Jakarta -
Surplus neraca perdagangan Indonesia makin menyusut pada April 2025. Nilai surplus menyusut tajam dibanding bulan-bulan sebelumnya, hanya sebesar US$ 160 juta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan biang kerok surplus neraca dagang makin tipis adalah kebijakan protektif yang dilakukan Amerika Serikat (AS). Seperti diketahui, Presiden Donald Trump mematok tarif tinggi untuk impor komoditas ke Negeri Paman Sam. Menurutnya, dampak dari kebijakan Trump membuat kinerja ekspor menurun. Khususnya, ekspor ke Amerika Serikat.
"Kebijakan yang dilakukan di Amerika Serikat dari bulan April kan dampaknya terlihat di bulan April dan Mei ini, kalau di bulan April masih diumumkan shipment sudah jalan, kita lihat bulan Mei-nya dampak di seluruh dunianya," beber Sri Mulyani ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (2/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sri Mulyani menggarisbawahi sejauh ini impor ke Amerika memang menurun setelah Trump mematok tarif impor tinggi. Ini artinya, beberapa ekspor produk dari berbagai negara yang butuh bahan baku dari Indonesia juga turun, alhasil ekspor Indonesia pun jadi makin turun.
"Jadi ekspor ke Amerika turun, ekspor ke berbagai negara juga turun jadi memang akan terasa terlihat," sebut Sri Mulyani.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik sendiri menyatakan surplus neraca dagang yang makin tipis terjadi karena adanya lonjakan impor, terutama di sektor nonmigas, yang tumbuh hampir 30% secara tahunan.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, mengatakan surplus perdagangan bulan April ditopang oleh ekspor nonmigas senilai US$ 1,51 miliar, sementara neraca perdagangan migas defisit cukup dalam, mencapai US$ 1,35 miliar.
"Surplus masih terjadi berkat ekspor bahan bakar mineral, minyak nabati, serta besi dan baja," ujar Pudji di Kantor Pusat BPS, Jakarta Pusat, di hari yang sama.
Dengan capaian ini, Indonesia membukukan surplus neraca perdagangan selama 60 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Namun, tren pelemahan nilai surplus ini menjadi sorotan karena kenaikan impor yang cukup agresif.
Secara kumulatif, sepanjang Januari hingga April 2025, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus US$ 11,07 miliar. Surplus tersebut didorong oleh kinerja ekspor nonmigas senilai US$ 17,26 miliar, meskipun neraca migas tetap defisit US$ 6,19 miliar.
Sementara itu, total ekspor pada April 2025 tercatat sebesar US$ 20,74 miliar, naik 5,76% dibanding April 2024. Komoditas utama penyumbang kenaikan berasal dari industri pengolahan seperti minyak kelapa sawit, logam dasar besi, kimia dasar organik, nikel, dan semikonduktor.
Salah satu komoditas yang mencatat lonjakan signifikan adalah mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) yang naik hingga 59,67%, menyumbang andil sebesar 3,01% terhadap total ekspor bulan April.
Ekspor sepanjang Januari-April 2025 juga didominasi oleh besi dan baja, batu bara, serta CPO dan turunannya. Besi dan baja naik 6,62%, CPO tumbuh 20%, namun batu bara anjlok 19,74% akibat penurunan harga global yang menyentuh titik terendah sejak Mei 2021.
Dari sisi negara tujuan, China, Amerika Serikat, dan India menjadi tiga pasar ekspor utama, menyumbang hampir 41% dari total ekspor nonmigas selama empat bulan pertama 2025. Nilai ekspor ke Tiongkok tercatat sebesar US$ 18,87 miliar.
Namun, tekanan besar datang dari sisi impor. Nilai impor pada April 2025 mencapai US$ 20,59 miliar, melesat 21,84%dibanding April tahun lalu. Impor nonmigas tumbuh tajam 29,86% menjadi US$ 18,07 miliar, sementara impor migas justru turun 15,57% ke US$ 2,52 miliar.
Secara kumulatif, total impor Indonesia dari Januari hingga April 2025 mencapai US$ 76,29 miliar, naik 6,27%dibanding periode yang sama tahun lalu. Negara asal impor terbesar masih dari China, Jepang, dan negara-negara ASEAN (di luar Thailand). Sementara impor dari Thailand dan Uni Eropa tercatat mengalami penurunan.
(hal/ara)