42 WNI Terdampar di Tel Aviv, Apa Dampak Konflik Iran-Israel Bagi RI?

8 hours ago 3

Jakarta -

Sebanyak 42 WNI yang melakukan ziarah keagamaan dilaporkan terdampar di Tel Aviv setelah Bandara Ben Gurion ditutup menyusul memanasnya konflik Israel-Iran pada Jumat (13/06).

Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan perwakilan diplomatik di Yordania tengah memberikan asistensi agar puluhan WNI itu bisa keluar dari Israel melalui jalan darat.

"[Para WNI itu] seharusnya keluar lewat Tel Aviv, tetapi tidak bisa karena bandara ditutup. Mereka sedang dibantu KBRI Amman untuk melintas ke Yordania," ujar Judha Nugraha kepada BBC News Indonesia pada Minggu (15/06).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat ini, Kemenlu mencatat ada 187 WNI yang berada di seluruh wilayah Israel. Menurut Judha, sebagian besar dari mereka berada di Aravah di selatan Israel.

Pemerintah Indonesia, sambung Judha, sudah mengimbau agar para WNI yang memiliki rencana perjalanan ke Israel dan Palestina, termasuk untuk kunjungan ziarah untuk menunda niat mereka.

"Sejak tahun lalu, wilayah Palestina dan Israel sudah ditetapkan Siaga 1 [level tertinggi kewaspadaan] oleh KBRI Amman," tegasnya.

Adapun di Iran, menurut Judha, KBRI Teheran sudah menetapkan status Siaga 2 sejak April 2024.

Kemenlu mencatat ada 386 WNI yang tersebar di 11 kota di Iran. Mayoritas dari jumlah tersebut berstatus sebagai pelajar di kota Qom sebanyak 258 orang.

"[Terbesar] kedua di Teheran, ada sekitar 90 WNI termasuk pelajar, pekerja migran, dan staf KBRI berikut keluarga mereka," tutur Judha.

Pada Jumat (13/06), pemerintah Israel menutup bandara mereka setelah melancarkan sejumlah serangan ke Iran dalam Operasi Rising Lion yang menyasar pusat nuklir, fasilitas militer, dan area berpenduduk.

Pihak Israel mengeklaim serangan pihaknya dilakukan "atas dasar keselamatan" karena Iran dituding terus mengembangkan nuklir mereka.

Iran mulai membalas serangan itu pada Jumat (13/06) malam melalui gempuran drone dan rudal balistik. Hingga berita ini diturunkan, gelombang serangan dari masing-masing negara masih terus berlangsung.

'Belum ada permohonan evakuasi'

BBC News Indonesia sudah menghubungi sejumlah warga Indonesia yang berada di Iran untuk menceritakan kondisi mereka di sana, tetapi mereka memilih bungkam karena sensitivitas isu.

Jaringan internet setempat dilaporkan tidak stabil dan sangat lambat.

Dalam siaran pers pada Jumat (13/06), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Iran mengimbau para WNI untuk "saling mengingatkan satu sama lain" terkait imbauan KBRI Teheran dan Kemenlu serta "saling menjaga komunikasi".

Selain itu, mereka juga meminta agar para WNI di Iran untuk "saling menenangkan dan tidak panik dalam kondisi apa pun agar memudahkan koordinasi dan melancarkan segala proses yang dilakukan KBRI Teheran dan Kemenlu."

IPI Iran juga mengingatkan agar para WNI untuk melakukan pengecekan di grup WNI di platform WhatsApp.

Pihak IPI Iran mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya para korban sipil dan tokoh penting Iran dalam serangan Israel.

Pihak IPI juga mengecam dan mengutuk serangan Israel sekaligus mengecam PBB yang mereka sebut "diam seribu bahasa" atas serangan Israel.

Baca juga:

Sementara itu, Judha mengatakan pihaknya terus berkomunikasi dengan WNI-WNI di Iran.

"Saya sampaikan bahwa para WNI kita dalam keadaan baik, tidak ada yang menjadi korban dari serangan Israel," ujar Judha.

"Serangan yang dilakukan Israel saat menyasar instalasi-instalasi militer dan juga kepada beberapa petinggi dari Iran. Tapi tentu kita mengantisipasi bahwa eskalasi ini dapat lebih memburuk."

Berdasarkan pengamatan dari KBRI Teheran, kata Judha, situasi di Teheran masih terlihat normal meski terlihat antrean BBM yang cukup panjang di beberapa tempat.

"Tapi tidak ada panic buying. Kegiatan dan kehidupan masyarakat masih berjalan dengan normal," ujar Judha.

Pernyataan Judha ini selaras dengan laporan IPI Iran yang menyebut laporan sejumlah WNI di kota-kota besar Iran mengatakan "tidak ada perubahan yang signifikan" setelah serangan Israel.

Judha mengingatkan bahwa pihak pemerintah sejak April tahun lalu sudah mengimbau agar para WNI di Iran yang tidak memiliki kepentingan esensial untuk bisa pulang secara mandiri.

Apalagi, saat ini, konflik antara Iran dan Israel membuat wilayah udara di kawasan tersebut ditutup sehingga menghalangi penerbangan.

Terpisah, juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Rolliansyah Soemirat, mengatakan untuk saat ini evakuasi belum perlu dilakukan bagi para WNI di Iran.

"Namun, kita terus melakukan pematangan rencana apabila memang [evakuasi] diperlukan apabila situasi memburuk. Tentu kita berharap situasi buruk tidak terjadi," ujar Roliansyah kepada BBC News Indonesia pada Minggu (15/06).

Rolliansyah yang dilantik sebagai Dubes RI untuk Teheran (merangkap Turkmenistan) pada 24 Maret 2025, mengatakan sejauh ini "belum ada permohonan evakuasi" dari WNI di Iran.

Di sisi lain, Rolliansyah menekankan bahwa pada akhirnya evakuasi merupakan pilihan dari para individu.

"Pemerintah pada beberapa situasi konflik di beberapa tempat lain sering mengalami situasi dimana sudah menyarankan atau bahkan menyiapkan rencana evakuasi warganegara Indonesia, tapi banyak warga negara yang memutuskan untuk tidak melakukan evakuasi. Dan tentunya pemerintah harus menghargai keputusan dari masing-masing individu tersebut," ujarnya.

Meski begitu, Rolliansyah meminta agar para WNI terus mengabarkan situasi mereka secara berkala kepada perwakilan diplomatik setempat.

Apakah konflik Iran dan Israel akan terus memanas?

Asap membubung setelah ledakan terjadi di pusat kota Teheran pada 15 Juni 2025

Asap membubung setelah ledakan terjadi di pusat kota Teheran pada 15 Juni 2025 (Getty Images)

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, Idil Syawfi, menilai potensi eskalasi konflik antara Iran dan Israel "sangat tinggi".

Menurut Idil, hal ini terlihat dari upaya retaliasi Israel yang menyerang depot minyak Iran serta kantor Kementerian Luar Negeri Iran di Teheran pada Minggu (15/06).

Serangan kemudian dibalas dengan serangan misil Iran ke Haifa dan Tel Aviv.

"Jika kita melihat pernyataan terakhir Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang mengirimkan pesan kepada masyarakat Iran, kita bisa tahu target utama Israel dari operasi militer ini adalah perubahan rezim di Iran," ujar Idil kepada BBC News Indonesia.

"Seperti diketahui Iran menjadi penyuplai dan pendukung bagi gerakan-gerakan yang menyerang Israel seperti Hamas, Houthi dan juga Hizbullah."

Baca juga:

Idil menilai operasi militer yang dilakukan Israel pada Jumat (13/06) lalu sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Sebagaimana diketahui, serangan tersebut menewaskan para ilmuwan dan petinggi militer Iran.

"Pada sisi lain, Iran tidak punya banyak pilihan selain merespon dengan serangan militer," ujar Idil.

Iran, menurut Idil, berhadapan dengan dua pilihan: pertama, serangan balasan tetapi terbatas untuk mengurangi eskalasi tetapi kredibilitas pemerintah buruk di mata masyarakat.

Kedua, membalas dengan lebih keras, tetapi sesuai keinginan Israel agar mendapat dukungan militer dari sekutunya, termasuk AS.

Dihubungi terpisah, pengamat Timur Tengah dari Universitas Bina Nusantara, Tia Mariatul Kibtiah, menilai ada dua alasan mengapa Israel memutuskan untuk menyerang Iran.

"Yang pertama, popularitas Netanyahu di Israel. Ketika karier politik dia sedang tidak baik-baik saja, dia akan melakukan hal tidak terduga dan di luar nalar," ujar Tia ketika dihubungi pada Minggu (13/0).

Selain dinilai gagal menangani Hamas, masyarakat Israel juga menilai perekonomian negara merosot menyusul konflik Gaza.

Alasan yang kedua, kata Tia, adalah Israel ingin menghentikan negosiasi antara AS dan Iran terkait nuklir.

Di sisi lain, Tia berpendapat bahwa konflik ini kemungkinan besar tidak akan berlanjut ke eskalasi yang lebih luas.

Hal ini didasari oleh kepentingan keamanan negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Kuwait, yang secara geografis berdekatan dengan area konflik dan memiliki pangkalan militer AS.

Tia memprediksi akan muncul banyak mediator, termasuk AS, untuk menekan agar saling serang antara Iran dan Israel. Dia juga menduga AS tidak akan terlibat dalam serangan balasan oleh Israel, tetapi alih-alih a akan membantu dalam upaya menangkal rudal Iran.

Pada Minggu (15/06), Presiden AS Donald Trump menyatakan Iran dan Israel mesti mencapai kesepakatan dan mengatakan dirinya akan memfasilitasinya.

CBS News, mitra BBC News di AS, melaporkan Trump sebelumnya memveto rencana Isrel untuk membunuh Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.

Bagaimana dampak konflik Iran dan Israel ke Indonesia dan dunia?

Idil mengatakan serangan Israel ke depot minyak Iran menunjukkan bahwa, selain isu nuklir, Israel juga ingin "menyakiti Iran" dalam hal energi.

Menurut Idil, serangan Israel ini membuka opsi juga bagi Iran untuk merespons dengan menutup Selat Hormuz.

"Selat Hormuz bisa jadi merupakan kartu yang bisa dimainkan oleh pemerintah Iran," ujarnya.

"Penutupan Selat Hormuz akan berimplikasi terhadap negara-negara lain, khususnya terhambatnya distribusi minyak global dan meningkatnya harga minyak."

Idil memprediksi harga minyak dunia akan melambung tinggi dalam pembukaan minggu depan, dan akan beranjak meningkat seiring dengan eskalasi konflik.

"Hal ini selain karena produksi akan terhambat, distribusi juga akan sangat terbatas dikarenakan konflik ini," ujarnya.

Baca juga:

Bagi Indonesia, Idil menekankan hal ini akan berdampak ke perekonomian negara mengingat sumber minyak yang paling besar berasal dari Timur Tengah yang didatangkan melalui Singapura.

"Perlambatan ekonomi akan semakin terasa, dan kemungkinan inflasi yang saat ini tertahan akan meningkat kembali. Hal ini akan membuat pemerintah semakin kesulitan mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkannya," ujarnya.

Pendapat senada diungkapkan Tia.

Meskipun secara geografis Iran dan Israel jauh dari Indonesia, dia mengingatkan konflik ini memiliki dampak ekonomi yang signifikan bagi Indonesia sebagai negara pengguna dan pengimpor energi yang besar.

Apa yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia?

Pada Jumat (13/06), Menteri Luar Negeri Sugiono menyatakan Indonesia secara tegas mengutuk serangan Israel terhadap Iran yang disebutnya merupakan pelanggaran hukum dan melemahkan dasar-dasar hukum internasional.

Sugiono mengatakan serangan tersebut akan menimbulkan banyak implikasi dan akan memperburuk situasi jika semua pihak yang terkait tidak menahan diri, sebagaimana dilaporkan Antara.

Dia menambahkan akan terus memantau situasi tersebut lebih lanjut.

Menanggapi ini, Idil mengaku sulit untuk membayangkan posisi Indonesia dalam konflik ini.

"Karena kita tidak bisa dibilang sebagai 'aktor' dan memiliki kepentingan yang tinggi dalam konflik ini. Pernyataan dari Menlu Sugiono yang mengutuk serangan Israel dan berharap yang terburuk tidak terjadi sepertinya template [standar baku] yang sudah sesuai dengan koridor dan posisi Indonesia," ujar Idil.

Terpisah, Tia menyarankan agar Presiden Prabowo Subianto dapat berbicara langsung dengan para pemimpin negara yang memiliki pengaruh, seperti residen AS atau negara-negara OKI, untuk menyerukan penghentian konflik.

"Minimal ada suara Indonesia di kancah politik global, di politik internasional, bahwa kita tidak suka dengan [Iran dan Israel] saling menyerang," tegas Tia.

Baik Idil maupun Tia sepakat bahwa fokus Indonesia perlu terpusat pada perlindungan WNI.

Tia menyaran agar proses evakuasi WNI sebaiknya dilanjutkan apabila serangan terus berlanjut.

Di dalam negeri, Idil mengatakan pemerintah Indonesia, khususnya pejabat bidang politik an ekonomi, harus siaga untuk menyiapkan strategi menghadapi berbagai skenario eskalasi yang muncul dari konflik Iran-Irael.

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial