Tak Semudah Undian Berhadiah

1 day ago 13

Jakarta -

Dulu saya kepincut poster yang ditempel di toko kelontong di depan gang rumah kami. Di situ ada gambar mobil, motor, dan puluhan barang mewah yang saya rasa tak akan pernah terbeli.

Cara mendapatkannya mudah. Cukup mengumpulkan bagian karet di balik tutup botol minuman ringan lalu kirimkan lewat pos. Saya pun menaruh harap. Kebetulan saya tahu betul orang-orang yang membeli minuman itu sering membuang begitu saja tutup botol minuman tanpa tahu ada kesempatan mendapatkan undian berhadiah. Dari situ dimulailah misi saya mendapatkan hadiah motor.

Kenapa motor?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kalau tak salah ingat waktu itu saya kelas 3 atau 4 SD, tak perlu saya sebutkanlah ya tahun berapa. Saat itu satu-satunya kendaraan yang bapak saya miliki adalah sebuah sepeda. Saya bersekolah diantar bapak membonceng sepeda itu setiap hari, tak seberapa jauh, mungkin sekitar 1-2 km dari rumah.

Entah apa motivasi saya saat itu sampai berpikir sepertinya motor itu perlu agar bapak tak perlu lelah mengayuh. Padahal bapak juga tak pernah mengeluh. Beliau berproses melalui pedal sepedanya. Menaruh harapan pada anak laki-laki satu-satunya untuk mendapatkan pendidikan.

Di kota kami, ada sekolah-sekolah yang selalu menjadi jujugan karena dianggap kualitasnya lebih dari sekolah lain dan bapak pernah berpesan pada saya bahwa ada 3 faktor jika ingin bersekolah di sana. Bapak bilang anak-anak yang bersekolah di sekolah favorit itu adalah anak dari bapak yang kaya raya, anak dari bapak seorang pejabat, dan anak yang rajin belajar dan berproses.

Bapak bilang saya cuma punya 1 dari 3 faktor yang disebutnya itu. Dulu saat mendengar ini, saya mungkin tidak terlalu paham maksudnya. Barulah kini saya mengerti bahwa segala sesuatu dalam hidup harus diperjuangkan. Buat saya saat itu, tak ada privilege.

Privilege seolah menjelma jurang ketimpangan antara si miskin dengan si kaya. Meski tak patah arang mengejar akses pendidikan, tetap saja privilege selalu menjadi luka di hati orang-orang yang tak sempat mengecapnya.

Dan benar saja. Dulu setelah lulus SD, hanya saya dan seorang teman yang memupuk mimpi bersekolah ke SMP favorit di kota kami. Secara nilai, saya melenggang tapi urusan uang kalah jauh. Di momen seperti ini biasanya ibu saya yang menghadap pihak sekolah. Ibu saya untungnya jago negosiasi karena meski secara nilai saya masuk ke SMP itu tetapi urusan SPP dan uang pangkal bisa jadi persoalan.

Saya memang pada akhirnya bisa bersekolah di sana dan membuktikan apa kata bapak tentang privilege dan ketimpangan. Saya yang berangkat sekolah naik angkot harus melihat anak-anak lain diantar mobil dengan sopir pribadi. Sama-sama naik mobil dan ada sopirnya sih tapi terasa berbeda.

Potongan Bakso di Jurang Ketimpangan

Tahun berganti dan ketimpangan di mata seorang anak itu ternyata tak sekadar jurang lebar dengan kedalaman tanpa batas. Belakangan saya tahu, ada ukuran yang disebut rasio Gini yang bisa menjelaskan seberapa lebar jurang antara si kaya dan si miskin.

Merujuk data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang disampaikan Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti pada 15 Januari 2025, tercatat kenaikan rasio Gini pada September 2024 yaitu 0,381 di mana sebelumnya pada Maret 2024 tercatat 0,379. Untuk mendapat gambaran sederhana tentang rasio Gini 0,381 itu saya coba bertanya ke salah satu platform Artificial Intelligence (AI). Begini katanya:

Mari kita gunakan ilustrasi sederhana dengan 10 orang warga dan Rp 100 juta total pendapatan. Dengan rasio Gini 0,381, pembagian tidak merata. Misalnya:

Orang ke-1 memiliki pendapatan Rp 1 juta
Orang ke-2 memiliki pendapatan Rp 2 juta
Orang ke-3 memiliki pendapatan Rp 3 juta
Orang ke-4 memiliki pendapatan Rp 4 juta
Orang ke-5 memiliki pendapatan Rp 5 juta
Orang ke-6 memiliki pendapatan Rp 7 juta
Orang ke-7 memiliki pendapatan Rp 9 juta
Orang ke-8 memiliki pendapatan Rp 13 juta
Orang ke-9 memiliki pendapatan Rp 20 juta
Orang ke-10 memiliki pendapatan Rp 36 juta

Dari ilustrasi itu 5 orang terkaya (orang ke-6 sampai ke-10) menguasai 85% pendapatan. Sedangkan 5 orang termiskin (orang ke-1 sampai ke-5) hanya mendapat 15%.

Kesimpulan sederhananya yaitu rasio Gini Indonesia sebesar 0,381 menunjukkan tingkat ketimpangan sedang. Tidak seburuk negara dengan rasio di atas 0,5, tapi masih jauh dari merata.

Begitu kata AI.

Saya jadi teringat. Keluarga kami terdiri dari 6 orang: bapak, ibu, saya, dan 3 adik perempuan saya. Merujuk pada penjelasan AI itu bisa jadi ibu saya dulu menerapkan kesetaraan sempurna yaitu rasio Gini 0. Kok bisa?

Rasio Gini 0 itu tertuang dalam sepanci sayur sop bikinan ibu saya. Isiannya selayak sayur sop mulai dari kol, wortel, kentang, dan daun seledri yang terendam dalam kuah kaldu. Bintang dari sayur sop itu adalah bakso. Bukan butiran-butiran melimpah melainkan 2 atau 3 bakso curah yang sudah diiris tipis-tipis.

Jangan sembarangan menyendok sayur sop itu sebab ibu sudah menghitung betul-betul irisan bakso itu. Semua ditakar setara. Semua mendapatkan jatah yang sama. Jika hari itu ibu baru bisa membeli 2 bakso maka akan dipotong 3 bagian sama besar agar setiap anggota keluarga menikmati. Begitulah cara ibu saya menerapkan rasio Gini 0 dalam sepanci sop.

Meski terkadang jatah itu tak selalu dibagi rata. Bisa saja waktu itu salah satu dari kami-anaknya sakit-sehingga ibu memberikan jatah lebih. Ini menurut saya adalah bentuk keadilan. Adil itu tidak selalu sama rata, bukan?

Entah bagaimana ibu menggunakan matematika tapi yang jelas keempat anaknya dibesarkan dengan baik sampai jadi sarjana. Ini juga yang saya syukuri. Bapak dan ibu ingin agar anak-anaknya berproses dan bisa mengakses pendidikan terbaik meski kondisi bisa jadi sedang pelik.

Klise memang tapi saya rasa setiap orang tua selalu menyampaikan pesan ini ke anak-anaknya: Sekolah yang rajin biar jadi orang, biar hidupmu nggak seperti bapak dan ibu.

Sama halnya dengan rasio Gini yang dipengaruhi banyak hal seperti pertumbuhan ekonomi, kebijakan pajak, struktur pasar tenaga kerja, korupsi, hingga ketimpangan akses pendidikan. Saya tak terlalu yakin bapak dan ibu dulu njelimet memperhitungkan ini demi mempersempit jurang ketimpangan anak-anaknya tapi yang jelas setidaknya saat ini saya merasakan dampaknya.

Pun pemerintah yang sebenarnya memiliki kebijakan jangka pendek seperti bantuan sosial hingga jangka panjang seperti hilirisasi dan peningkatan akses pendidikan. Silakan saja para ahli yang memberikan ulasan karena saya bukan pakar yang bisa secara komprehensif membedah seberapa efektif kebijakan-kebijakan itu memangkas ketimpangan itu.

Saya hanya berusaha memaknai apa yang terjadi saat ini di Indonesia melalui ucapan bapak saat saya kecil tentang ketimpangan jarak kayuhan sepedanya dengan tarikan gas motor yang saya dambakan dari undian berhadiah itu. Yang jelas, saya-seperti kata bapak-harus berproses dan tak cuma mimpi di siang bolong mengharap undian berhadiah.

Semoga negara pun bergerak demikian.

Dhani Irawan, wartawan detikcom, tulisan ini opini pribadi, bukan merupakan sikap redaksi

(dhn/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial