Banjir Penolakan Penulisan Sejarah Resmi

9 hours ago 4

Ilustrasi : Edi Wahyono

Rabu, 18 Juni 2025

Ambisi penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang didanai pemerintah memantik perdebatan di kalangan sejarawan dan akademisi. Di grup WhatsApp ‘Forum Sejarawan Indonesia’, sejarawan Erwien Kusuma menuturkan muncul penolakan dan diskusi setelah draf awal penulisan sejarah nasional beredar. Beberapa nama yang awalnya masuk dalam tim memilih keluar.

“Ada senior kita itu, Mas Didi Kwartanada misalnya, yang tadinya beliau ada di dalam tim. Jadi awal-awal pertama kali ini ramai, aku tuh pertama kali mention Mas Didi, tapi beliau tidak menjawab. Dan mungkin banyak orang juga yang tidak mau berdebat ya, tapi kemudian, Mas Didi kan memutuskan mengundurkan diri,” kata Erwien kepada detikX.

Selain Didi, Erwien menyebut nama Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang Wasino, yang juga sejak awal menolak karena diminta menulis sejarah Joko Widodo dan Ibu Kota Nusantara. Adapun nama lain yang juga menolak ketika ditawari menjadi bagian dari tim adalah dosen Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran Gani Ahmad Jaelani.

Erwien Kusuma turut menyoroti kelemahan metodologis dalam naskah sejarah resmi nasional, terutama pada jilid terakhir. Ia mengkritik keputusan menuliskan hingga periode Jokowi. Menurutnya, secara etik dan metodologi sejarah, batas waktu yang wajar ditulis seharusnya minimal sudah berjarak 25 tahun dari peristiwa.

“Kalau sampai era Jokowi, kan baru berapa tahun. Nah itu saja secara metodologi penggunaan sumber sejarahnya sudah keliru. 25 tahun itu kalau ditarik ya paling nggak tahun 2000 yang bisa kita tulis, jadi eranya Presiden Megawati (Soekarnoputri)-lah, Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid)-lah,” ujarnya.

Wasino, profesor ilmu sejarah, termasuk yang menolak menulis bagian sejarah kontemporer dalam proyek sejarah nasional. Ia diminta langsung oleh Susanto Zuhdi—editor umum penulisan ulang sejarah Indonesia yang bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan— untuk menulis bagian masa pemerintahan Jokowi. Namun Wasino menolaknya.

“Santo kan sahabat saya. Prof Santo meminta, untuk itulah saya menyatakan saya tidak sanggup karena saya tidak pernah penelitian tentang Jokowi,” kata Wasino, yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Tengah, kepada detikX.

Menulis sejarah yang terlalu kontemporer, kata Wasino, berisiko tinggi terjebak subjektivitas. Menurutnya, sejarah nasional seharusnya berbasis riset dan disusun dengan jarak waktu yang cukup untuk mengendapkan peristiwa.

“Biasanya kalau menulis, apalagi buku secara nasional, kan harus berbasis riset. Jadi kami tidak ada konflik kepentingan dengan tim itu. Dan juga tidak tahu sebenarnya tim itu arahnya ke mana itu nggak tahu,” ujarnya.

Direktur Jenderal Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi Restu Gunawan, Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dan Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha saat rapat kerja dengan DPR RI di Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025).
Foto : Grandyos Zafna/detikcom

Penyusunan sejarah nasional, tutur Wasino, idealnya bukan soal sejarah pemerintahan, melainkan sejarah bangsa. Ia juga menyayangkan kurangnya diskusi filosofis di awal dan mempertanyakan pemilihan perspektif Indonesia-sentris yang dinilainya sudah banyak dikritik pada masa-masa sebelumnya.

“Sejarah nasional ya nasional kan, sejarah bangsa, bukan sejarah state, bukan sejarah pemerintahan,” tandasnya

Begitu juga dengan Harry Truman Simanjuntak. Profesor riset dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang ditunjuk sebagai editor penulisan ulang sejarah nasional Indonesia ini memilih mengundurkan diri. Ia memprotes istilah ‘prasejarah’, yang akan diganti menjadi ‘sejarah awal’ tanpa diskusi antardisiplin.

“Saya harus mengundurkan diri. Kalau saya mengatakan apa yang benar, ya, harus benar,” tegas Harry kepada detikX.

Bagi Harry, perubahan istilah itu bukan sekadar soal bahasa, melainkan bentuk dominasi satu disiplin, yakni sejarah atas arkeologi. Ia menekankan secara epistemologis dan ontologis, prasejarah dan sejarah punya batas tegas, yaitu tulisan.

“Kalau kalian menggunakan istilah sejarah awal, untuk Indonesia sejarah awal itu ketika Nusantara mengenal tulisan, yaitu masuknya pengaruh Hindia, masuknya pengaruh Hindu-Buddha, bukan prasejarah saya katakan. Nah itu, ngototnya di situ itu,” ujar Harry.

Ia menduga ada tekanan dari kekuasaan yang ingin menyatukan narasi sejarah dalam satu kerangka, meski harus menabrak batas keilmuan. Yang membuatnya lebih geram, keputusan itu diambil tanpa brainstorming atau diskusi terbuka di antara para ahli.

“Ada pemaksaan dari mungkin tanda petik penguasa, kemudian melalui satu disiplin yang kebetulan orang-orang sejarawan terhadap disiplin lain. ini sesuatu yang salah. Yang kedua, pemaksaan itu tidak ada alasan sama sekali. karena kita tahu yang namanya prasejarah dan sejarah itu berbeda,” katanya.

Editor umum penulisan ulang sejarah nasional Indonesia Susanto Zuhdi merespons isu yang berkembang di kalangan sejarawan soal pengunduran diri sejumlah anggota tim. Ia menampik penarikan diri itu terjadi karena perbedaan prinsip atau kerangka keilmuan. Menurutnya, hal semacam itu lazim dalam kerja akademik.

“Kalau saya sih, saya nggak melihat itu prinsip. Itu mungkin dia-dia nggak sreg aja, kan biasa aja,” kata Susanto, yang juga Ketua Dewan Pembina Masyarakat Sejarawan Indonesia, saat dimintai konfirmasi detikX.

Susanto menekankan kerja penulisan sejarah ini tetap berjalan dalam koridor akademik yang mapan. Ia menyebut semua pihak yang terlibat punya landasan keilmuan yang sama, mulai metode hingga teori sejarah.

“Kita kan punya koridor prinsip keilmuan yang sama. Kita melakukan penelitian ya metode sejarah, metodologi sejarah, teori sejarah, dan sebagainya kan sama gitu ya,” ujar Guru Besar di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tersebut.

Masalah muncul, katanya, mungkin karena ketidakcocokan dengan topik yang ditugaskan, “Cuma ya mungkin dia nggak pas di bidangnya.”

Selain itu, Susanto tidak menampik kemungkinan naskah sejarah yang tengah disusun akan digunakan sebagai rujukan utama dalam pendidikan. Ini akan menjadi bagian dari kurikulum pengajaran sejarah di sekolah.

Susanto menjelaskan penulisan sejarah memiliki dua sisi: satu sisi akademik dan satu sisi pewarisan nilai. “Kami ini menulis untuk tesis, untuk disertasi, dan sebagainya. Lalu untuk yang bersifat pewarisan nilai, ya kan memperkuat ideologi bangsa, itu boleh juga,” jelasnya.

Selain banjir kritik dari para sejarawan perkara metodologi dan istilah, di luar dinamika internal penulis dan sejarawan, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyoal pemerkosaan dalam tragedi Mei 1998 turut memantik gelombang kritik. Ia meragukan kebenaran peristiwa tersebut dan menyebutnya sebagai ‘cerita tanpa bukti kuat’.

Menurut Fadli, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 hanya mencantumkan angka kasus tanpa disertai rincian yang kuat, seperti nama korban, lokasi kejadian, waktu, atau identitas pelaku. Karena itulah ia menilai isu tersebut mesti ditanggapi dengan kehati-hatian dan ketelitian mengingat dampaknya menyangkut kredibilitas sejarah dan nama baik bangsa.

"Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian ataupun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru-hara 13-14 Mei 1998," kata Fadli dalam keterangannya pada Senin, 16 Juni 2025.

Presiden ke-3 Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie saat menghadiri peringatan terkait kekerasan seksual di Tragedi Mei 1998 yang digelar Komnas Perempuan di TPU Pondok Rangon, Jakarta, Senin (08/05/2017).
Foto : Grandyos Zafna/detikcom

Pernyataan Fadli itu lantas tak hanya menuai kritik dari aktivis dan politikus, tapi juga memicu respons tajam. Komisioner Komnas Perempuan Chatarina Pancer Istiyani mendesak agar pejabat publik berhenti meragukan keberadaan kekerasan seksual dalam peristiwa itu. Sebab, tindakan itulah yang selama ini memperpanjang trauma dan ketakutan korban.

“Pernyataan itu menyakitkan bagi para korban dan menunjukkan ketidakseriusan negara dalam menindaklanjuti rekomendasi yang sudah dibuat sejak 1998,” kata Chatarina kepada detikX.

Ia menegaskan laporan TGPF dan catatan Komnas Perempuan memang tidak selalu menyebutkan detail identitas korban secara terbuka karena alasan perlindungan dan etika. Namun hal itu bukan berarti peristiwanya tidak pernah terjadi.

Bagi Catharina, mempertanyakan kembali kebenaran peristiwa yang telah diakui secara resmi, bahkan secara internasional, justru mengancam kredibilitas negara dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Ia menilai, jika penyusunan sejarah nasional baru ingin merekam masa reformasi, tragedi Mei 1998 dan segala bentuk kekerasan di dalamnya tidak bisa dikecilkan, apalagi disangkal.

Ia mengingat bagaimana para tokoh, seperti Ita Fatia Nadia dan Prof Saparinah Sadli, menghadap Presiden ke-3 Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie dan mendorong pembentukan lembaga nasional untuk perlindungan perempuan. Habibie pun, atas nama negara, menyampaikan permintaan maaf secara resmi atas kekerasan seksual yang terjadi.

“Di depan kantor kami itu ada prasastinya,” tambah Chatarina. Ia baru saja menerima foto prasasti itu dari seorang kolega dan membacanya kembali. Ini menguatkan keyakinan peristiwa itu tak hanya diakui secara resmi, tapi juga menjadi landasan historis pendirian Komnas Perempuan.

detikX telah berupaya meminta tanggapan kepada Fadli Zon atas berbagai kritik yang dilontarkan para sejarawan terkait proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia. Fadli sempat merespons pesan singkat yang kami kirim dan menyatakan akan mencari waktu untuk bertemu. Namun, hingga tenggat naskah ini, belum ada balasan lanjutan darinya.

Sementara itu, Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha Djumaryo menyarankan agar permintaan klarifikasi langsung diarahkan kepada Fadli. Upaya konfirmasi juga telah detikX tujukan kepada Agus Mulyana, Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia, yang dilantik Fadli Zon menjadi Direktur Sejarah dan Permuseuman di Kementerian Kebudayaan, tetapi hingga kini belum memperoleh jawaban.

Reporter: Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial