AI Tidak Dapat Dibendung, Maka Manusialah yang Harus Dipersiapkan

1 day ago 9

Jakarta -

Saat teknologi AI generatif semakin berkembang pesat, tak sedikit yang menyuarakan kekhawatiran: bahwa AI akan membuat manusia malas berpikir, mengandalkan mesin, dan kehilangan daya nalar. Namun, bila kita telusuri sejarah peradaban, hampir semua lompatan teknologi awalnya memicu resistensi. Listrik pernah ditakuti. Internet dicurigai. Media sosial dianggap membuka pintu bagi kebebasan yang tak terkendali. Namun, semua itu akhirnya tidak bisa dibendung. Justru manusialah yang beradaptasi, dan masyarakat belajar mengelolanya.

Demikian pula dengan AI. Ini bukan sekadar tren teknologi, tapi titik balik peradaban. Maka, alih-alih memperdebatkan apakah AI harus dilawan atau diterima, pertanyaan utamanya mestinya adalah: bagaimana manusia mempersiapkan diri — agar dapat menyambut, memanfaatkan, dan bahkan mengeksploitasi AI untuk tujuan yang lebih mulia?

Belajar dari Sejarah Teknologi

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Listrik awalnya memicu kecemasan — dari risiko tersengat hingga ketergantungan. Tapi kini, siapa yang bisa membayangkan dunia tanpa listrik? Internet pun pernah dicurigai akan merusak tatanan sosial. Tapi pada akhirnya, justru menjadi tulang punggung konektivitas global. Media sosial mungkin contoh paling ekstrem: bebas, terbuka, dan tanpa filter. Ia telah melahirkan ekspresi luas, tapi juga menyulut polarisasi, hoaks, dan ujaran kebencian.

Lantas bagaimana dengan AI? Menariknya, AI — terutama generatif seperti ChatGPT, Claude, atau Gemini — tidak hanya canggih, tetapi juga dibekali mekanisme penyaring. AI diajari mengenali etika, nilai, dan adab. Sistem AI hari ini dirancang untuk tidak menyebarkan ujaran kebencian, tidak menyesatkan, bahkan tidak menyarankan sesuatu yang melanggar hukum atau norma. Ini adalah satu langkah besar yang bahkan media sosial belum berhasil capai sepenuhnya.

AI: Bukan Sekadar Alat, Tapi Ruang Kolaborasi

AI generatif bukan alat otomatisasi biasa. Ia membuka kemungkinan baru: membantu menulis, berpikir, merancang, bahkan mendiskusikan nilai. Ini bukan pengganti manusia, tapi ekstensi kecerdasannya. Bahkan, dalam konteks tertentu, AI bisa menjadi mitra diskusi yang membantu menyusun argumen, memberi pandangan dari berbagai sudut, dan merangsang pemikiran kritis.

Di sinilah paradoks terjadi: AI yang katanya bikin malas berpikir, justru bisa menjadi pemicu pemikiran reflektif — asal digunakan dengan kesadaran.

Maka, Etika Tetap Tugas Manusia

Kecerdasan, akurasi, dan kecepatan bisa dilatih pada AI. Tapi etika, empati, dan hikmah adalah ranah manusia. Kita tidak butuh lagi menghabiskan energi dalam perdebatan pro dan kontra yang biner. Yang kita perlukan adalah komitmen: bahwa manusia — terutama para pencipta, pengembang, pendidik, dan pemimpin masyarakat — harus mengawal teknologi ini dengan nilai.

Kita butuh desain sistem yang transparan. Kita butuh pendidikan yang membekali anak-anak bukan hanya dengan kemampuan teknis, tapi juga kesadaran etis. Kita butuh pesantren dan lembaga nilai untuk tidak sekadar mengamati dari jauh, tapi aktif membimbing arah perkembangan AI.

Karena seperti api, AI bisa menjadi penerang atau pembakar. Sejarah yang akan menentukan arahnya — dan manusia yang akan menuliskan sejarah itu.


Sutrisno, pengasuh pesantren gratis, pendamping kelompok tani marjinal, dan penggagas inovasi pangan berbasis AI dan teknologi rendah karbon

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial