuksesan Jumbo membuktikan bahwa Indonesia punya talenta yang mumpuni. Kita bukan lagi sekadar penonton film-film Hollywood atau anime Jepang. Kita bisa bikin sendiri, dan hasilnya mendunia—rencananya, Jumbo akan tayang di 17 negara, termasuk Jepang dan Amerika.

Kedua, Jumbo menginspirasi. Ia memberi pesan kepada para sineas muda: Bermimpilah besar, tapi jangan lupa akar budaya. Cerita lokal, kalau dikemas apik, bisa diterima dunia. Ketiga, Jumbo menantang narasi bahwa teknologi seperti AI bisa menggantikan kreativitas manusia. AI mungkin cepat, tapi tak punya "jiwa" seperti Jumbo, yang penuh emosi dan kehangatan.

Namun, di sisi lain, kesuksesan Jumbo juga mengingatkan kita untuk tak cepat puas. Di balik setiap kesuksesan, selalu ada pelajaran. Jumbo butuh lima tahun untuk lahir, dan itu bukan waktu yang singkat. Tantangan seperti pendanaan dan teknologi masih menghantui industri animasi lokal.

Ada yang bilang, kesuksesan Jumbo adalah soal 'right time, right place', tapi kita butuh dukungan lebih, dari subsidi pemerintah hingga pelatihan animator. Tanpa itu, sulit melahirkan Jumbo berikutnya.

Industri animasi Indonesia masih butuh sokongan: Dari pendanaan, pelatihan, hingga distribusi yang lebih merata. Banyak film animasi lokal sebelumnya gagal karena minimnya layar bioskop atau promosi.

Jumbo beruntung punya Visinema dan tim yang solid, tapi bagaimana dengan studio-studio kecil yang lain? Pemerintah dan swasta perlu bergandengan tangan, memastikan Jumbo bukan sekadar keberhasilan sesaat, melainkan awal dari gelombang baru.

Pada akhirnya, Jumbo adalah cermin harapan. Ia seperti Don, si anak besar yang awalnya diremehkan, tapi akhirnya membuktikan diri. Jumbo bukan sekadar film. Ia adalah cermin kebanggaan, bukti bahwa ketika talenta, cerita, dan semangat bersatu, Indonesia bisa mengguncang dunia.

Saya membayangkan, di suatu bioskop di Rusia atau Singapura nanti, penonton akan tersenyum, mungkin menangis, karena cerita Don. Dan di situlah kita sadar: kita punya cerita, kita punya talenta, dan kita punya mimpi yang bisa mendunia.

Perfilman Indonesia, khususnya animasi, sedang menapak jalan itu. Jumbo bukan cuma film terlaris, melainkan juga tonggak yang berkata: Kita bisa! Sekarang, tinggal bagaimana kita menjaga api ini tetap menyala, agar raksasa kecil yang bernama film animasi Indonesia bisa mewujudkan mimpinya untuk mengguncang dunia.

Edwin Dianto. Pengulas Film, Pemerhati Teknologi Digital, Blogger asal Jember. (rdp/rdp)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial