Makkah -
Bermalam atau mabit di Muzdalifah menjadi salah satu proses yang harus dilakukan jemaah haji. Lalu, apa itu Muzdalifah dan bagaimana hukum melaksanakan murur bagi jemaah haji?
Muzdalifah merupakan padang pasir terbuka atau juga dikenal dengan nama Masy'aril Haram. Kawasan yang dimaksud sebagai Muzdalifah punya luas sekitar 12,25 Km persegi.
Situasi Muzdalifah sebelum mabit. Foto: Haris Fadil/detikcom
Area itu akan dipadati jutaan jemaah haji dalam satu waktu bersamaan pada 9 Zulhijah bertepatan dengan Kamis (5/6/2025) malam hingga 10 Zulhijah bertepatan Jumat (6/6/2025) dini hari. Tak ada tenda di Muzdalifah sehingga jemaah hanya beristirahat di atas karpet dengan atap langit malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain jemaah haji, Muzdalifah akan dipadati bus-bus yang mengantar jemaah haji dari Arafah atau membawa jemaah haji dari Muzdalifah ke Mina. Jemaah haji akan digerakkan ke Mina usai melewati tengah malam.
Hukum Melaksanakan Murur
Kementerian Agama menjelaskan hukum melaksanakan murur atau hanya melintas di Muzdalifah bagi jemaah haji. Kemenag, mengutip Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriah PBNU tentang hasil bahsul masail al-diniyah al-waqiah pada 28 Mei 2024, menyatakan mabit dengan cara murur adalah mabit yang dilaksanakan dengan cara melintas di Muzdalifah setelah wukuf di Arafah.
"Jemaah saat melewati kawasan Muzdalifah tetap berada di atas bus (tidak turun dari kendaraan) lalu bus langsung membawa mereka ke tenda Mina," tulis Kemenag dalam akun resminya.
Kemenag menyebut ada sejumlah pendapat ulama terkait murur. Pertama, mabit dengan cara murur dianggap sah apabila jemaah yang berada di dalam kendaraan tetap menunggu di Muzdalifah hingga melewati tengah malam.
"Jika mabit di Muzdalifah secara murur belum melewati tengah malam tanggal 10 Zulhijah, dapat mengikuti pendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunah," demikian tulis Kemenag.
Kemenag menyebut kepada jemaah di Muzdalifah dapat dijadikan alasan kuat sebagai uzur untuk dapat meninggalkan mabit di Muzdalifah. Kemenag menyebut jemaah haji yang melakukan murur hajinya sah dan tidak terkena dam.
Kemenag menyatakan ada prinsip keringanan dalam Islam atau sering disebut rukhsah. Dalam haji, menurut Kemenag, jemaah lansia, disabilitas hingga risiko tinggi menghadapi beban berat sehingga diboleh mengambil keringanan sesuai syariat.
Mustasyar Diny Petugas Penyelenggara Haji (PPIH), KH M Ulinnuha, mengatakan skema murur dibolehkan dalam fikih haji. Sehingga, katanya, ibadah haji tetap sah.
Ulinnuha mengatakan mabit di Muzdalifah memang merupakan bagian dari wajib haji. Namun, jemaah dengan uzur fisik, lansia, atau alasan syar'i lainnya dibolehkan tidak bermalam di Muzdalifah.
"Dalam riwayat sahih, sejumlah sahabat yang bertugas memberi makan, menggembala, atau kaum perempuan yang khawatir mengalami haid lebih awal, diberi izin oleh Nabi Muhammad SAW untuk tidak mabit di Muzdalifah," jelas Ulinnuha di Makkah.
Dia mengatakan mazhab Hanafi menyatakan mabit di Muzdalifah hukumnya sunah. Dia menyebut murur dibolehkan dan hajinya sah serta tidak terkena dam.
"Salah satu fatwa dari ulama Mesir menyebutkan bahwa murur dibolehkan karena mustahil bagi jutaan jemaah menempati Muzdalifah dalam waktu bersamaan. Ini menjadi dasar PPIH menerapkannya secara selektif, khususnya bagi jemaah lansia, disabilitas, dan yang uzur," ujarnya.
Kemenag menargetkan lebih dari 50 ribu jemaah haji diikutkan skema murur. Kemenag berharap hal ini akan mengurangi kepadatan di Muzdalifah sehingga mempermudah pergerakan jemaah haji ke Mina dan mengurangi potensi jemaah kelelahan.
(haf/fas)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini