Greta Thunberg (22 tahun) kembali menyita perhatian dunia, kali ini bukan karena isu iklim, melainkan keterlibatannya dalam misi kemanusiaan ke Gaza. Pada 1 Juni 2025, aktivis lingkungan asal Swedia itu bergabung dalam pelayaran kapal Madleen, yang membawa bantuan untuk warga Palestina di Jalur Gaza. Kapal ini berangkat dari Catania, Italia, sebagai bagian dari aksi Freedom Flotilla Coalition untuk menentang blokade Israel. (Fabrizio Villa/Getty Images)
Misi ini membawa berbagai bantuan penting seperti susu bayi, obat-obatan, makanan pokok, hingga peralatan medis. Greta menyebut keterlibatannya sebagai bentuk solidaritas terhadap penderitaan warga Gaza yang terjebak dalam krisis kemanusiaan berkepanjangan akibat blokade dan serangan militer. “Diam di hadapan ketidakadilan adalah kehilangan kemanusiaan kita,” ujarnya dalam salah satu pernyataan. (Fabrizio Villa/Getty Images)
Dalam beberapa unggahan media sosial, Greta menyebut situasi di Gaza sebagai “genosida yang disiarkan langsung.” Pernyataan itu langsung menuai respons keras dari berbagai pihak. Sejumlah politisi dan media konservatif mengecam aksinya, menyebutnya berpihak pada Hamas dan mengabaikan kompleksitas konflik Israel-Palestina. (REUTERS/Freedom Flotilla Coalition)
Meski mendapat kritik, Thunberg tetap teguh. Ia menegaskan bahwa keberpihakan kepada korban bukanlah dukungan terhadap kekerasan, tetapi bentuk kemanusiaan. Keputusannya turut serta dalam pelayaran berisiko ini dianggap banyak pihak sebagai langkah berani dan simbolik dalam menyerukan keadilan bagi rakyat Palestina. (REUTERS/Freedom Flotilla Coalition)
Kapal Madleen sendiri diperkirakan akan tiba di Gaza pada 7 Juni, meski menghadapi kemungkinan dihadang oleh pasukan Israel. Sebelumnya, beberapa misi flotilla pernah dihentikan secara paksa, bahkan berujung penahanan dan kekerasan. Namun, para peserta misi menyatakan siap menghadapi risiko demi membawa suara solidaritas dunia. (Fabrizio Villa/Getty Images)
Aksi Greta ini menandai perluasan perannya sebagai aktivis yang tak hanya fokus pada krisis iklim, tapi juga pada isu kemanusiaan global. Meski menuai kontroversi, langkahnya mengingatkan dunia bahwa aktivisme bisa lintas isu, dan keberanian untuk bersuara tetap penting dalam menghadapi ketidakadilan di mana pun. (Fabrizio Villa/Getty Images)